Bab 14
Akhirnya hari di mana stok bahan pangan di dalam kulkas nyaris tak bersisa itu tiba. Lemari pendingin itu terlihat mengenaskan. Bayangkan saja hanya ada sebungkus es batu yang menghuni kotak freezer, sebutir telur dan sebuah botol air minum yang menempati rak pada bagian pintunya. Sementara di dalam badan kulkas cuma ada sayuran yang hampir busuk dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Mama juga tidak akan datang dua atau tiga hari ini. Sampai seminggu atau dua minggu ke depan mungkin juga tak bisa berkunjung kemari. Pasalnya ada beberapa acara resepsi pernikahan yang harus ia dan Om Ihsan datangi. Maklumlah, jika musim kawin tiba, para pasangan berbondong-bondong untuk segera melegalkan hubungan mereka. Membuat pihak wedding organizer kebanjiran pesanan.
Namun, aku tak lantas kecewa begitu saja. Meskipun mama tak bisa datang untuk mengisi 'kotak persediaan makanan' ia sudah mentransfer sejumlah uang ke dalam rekeningku. Dan aku tidak bodoh. Aku merahasiakan hal ini rapat-rapat dari Kak Zayn. Pasalnya jika ia tahu ada dana yang mengalir diam-diam ke dalam tabungan pribadiku, maka Kak Zayn bisa menghentikan bantuan finansialnya untuk bulan ini dan bulan depan. Tidak masalah walaupun semua orang dan Kak Zayn mengolokku matre, yang penting aku bisa menyambung hidup dengan cara apapun. Toh, aku tidak mencuri atau mengemis. Hanya sedikit bergantung pada keluarga.
Aku harus cepat bertindak. Perutku sudah keroncongan sejak kedua mataku terbuka tadi pagi. Tapi, aku tidak mungkin ke minimarket karena di sana tidak menjual barang yang hendak kubeli. Pergi ke pasar juga rasanya enggan. Meskipun di sana bahan makanan tersedia lengkap, tapi aku tidak suka berdesak-desakan dengan para pengunjung yang mayoritas ibu-ibu. Belum lagi jika harus mengantre, bla bla bla.
Aku memutuskan untuk pergi berbelanja ke toko kelontong Bang Imron. Dibandingkan dengan minimarket, tempat itu letaknya cukup dekat. Semua kebutuhan yang ingin kubeli tersedia di sana.
Sebenarnya toko kelontong itu bukan milik Bang Imron, tapi kepunyaan ibunya. Akan tetapi, Bang Imron-lah yang paling sering menjaga toko ketimbang ibunya. Jadi, orang-orang menyebut toko itu toko kelontong Bang Imron.
"Prince!"
Tak perlu menunggu hingga bermenit-menit lamanya, Prince datang ke hadapanku dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa?"
"Aku mau pergi belanja. Kamu di rumah saja."
"Aku ikut."
"Ikut?" ulangku dengan cepat. Sekali lagi aku menatap wajah tampan cowok itu. Tumben, biasanya kan Prince tidak pernah minta ikut saat aku hendak pergi ke suatu tempat.
"Ya," jawabnya. Seulas senyum tipis ia tebarkan demi meraih persetujuan dariku.
"Oke." Aku mengangguk setuju. Toh, hanya aku yang melihat wujudnya sebagai manusia, kan?
Beberapa menit kemudian, kami berjalan berdampingan menuju ke toko kelontong milik ibunya Bang Imron sambil sesekali ngobrol.
"Kamu mau makan apa nanti?"
Pendapat Prince sangat penting karena ia kokinya. Aku hanya perlu menyiapkan bahan dan bumbunya.
"Bagaimana kalau jamur goreng dan bihun? Aku pernah melihatnya di televisi. Sepertinya enak."
"Oke." Asal Prince yang memasak, rasanya pasti lezat dan sesuai ekspektasi.
Barang-barang yang dijual di toko kelontong Bang Imron terbilang lumayan lengkap. Semua kebutuhan sehari-hari dijual di sana. Juga sayuran dan bumbu dapur. Di teras toko sengaja diletakkan sebuah meja berukuran cukup besar sebagai ajang display berbagai macam sayuran. Selain menyediakan beragam sayuran, meja itu juga menyajikan gosip hangat yang disponsori ibu-ibu di sekitar lingkungan kami. Tapi, aku datang ke sana tidak ingin mendengarkan gosip apapun.
"Tumben belanja, Neng."
Bang Imron menyambut kedatanganku dengan ramah padahal langkahku belum mencapai teras toko. Kebetulan tidak ada ibu-ibu penggosip yang sedang berbelanja di sana. Situasinya aman, pikirku.
"Iya, Bang."
"Mau beli apa, semuanya masih lengkap," tawar Bang Imron dengan gaya genitnya. Seperti biasa. Aku sudah tidak kaget lagi jika menemukan laki-laki 35 tahun itu mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku dan semua warga penghuni gang juga sudah terbiasa melihatnya mengenakan sebuah singlet putih berpadu dengan sarung kotak-kotak.
"Aku mau beli bihun sebungkus dan dua bungkus jamur tiram."
"Abang ambilkan. Sebentar ya," balas Bang Imron semanis madu.
"Apa bumbu-bumbunya masih ada?" Aku menoleh ke samping di mana Prince sedang mematung dan mengamati lalat-lalat yang beterbangan di sekitar tubuh ikan yang terbaring di dalam sebuah besek bambu. "Prince?" geramku berniat mengalihkan perhatiannya.
"Ya, masih ada."
"Ini, Neng. Masih ada lagi yang mau dibeli?"
Aku mengambil satu papan tempe, kubis, wortel, dan tahu.
"Tambah telur sekilo ya, Bang," pintaku.
"Siap, Neng!"
Laki-laki yang dijuluki bujang lapuk oleh warga sekitar itu bergegas masuk ke dalam toko untuk mengambilkan pesananku.
"Apa kamu nggak merasa kalau sikap orang itu sedikit agak aneh?" Prince berkomentar saat Bang Imron sedang sibuk menimbang telur di dalam tokonya.
Ternyata bukan lalat saja yang Prince amati, tapi gerak gerik Bang Imron juga.
Aku hanya menarik sedikit ujung bibir ke atas tanpa suara.
"Kucingnya nggak dibelikan ikan, Neng?" Bang Imron datang dengan membawa kantung kresek berisi telur sekilo ke hadapanku.
"Kamu mau ikan itu?" Tadi Prince memang sempat menatap ke arah besek berisi ikan, tapi ia tak menyebutkan permintaan apapun padaku.
"Neng Zahara ini lucu, ya? Masa kucing diajak ngobrol, sih? Memangnya dia bisa jawab?" Bang Imron terkekeh-kekeh seolah-olah aku tampak aneh di matanya.
"Nggak. Aku nggak mau," tolak Prince.
Wajarlah jika ia menolak, karena banyak lalat yang beterbangan di sekitar besek ikan.
Usai membayar belanjaan, aku bergegas pamit sebelum ibu-ibu penghuni gang berdatangan ke toko Bang Imron dan menebar hoax ke mana-mana.
"Kenapa sikapnya seperti itu?"
Aku melirik ke arah Prince ketika kami berjalan beriringan. Tampangnya yang terlihat serius malah mengundang tawa dalam hatiku.
"Maksudmu Bang Imron?"
"Hm."
"Nggak usah dipikirkan. Bang Imron memang seperti itu, kok," celetukku santai.
"Tapi sikapnya aneh, Za. Dia nggak seperti orang-orang yang pernah kutemui sebelumnya."
"Dia bersikap seperti itu padaku saja. Kalau pada orang lain sikapnya biasa-biasa saja," ujarku.
"Benarkah? Kenapa begitu?"
"Karena aku cantik, makanya kalau ketemu aku Bang Imron grogi dan selalu bersikap manis. Oh ya, dan satu lagi... Kamu tahu kenapa Bang Imron belum menikah sampai sekarang? Karena diam-diam dia menyukaiku, tapi dia takut pada Kak Zayn," tuturku lalu menderaikan tawa cukup keras.
Eh?
Bukannya tertawa mendengar ucapanku, mimik wajah Prince masih sedatar meja belajar di kamarku. Cowok itu malah manyun.
"Ngomong sama siapa, Za?"
"Kok ketawa sendiri?"
"Ya, ampun. Kelamaan jadi pengangguran otaknya konslet tuh anak..."
"Kasihan..."
Aku baru sadar kalau sejak tadi ada segerombolan ibu-ibu yang sedang memerhatikanku dari kejauhan.
Sial. Aku jadi bahan ghibah.
"Ayo pulang. Aku sudah lapar."
Aku mempercepat langkah agar cepat tiba di rumah.
***
13 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top