Bab 1

Sesuatu yang sangat mendesak di bawah perut memaksaku untuk segera membuka mata di satu pagi yang cerah, meskipun sebenarnya aku masih betah bergelung di bawah selimut. Tapi, aku jelas tidak akan rela membiarkan kasurku basah. Urusannya bisa panjang jika aku enggan untuk beranjak dari tempat tidur.

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya utuh, aku bergegas turun dari atas tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi meski harus setengah terhuyung.

Sinar matahari tampak menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi yang terpasang di atas jendela kamar, pertanda jika pagi telah datang bertandang untuk ke sekian kali sepanjang umurku. Tapi, jam tidurku tidak tergantung pada situasi. Atau bisa dikatakan aku punya jadwal tidur yang tidak wajar. Aku akan tidur atau bangun sesuka hati tanpa memedulikan pergantian siang dan malam. Aku menyebut diriku manusia semi nokturnal.

Semalam aku begadang hingga jam dua pagi hanya untuk menyelesaikan mengetik tiga bab novel yang kuposting di salah satu platform kepenulisan paling populer di negeri tercinta ini. Kupikir mumpung ada banyak ide yang melintas di pikiranku, kenapa tidak dituangkan ke dalam tulisan sekaligus? Ini kesempatan yang jarang terjadi dan terlalu sayang jika dilewatkan begitu saja. Terkadang ide-ide cemerlang muncul tidak tepat waktu dan aku takut mereka menghilang dengan cepat seperti buih sabun yang beterbangan di udara.

Usai mengosongkan kantung kemih, aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan sisa-sisa kantuk yang masih menggelayuti kedua mata indahku. Aku bermaksud untuk melanjutkan kembali tidur nyenyakku yang sempat terusik karena 'situasi darurat'. Mungkin satu atau dua jam lagi, pikirku. Bagaimanapun juga aku harus menebus jam tidur yang telah terlewatkan.

Namun, begitu aku menginjakkan kaki di lantai ruang tengah, samar-samar sepasang indra penglihatanku menangkap sebuah bayangan aneh. Bisa dibilang mirip penampakan.

Apa? Penampakan?

Aku berusaha untuk membuka kedua mataku selebar mungkin. Tidak cukup sampai di situ, aku mengucek mata berulang. Siapa tahu ada sisa kotoran yang keluar dari kedua mataku dan mengganggu penglihatanku.

Tidak. Penampakan ganjil itu masih ada di sana sekalipun aku sudah mengucek mata berkali-kali.

Sebenarnya ini kenyataan atau mimpi? Tapi, begitu aku mencubit lenganku sendiri rasanya lumayan sakit. Jadi, kesimpulannya apa yang kulihat bukanlah mimpi. Ini kenyataan yang sesungguhnya.

Seorang cowok tampak sedang duduk santai dengan menopang salah satu kakinya di sofa ruang tengah. Sikapnya terlihat rileks dan tenang seolah-olah ia sedang berada di rumahnya sendiri.

Atau aku yang salah masuk rumah?

Tidak.

Aku sedang berada di rumahku sendiri. Keseluruhan interior ruang tengah yang terpampang jelas di hadapanku memang bagian dari rumah kami. Sama sekali tidak ada yang berubah dari terakhir kali kulihat semalam. Letak sofa, televisi, meja, dan semuanya masih sama.

Lalu siapa cowok asing itu?

Entah siapa cowok asing yang lancang masuk rumahku tanpa permisi itu. Tapi, sejujurnya ia tampan. Kulitnya putih bersih. Rambut bagian depan kepalanya dibiarkan menjuntai menutupi sebagian dahinya yang tampak mulus bebas dari jerawat. Hidungnya mancung. Tapi, alis dan matanya biasa-biasa saja. Bibirnya terlihat ideal, tidak terlalu tipis atau terlalu tebal. Namun, ada satu bagian yang mengganggu penampilannya, yaitu pakaian yang ia kenakan. Dari sekian banyak model dan motif pakaian di dunia ini, kenapa cowok itu harus mengenakan setelan jas bermotif belang? Coraknya tampak familiar dan seketika mengingatkanku pada sesuatu, tapi entah apa. Otakku tiba-tiba lambat kinerjanya.

Apa ia pencuri? Penguntit? Mata-mata? Tapi, bagaimana ia bisa masuk? Bukankah aku tak pernah lupa untuk mengunci pintu rumah rapat-rapat seperti pesan Kak Zayn?

"Ka-kamu siapa?" gagapku.

Diam-diam aku melirik ke sekeliling demi mencari sesuatu yang kurasa paling mungkin untuk diraih jika tiba-tiba cowok asing itu berusaha menyerang diriku. Aku juga perlu memperkirakan ke mana arah yang mesti kutuju sebagai langkah antisipasi seandainya harus melarikan diri. Pintu depan adalah jalur untuk evakuasi paling tepat, pikirku. Karena itu satu-satunya akses keluar rumah paling dekat mengingat posisi tubuhku saat ini.

Cowok asing itu berdiri lalu membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Apa aku nggak mengingatkan kamu pada sesuatu? Lihat aku baik-baik," suruh cowok itu sambil memutar tubuhnya seperti sedang memamerkan betapa noraknya motif setelan jas yang membungkus tubuhnya.

Aku bergeming. Otak lambatku dipaksa sekali lagi untuk bekerja keras. Namun, tetap saja aku tak menemukan ide apapun. Mungkin ini efek dari begadang semalam. Aku menulis tiga bab sekaligus. Jika dihitung ada lebih dari tiga ribu kata yang keluar dari otakku.

"Nggak...aku nggak ingat apapun. Memangnya kamu siapa?"

Aku yakin seyakin-yakinnya  tidak pernah mengenal cowok itu. Melihat pun masih sekali ini.

"Ini aku si Belang. Masa kamu nggak ingat?" Cowok itu kembali memutar tubuh, memaksa agar aku mengingatnya.

"Si Belang?"

Bukannya Belang adalah nama kucing malang yang aku temukan malam itu? Karena merasa iba dan takut ia akan kelaparan lagi, aku memutuskan untuk mengajak kucing itu pulang ke rumah. Selama seminggu penuh aku menampung dan merawat kucing itu hingga kondisinya membaik. Aku juga resmi memberinya nama Belang sesuai motif bulunya.

"Ya, ini aku Belang." Cowok aneh itu menunjuk dada dengan penuh semangat.

"Tapi Belang itu kucing, bukan manusia," kilahku. Memangnya siapa yang akan percaya jika cowok setampan itu adalah si Belang?

"Aku adalah jelmaan kucing belang itu." Ia tampak bersungguh-sungguh saat mengucapkan sebaris kalimat paling absurd yang pernah kudengar sepanjang hidup.

Aku sudah kerap menemukan cerita bergenre fantasi di banyak platform kepenulisan di negeri ini dan jika suatu saat aku menjumpai vampir atau werewolf di tengah jalan, mungkin akal sehatku masih bisa menerima. Tapi, saat seorang cowok tampan rupawan tiba-tiba muncul di hadapanku dan mengaku sebagai jelmaan kucing, please deh. Ini terlalu mengada-ada. Imajinasiku bahkan tidak menjangkau hingga sejauh itu.

Tentu saja reaksi yang ia dapatkan tidak sesuai ekspektasinya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi begitu saja. Seulas senyum nyinyir sengaja kupersembahkan khusus untuknya.

"Kalau kamu jelmaan kucing, maka aku adalah vampir yang akan mengisap darahmu sampai habis." Aku menyeringai tajam padahal tak punya sepasang gigi taring seruncing milik Edward Cullen tercinta.

"Tapi, aku benar-benar jelmaan si Belang, kucing yang kamu temukan di jalan malam itu. Kamu nggak percaya padaku?"

Ya, ampun. Apa tampangku menjelaskan rasa percaya pada omong kosongnya? Itu jelas-jelas hoax!

"Nggak," tegasku seratus persen tak percaya.

"Apa kamu ingin bukti?"

"Memangnya kamu bisa memberiku bukti?" Aku menjawab tantangannya. Sekalipun corak dan warna setelan jas yang dipakai cowok itu sangat mirip dengan motif bulu kucing belang yang kuadopsi dari pinggir jalan, tapi bukan berarti hal itu bisa dijadikan acuan bahwa ia memang jelmaan kucing belang peliharaanku.

"Oke." Cowok itu langsung mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali. "Sekarang kamu lihat aku baik-baik dan jangan berkedip."

Aku bergeming, menunggu apa yang akan dilakukan cowok itu. Entah apa yang akan ia lakukan untuk membuktikan ucapannya.

Tak sampai hitungan dua detik cowok itu menghilang dari pandanganku. Seperti gambar yang diedit, lenyap tanpa bekas.  Namun, sedetik kemudian setelah ia raib tiba-tiba saja seekor kucing tabi dengan bulu bermotif garis perpaduan antara hitam dan abu-abu muncul persis di tempat cowok itu menghilang. Belum sempat aku sembuh dari rasa takjub, kucing belang itu mendadak hilang kemudian digantikan cowok yang tadi.

Amazing!

Aku masih ternganga tak percaya. Apa yang baru saja terjadi di depan mataku seperti sebuah pertunjukan sulap. Hanya saja ia tidak berkostum badut yang sering menghibur anak-anak di pesta ulang tahun.

"Apa kamu percaya padaku sekarang?" sentaknya meminta pengakuan dariku.

"Nggak." Aku memutuskan untuk tetap bersikukuh pada pendirianku semula. Entah demi gengsi atau harga diri. "Kamu belajar ilmu sihir di mana, hah? Apa di Hogwarts?"

"Ini bukan sihir. Aku memang jelmaan kucing belang itu. Kamu tadi minta buktinya padaku, kan?"

"Tapi sayangnya aku sama sekali nggak percaya padamu," tandasku.

Aku berjalan ke arah pintu lalu menguaknya lebar-lebar tak peduli ekspresi wajah yang ditampilkan cowok itu.

"Sebaiknya kamu cepat pergi dari sini sebelum aku memanggil orang-orang untuk mengusirmu," perintahku tidak main-main.

Cowok itu masih melongo menatapku dan belum ada niat untuk beranjak dari tempatnya berdiri.

"Padahal seminggu terakhir ini kamu bersikap sangat baik padaku. Kamu memberiku tempat tinggal, memberiku makan, sesekali kamu juga mengelus buluku. Kamu berbicara seolah-olah aku ini anak angkatmu."

"Jangan ngawur, ya. Mana pernah aku menganggapmu seperti anak angkatku!" bentakku. Aku bahkan tidak pernah berpikir ingin menikah muda. Eh, cowok itu malah bicara soal anak.

"Mungkin sebaiknya aku nggak berubah jadi manusia tadi," desis cowok itu menyiratkan sebuah penyesalan terdalam.

Memangnya siapa yang menyuruhnya melakukan pertunjukan sulap di depanku?

"Apa aku harus menghitung sampai tiga?" gertakku. Pasalnya cowok itu masih bergeming, belum beringsut sedikitpun dari hadapanku.

"Bagaimana kalau aku berubah lagi jadi seekor kucing? Apa kamu akan membiarkan aku untuk tetap di sini?"

"Apa kamu ingin tawar menawar denganku?" Ia ingin memancing emosiku.

"Ya...apa kamu setuju? Kalau aku jadi kucing lagi..."

"Nggak!"

"Tapi..."

"Pokoknya nggak! Mendingan sekarang kamu pergi sebelum aku berteriak memanggil orang-orang agar mengusirmu."

Cowok itu menghela napas antara pasrah dan takut. Kalau aku berteriak 'maling' orang-orang pasti akan dengan sigap berdatangan dan wajah tampan cowok itu bisa babak belur dikeroyok massa.

"Oke, oke. Aku akan pergi sekarang."

Cowok itu mengangkat kedua tangannya dan mulai berjalan ke arah pintu yang kubuka selebar-lebarnya. Kepala tertunduk lemas dan langkahnya diseret. 

***

03 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top