3

"Cobalah ini, tuan putri. Kurasa kau akan menyukainya."

Victoria menerima sepotong kue dari tangan Betty. Lalu memasukkannya ke dalam mulut. Matanya sempat melebar dan ia berseru, "Oh rasanya sungguh enak! Kurasa aku akan memilih kue ini untuk pestaku!"

"Benar bukan pilihanku?!"ujar Betty tersenyum.

Victoria dan Betty bersama seorang koki istana sedang berada di dapur. Mereka memilih kue serta makanan kecil untuk pesta ulang tahun Victoria. Berbagai rasa dan jenis makanan telah mereka coba dan pilih. Mulut Victoria bahkan penuh dengan remah kue. Ia tertawa kecil mengingat tingkahnya saat ini seperti saat masih kecil.

"Para tamu pasti akan menyukai pilihan anda, tuan putri."

"Oh Amelia, ini semua bukan karena pilihanku. Tapi kau memang pandai memasak. Hampir semua masakanmu sangat lezat. Aku sampai bingung untuk memilihnya, kalau saja tak ada Betty yang membantuku."ucap Victoria seraya menjilati jarinya yang terkena krim kue.

"Anda terlalu memuji, tuan putri."gumam Amelia, sang koki istana, dengan wajah merona dan tersenyum.

"Aku selalu menyukai masakanmu...."

"Victoria, apa yang kaulakukan di sini?!"

Victoria terlonjak kaget sementara Betty nyaria terjatuh dari kursinya mendengar suara penuh amarah itu. Victoria berdiri dan melihat ibunya berdiri di pintu dengan wajah marah. "Oh ibu....kau membuat kami kaget. Aku hanya memilih makanan untuk menu pestaku nanti."

"Yang Mulia...."sapa Amelia dan Betty memberi hormat pada sang ratu.

"Kalian tak perlu mencicipi di dapur bukan?!"tukas Milicent menatap tajam.

"Jangan marahi mereka. Aku yang memintanya, bu."ucap Victoria. Ia mendekati ibunya. "Ada apa ibu mencari aku?"

Milicent menatap putrinya. Mulut Victoria terdapat remah kue. Tangannya terkena noda krim dan ada beberapa bagian di gaunnya yang kotor. Ia menarik napas. "Bersihkan dirimu dan temui aku secepatnya!"

"Baik, bu."sahut Victoria.

Victoria dan Betty bergegas meninggalkan dapur. Sementara Amelia membereskan meja dan kembali pada pekerjaannya sebagai koki. Sang putri dan pelayannya melangkah menuju ruang tidur. Mengganti gaun serta merapikan dirinya. Dalam waktu cepat Victoria sudah menemui ibunya.

"Ibu..." panggil Victoria seraya membungkuk padanya.

Milicent tersenyum. "Kemarilah, nak."sahutnya menepuk sisi kosong di sofa.

Victoria mendekat dan duduk. Menatap ibunya dengan penasaran. Ada apa gerangan ibu memanggilnya?!

Milicent memegang tangan Victoria dan menepuknya. "Victoria, ibu ingin kau bertemu dengan pangeran Andrew dari kerajaan Corvo."

Victoria membelalakkan matanya. "Tapi bu, bukankah ibu mengatakan agar aku mencari calon suamiku saat pesta nanti? Kenapa ibu berubah pikiran secepat itu?!"

"Tak ada salahnya kau bertemu dengan dirinya. Ia sudah datang dan aku tak mungkin menolak atau mengusirnya jika kau tak ingin kerajaan kita terlibat masalah, Victoria. Kuharap kau memahaminya."

Victoria melihat ibunya tampak lelah. Ia tahu beban dan tanggung jawab yang besar di bahu ibunya sebagai seorang ratu. Ia menarik napas. "Maafkan aku, bu. Baiklah, aku akan menemuinya...."

Milicent tersenyum. "Baiklah."

Victoria hanya diam sementara Milicent memanggil pelayan agar bisa mengantarkan sang pangeran ke ruang duduk.

"Kurasa kalian akan cocok. Ia pria yang baik dan tampan."ujar Milicent.

Victoria hanya tersenyum. Ia memilih untuk tidak menolak ibunya karena tidak ingin memperpanjang masalah. Mungkin ada baiknya ia mencoba bertemu pangeran itu. Tak berapa lama kemudian terdengar ketukan pintu. Seorang pelayan masuk dengan seorang pria yang mengikuti di belakang.

"Yang Mulia, pangeran Andrew sudah tiba."

Milicent berdiri. Memasang wajah tersenyum dan berjalan mendekati pria itu. Victoria berdiri dan memperhatikannya. Pria itu memang gagah dan tampan. Tapi Victoria tidak merasakan apapun. Ia malah membandingkan pria itu dengan James. James jauh lebih menawan baginya, meski hanya seorang pedagang. Victoria menggelengkan kepala. Tidak, aku harus melupakan James, gumamnya dalam hati, kau tak mungkin bertemu dengannya lagi.

"Yang Mulia, maafkan jika kedatanganku terlalu mendadak dan mengganggu."ujar sang pangeran seraya membungkuk dan mengecup punggung tangan Milicent.

"Sama sekali tidak. Victoria, kemarilah."ucap Milicent menoleh ke belakang.

Victoria mendekat. Mata sang pangeran terus tertuju padanya. Seulas senyum menghiasi wajah tampannya.

"Pangeran, ini putriku, Victoria."

"Selamat siang, Pangeran."sapa Victoria.

"Selamat siang, tuan putri."sahut Andrew mengecup tangan Victoria dengan mata masih tertuju padanya. "Sungguh kedatanganku tak sia-sia. Kabar yang berhembus mengenai Putri Victoria tidak mengada-ada."

Victoria mengerutkan dahi. "Kabar apakah itu, Pangeran?"

"Bahwa kau adalah putri yang cantik dan sempurna. Dan itu benar. Kau sungguh menawan."

Victoria nyaris mendengus jika ia tak ingat ada ibunya di sini. Ibunya tentu tak akan menolerir tingkahnya. Ia pun hanya tersenyum. "Anda terlalu memuji."

"Bagaimana jika kalian berjalan-jalan di taman?"tanya Milicent tersenyum lebar melihat mereka yang sudah akrab.

"Jika kau tak keberatan?" tanya Andrew menatap Victoria.

"Dengan senang hati, pangeran."ujar Victoria.

Andrew tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan yang segera di sambut oleh Victoria. Lalu mereka berjalan keluar di bawah tatapan sang ibu. Milicent merasa yakin putrinya akan memilih Andrew. Seorang pangeran yang gagah dan berasal dari kerajaan makmur. Dengan adanya pernikahan mereka, Milicent yakin akan terjalin kerjasama yang akan saling menguatkan dan menguntungkan.

"Istanamu sangat indah."puji Andrew.

"Terima kasih."sahut Victoria tersenyum tipis.

"Kudengar sebentar lagi kau akan mengadakan pesta ulang tahunmu."

"Ya benar, pangeran."

"Ah pasti akan menjadi pesta yang meriah dan berkesan bagimu."

"Kuharap demikian."gumam Victoria pendek. Ia merasa Andrew tak menyerah untuk mengajaknya berbicara.

"Boleh aku tahu berapa usiamu?"

"Saat ini usiaku 18 tahun. Dan sebentar lagi akan menginjak usia 19 tahun."ucap Victoria seraya mengangguk pada prajurit yang membukakan pintu ke arah taman.

"Ah taman yang indah!"seru Andrew. "Di tempatku pun memiliki taman yang indah dan luas. Berbagai bunga tumbuh subur di sana."

'Tentu saja, pangeran. Kau seorang pangeran dan tinggal di istana. Istana mana yang tak mempunyai taman.'keluh Victoria seraya menarik napas pelan. Ia mulai merasa bosan. Tapi Victoria tahu ia belum bisa beranjak pergi dari hadapan Andrew.

Andrew mengajaknya duduk di bangku yang menghadap ke arah taman. Ia menatap Victoria. "Jadi usiamu 19 tahun? Usia yang cocok untuk segera menikah bukan?!"

Victoria mengerang dalam hati. Kenapa Andrew pun mirip dengan ibunya? Selalu saja mengingatkan akan usianya dan harus segera menikah. Victoria hanya mengangguk.

"Apa kau sudah memiliki pendamping?"

"Belum. Bagaimana denganmu?"

"Sama dengan kau, putri. Aku pun belum menemukan calon pendamping."

Victoria mengangguk. "Ibumu pasti sudah meminta untuk segera menikah."

Andrew tertawa kecil. "Kau benar sekali. Tapi memilih pendamping hidup tidaklah semudah itu. Aku cukup beruntung diberi kesempatan untuk mencari wanita pilihanku. Tapi waktu terus berjalan dan aku belum menemukan sosoknya."

Victoria menatapnya. Ia tahu pria itu jujur padanya. Apakah itu berarti Andrew tak menyukainya?

"Nasibmu sama seperti aku. Ibu ingin aku segera menikah. Ibu meminta untuk memilih seorang calon suami saat pestaku nanti......"

Andrew memandangi Victoria. Mereka saling menatap. Menyadari garis hidup yang sama. Hanya saja tanggung jawab Andrew lebih besar karena ia akan menjadi raja kelak. Pria itu membutuhkan seorang pewaris untuk memperkuat posisinya.

"Boleh aku menanyakan sesuatu?"tanya Victoria. Andrew mengangguk. "Kedatanganmu kemari...."

Andrew meringis. "Aku mengerti maksudmu. Sebenarnya ibuku yang meminta aku datang berkunjung kemari. Lebih awal sebelum pesta karena ibuku berharap kita akan saling menyukai saat bertemu."

Victoria mengangguk mengerti. "Dan, bagaimana pendapatmu setelah bertemu denganku?"

"Jujur saja aku tak memiliki perasaan apapun padamu."

Victoria menoleh dengan mata melebar. Tak menduga jawaban yang terlontar dari mulut sang pangeran.

"Maaf aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku memilih untuk jujur. Kau sangat cantik, aku akui itu. Tapi aku tidak memiliki perasaan itu. Seakan aku hanya bertemu seorang teman. Entahlah, mungkin kau memang bukan pilihanku."

"Aku sangat menghargai kejujuranmu. Baru kali ini aku bertemu pria sepertimu. Jujur dan apa adanya. Mungkin kita bisa berteman?"

Andrew tersenyum. "Itu lebih baik. Maaf jika aku mengecewakanmu."

Victoria tertawa kecil. "Bukan salahmu. Aku pun sebenarnya sama sepertimu. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk berteman. Kuharap kau mau datang ke pestaku."

"Tentu saja."sahut Andrew tersenyum pada Victoria.



Tbc.....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top