Bab 12

Matahari hampir menyentuh garis horison saat aku turun dari angkot yang kunaiki dari depan rumah Om Ihsan menuju mulut gang yang mengarah ke tempat tinggalku. Sembari menenteng sebuah kantung kresek berisi makanan yang sengaja dibungkus mama untukku, aku berjalan pulang. Jarak dari mulut gang ke rumah tak begitu jauh, sekitar 100 meter saja.

Sebenarnya Om Ihsan menawarkan diri untuk mengantarku pulang tadi, tapi aku menolaknya dengan halus. Toh, masih ada angkot yang beroperasi di jam segini. Lagipula aku tidak akan merasa nyaman jika harus terjebak berdua saja dengannya di dalam mobil. Aku tak memiliki perasaan negatif pada laki-laki itu, hanya belum terbiasa menerima kebaikannya. Kak Zayn pasti juga akan melakukan hal yang sama jika menjadi aku.

Lampu di depan rumah masih belum menyala ketika aku tiba. Padahal suasana di sekitar mulai tampak meremang. Mungkin Prince tidak tahu apa yang mesti dilakukan ketika petang datang. Penglihatan seekor kucing di dalam kondisi gelap sangat bagus, bukan? Jadi, ia tak terlalu butuh penerangan.

"Prince?"

Aku membuka pintu dan langsung menyalakan lampu. Ketika aku menyebut nama cowok itu, tak ada sahutan. Namun, aroma yang cukup menyengat menyebar ke segenap penjuru ruangan hingga menyentuh ujung hidungku. Bukan aroma busuk atau semacamnya, malah sebaliknya. Gurih dan lezat, khas makanan yang sedang digoreng.

"Kamu sedang masak apa?"

Aku mendapati Prince berdiri di depan kompor dan sedang memunggungiku. Selalu, selembar celemek merah muda kepunyaan mama tak pernah lupa ia kenakan ketika berkutat di dapur. Yeah, itu mungkin naluri kucing yang sangat mencintai kebersihan.

Cowok itu berbalik usai mematikan kompor.

"Oh, kamu sudah pulang?" sapanya seraya menebarkan senyum manis yang diam-diam mendebarkan jantungku.

"Ya," jawabku buru-buru mengalihkan tatapan. Kantung kresek berisi makanan yang kubawa dari rumah Om Ihsan kuletakkan di atas meja makan. "Kamu sedang masak apa?" Aku beringsut ke depan kulkas untuk mengambil air minum. Perjalanan dari tempat tinggal mama cukup melelahkan dan membuat kering tenggorokan.

"Ikan asin."

Aku menelengkan kepala mendengar jawaban Prince.

"Kita kan nggak punya ikan asin? Apa kamu membelinya tadi?"

"Nggak."

"Lalu dari mana kamu mendapatkan ikan asin itu?"

"Aku mengambilnya."

"Mengambil dari mana?" desakku sambil menutup kembali pintu kulkas. Air minum yang sudah kusentuh urung kuambil. "Apa kamu mencuri, hah?" Aku meringsek maju ke hadapan cowok tampan itu lalu melongok ke dalam teflon yang masih nangkring di atas kompor. Dua ekor ikan asin kering berukuran sedang tampak menggiurkan. Aroma gurihnya mengundang selera makanku.

"Aku mengambilnya di atas genting di rumah sebelah," ungkap Prince dengan wajah dan nada yang sama-sama polos. Bagi bangsa kucing kasus curi-mencuri sudah biasa terjadi kan, ya? Jadi, maklum saja kalau ia tidak merasa berdosa sama sekali.

"Itu namanya mencuri, Prince. Lain kali kamu nggak boleh melakukan itu."

"Benarkah? Tapi kenapa nggak boleh?" Kerut di keningnya terlukis samar.

"Seumpama kamu punya sesuatu, katakanlah itu ayam goreng, apa kamu rela kalau ada kucing lain yang mengambilnya? Nggak, kan?"

"Tapi aku nggak terlalu suka ayam goreng, Za. Aku suka sosis."

Jleb.

Ia baru saja menancapkan duri kecil nan panjang ke dalam jantungku. Rasanya nyelekit.

"Terserah." Aku mengibas di depan wajahnya. Percuma memberi perumpamaan atau penjelasan padanya. Toh, ia hanya manusia jadi-jadian, bukan manusia yang sebenarnya. Lebih baik tak muluk-muluk saat bicara dengannya.

Aku bergeser kembali ke depan kulkas. Kali ini aku benar-benar mengambil air minum karena sudah tak tahan dengan rasa haus yang menggerogoti tenggorokanku.

Dahagaku telah lenyap. Dan Prince masih mematung di tempatnya berdiri semula, lagaknya bingung tak tahu apa yang mesti ia lakukan dengan ikan asin yang masih terkapar di atas teflon.

"Kamu sedang apa?" tegurku. "Cepat ambil nasi sana." Aku mengeluarkan titah bak seorang kaisar bengis padanya.

"Hah? Untuk apa?"

Ya, ampun. Cowok itu butuh waktu berapa lama untuk mencerna maksudku?

"Ya untuk teman makan ikan asin itu. Aku kan juga mau."

Ia terlihat linglung selama beberapa detik lamanya sebelum bergegas melaksanakan perintahku.

Persis seperti yang kubayangkan tadi. Ikan asin dengan nasi hangat plus sambal rasanya luar biasa nikmat. Padahal aku tadi sudah makan lumayan banyak di rumah Om Ihsan, tapi lambungku tak kunjung penuh. Apa ini karena efek ikan asin curian itu? Makanya lain kali jangan menjemur ikan asin sembarangan, batinku yang pasti tidak didengar oleh tetangga sebelah.

"Lain kali jangan mengambil sesuatu yang bukan kepunyaan kamu. Kalau di dunia manusia itu namanya pencurian. Kamu bisa dihukum karena mencuri. Kamu bisa dimasukkan ke dalam jeruji besi dan baru bebas beberapa bulan kemudian. Mungkin juga beberapa tahun kemudian," ulasku sembari makan.

"Tapi aku kan bukan manusia..."

Oh, iya. Aku lupa. Hanya aku yang bisa melihat Prince dalam wujud manusia. Kucing mah bebas mencuri kali, ya?

"Kamu yang mencuci piringnya, ya. Aku mau istirahat," ucapku setelah berhasil menandaskan sepiring nasi. Perutku seperti ingin meledak, apalagi sesudah aku menambahnya dengan air putih. "Jangan mengetuk pintu kamarku," pesanku sebelum berlalu dari meja makan.

"Ya."

Bagus, batinku. Prince menampilkan sikap yang baik selama tinggal bersamaku. Ia tidak merepotkan, malah kerap membantuku mengerjakan pekerjaan rumah.

Eh?

Langkah kakiku terhenti di depan pintu kamar. Aku terpaksa membungkukkan badan demi melihat sesuatu yang aneh di kusen pintu. Sebelumnya goresan itu tak ada di sana. Seingatku tadi pagi benda itu bersih. Apa jangan-jangan...

"Prince!" teriakku membabi buta. Aku menarik kembali semua pujian yang kulanturkan di dalam pikiran. Prince tidak sesempurna itu!

"Ada apa?" Raut wajah tampan itu terlihat panik. Biasanya aku tidak memanggilnya dengan suara sekencang itu.

"Apa ini pekerjaanmu, hah?" tanyaku seraya menunjuk ke arah kusen pintu yang terdapat bekas goresan, lebih tepatnya cakaran kuku binatang.

Cowok itu tak menampik tuduhanku. Kepalanya mengangguk.

"Aku sudah lama nggak mengasah cakarku, jadi aku..."

"Tapi kenapa mesti di situ, hah? Kenapa nggak di tempat lain? Di pohon depan rumah kan bisa," tukasku emosional. Kalau Kak Zayn tahu, aku bisa kena omel nanti.

"Maaf, sudah terlanjur." Ia terkekeh dan sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah.

Dasar kucing belang!

Aku tak bisa memakinya terang-terangan dan langsung masuk ke dalam kamar. Pelampiasan amarahku hanya sebatas membanting pintu. Selebihnya aku tak bisa berbuat apa-apa. Mana tega aku marah pada cowok setampan itu?

***

11 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top