2

"Oh....kau terlihat cantik sekali, tuan putri!"puji Betty menatap majikannya dengan penuh kagum.

"Pakaikan kalung padanya."

"Baik, Yang Mulia." sahut Betty menghampiri meja rias dan membuka kotak. Mengeluarkan seuntai kalung dengan liontin emerald. Ia mendesah kagum melihat keindahan kalung itu.

"Indah sekali....."gumam Betty seraya membalikkan badan dan berjalan ke arah sang putri yang masih berdiri dengan gaun cantiknya. Tangannya membawa benda mewah itu dengan hati-hati. Tak ingin menjatuhkannya. Lalu ia memakaikan pada leher jenjang Victoria.

"Penampilanmu menakjubkan, Victoria!"tukas sang ratu beranjak bangun dari sofa. Mendekati dan menatap putrinya dengan seulas senyum menghiasi bibirnya. "Kalung itu membuatmu tampak cantik dan elegan."

Victoria menatap ke arah cermin. Melihat pantulan dirinya dalam balutan gaun berwarna krem dengan hiasan renda menghiasi bagian bawah gaun.

"Kau terlihat sempurna. Semua pria pasti akan tertuju matanya padamu. Kau hanya tinggal memilih satu dari antara mereka." ujar Milicent.

Victoria menoleh pada ibunya. Dahinya berkerut. "Apa maksud ibu dengan perkataan tadi?!"

"Oh putriku sayang. Sebentar lagi usiamu 19 tahun. Sudah memadai untuk menikah. Sudah waktunya kau memilih calon pendamping hidupmu. Ibu sudah mengundang banyak pria bangsawan juga pangeran agar kau bisa memilih mereka."

Mata Victoria melebar. "Tapi bu, aku tak mau menikah. Aku ingin tinggal bersama kalian selamanya di sini!"

Dahi Milicent berkerut menatap Victoria. "Kau seorang putri, Victoria. Itu tugas seorang putri dan kau tentu sudah tahu tugas serta tanggung jawabmu."

"Bagaimana jika aku tetap tidak mau menikah?!"

"Maka ibu akan mengirimmu ke biara. Atau ibu yang akan memilih calon suamimu."

"Ibu!"sahut Victoria dengan suara kesal dan tak percaya ibunya tega berkata demikian.

"Kau ingin membuat ayahmu bangga padamu bukan?!"

"Tapi bukan dengan cara seperti ini!"

"Seorang putri tidak punya pilihan lain, Victoria. Kau bisa menentukan siapa calon suamimu saat pesta nanti atau ibu yang akan memilih. Silakan putuskan!" ujar Milicent seraya berjalan keluar.

Victoria mengerang kesal. Betty yang sedari tadi berdiri menjauh kini mendekat perlahan. Menyentuh lengan Victoria. "Putri....tenanglah...."

"Kenapa aku harus terlahir menjadi putri?! Aku lebih suka menjadi rakyat jelata yang bebas. Tidak terkekang seperti ini!!"

"Jangan berkata begitu, tuan putri. Jika kau tidak menjadi putri, siapa yang akan menolong penduduk desa Isleen saat terjadi bencana kelaparan. Siapa yang membantu desa Poloma ketika wabah menyebar kemarin? Kau sudah banyak membantu, tuan putri. Putri lain belum tentu akan melakukan seperti kau."

Victoria mendesah. "Aku hanya ingin membantu. Aku tak bisa hanya duduk diam sementara di luar sana banyak yang menderita."

"Itulah kelebihan yang anda miliki. Sebagai tuan putri kau bisa membantu banyak orang. Dan akan semakin mudah jika kau menjadi seorang ratu kelak. Tidak seperti aku, untuk membantu keluargaku saja aku kesulitan, tuan putri."

Victoria menatapnya. "Aku ingin menikah karena aku mencintai pria itu. Bukan seperti yang ibu inginkan."

"Cinta pasti akan tumbuh seiring waktu, tuan putri. Kau pasti tahu tak ada putri bangsawan yang bisa memilih dengan siapa ia akan menikah. Semua pilihan orang tuanya. Tapi kau, tuan putri, di beri kesempatan oleh Yang Mulia untuk memilih. Kau bisa mengamati semua tamu pria yang hadir nanti."

"Bagaimana jika pilihanku salah?"

"Kau pasti bisa. Aku yakin kau akan menemukan calon suamimu."

"Kuharap begitu...." gumam Victoria. Sekeras apapun ia menolak, ia tahu tak akan bisa menghindar dari nasibnya sebagai seorang putri kerajaan. Suatu saat ia pasti akan menikah.

Victoria adalah putri dari kerajaan Selatan. Ia memiliki kakak lelaki bernama Arthur yang kini memegang tahta kerajaan karena ayahnya sudah meninggal. Seminggu lagi adalah hari ulang tahunnya. Hari itu akan diadakan pesta dan seperti yang dikatakan Ratu Milicent, ia harus memilih seorang pangeran sebagai calon suami.

Victoria sama seperti gadis lainnya. Ia ingin menikah. Bertemu dengan pria yang menggetarkan hatinya lalu menikah dan hidup berdampingan hingga maut memisahkan mereka. Tapi apakah ia bisa menemukan pria yang tepat saat pesta nanti. Apa ia bisa menemukan pendamping hidupnya hanya dengan melihat sesaat? Victoria tak tahu harus bagaimana tapi ia harus mencobanya.

Victoria merasa sesak napas dan tertekan. "Aku ingin keluar dulu, aku...butuh bernapas...."

Victoria bergegas keluar kamar. Mengabaikan panggilan pelayannya untuk mengganti gaun. Ia melangkah cepat melewati lorong. Mengabaikan para pelayan dan prajurit yang membungkuk hormat padanya. Victoria keluar melalui pintu samping. Menginjak tanah dan semak yang menimbulkan suara gemerisik. Dan ia tiba di istal kuda.

Hanya satu yang bisa membuat pikiran teralihkan dan menghiburnya saat ini. Yaitu berkuda. Ia berhenti seraya menarik napas. Terciuma aroma rumput bercampur bau kandang kuda yang khas. Perlahan ia menutup mata dan tersenyum.

"Tuan Putri?"

Victoria membuka mata dan melihat pemuda yang mengurus istal berdiri di depannya. "Ah halo Owen."

Owen menatap sang putri dengan heran. "Apa anda hendak berkuda?"tanyanya.

"Ya. Kau benar. Tolong siapkan Black segera!"

Owen memandangi gaun yang dikenakan sang putri bukanlah gaun untuk berkuda. Ia merasa heran. Tapi Owen tak berani membantah. Pemuda itu hanyalah seorang pengurus istal. Dan apapun perintah Victoria, ia tak berani menolaknya. Owen hanya mengangguk lalu segera menyiapkan kuda milik Victoria. Dalam waktu cepat, kuda hitam milik Victoria pun siap. Owen menarik tali dan menuntun Black keluar istal. Victoria tersenyum melihat kuda miliknya.

"Halo Black!"seru Victoria.

Sang kuda meringkik ketika sudah berada di depan Victoria. Victoria mengusap leher Black dan menempelkan dahi pada lehernya yang hangat. "Ayo temani aku menghirup udara segar."bisiknya. Black membalas dengan menghentakkan kaki dan menggoyangkan kepalanya. Membuat Victoria tertawa.

Victoria segera naik ke atas punggung Black. Ia menarik tali kekang seraya berseru, "Hiaaah...ayo, Black!"

Hewan berkaki empat itu pun mulai berderap keluar istal. Melaju mendekati pintu gerbang keluar dan melintasi jalan setapak. Victoria tertawa merasakan angin serta tubuhnya yang bergoyang. Ia merasa bebas. Ia tak peduli gaunnya akan rusak atau kotor. Gaun indahnya namun membuatnya teringat akan perintah ibunya yang menyesakkan sebagai seorang putri.

Victoria mendengar suara derap kaki kuda di belakangnya. Kepalanya menoleh ke belakang. Melihat seorang prajurit dengan kuda coklatnya. Victoria mengeluh. Pasti Betty yang meminta seseorang untuk mengawalnya. Ia tahu Betty tak salah. Sebagai seorang putri, Victoria tak mungkin pergi tanpa pengawalan. Tapi saat ini, ia benar-benar ingin sendirian.

Terbersit ide dalam kepalanya. Victoria berniat mengajak prajurit itu berputar hingga ia bisa menghilang. Ah pasti pria itu kebingungan nanti, batinnya sambil tertawa kecil.

"Black, ayo kita lebih cepat lagi. Aku tak mau dikawal. Aku bukanlah anak kecil..."tukas Victoria.

Victoria menarik tali dan Black pun semakin cepat berlari. Diikuti prajurit yang turut mempercepat laju kudanya. Mereka melintasi padang rumput sebelum mencapai hutan. Victoria mengajak Black masuk ke dalam hutan.

"Tuan putri, jangan masuk ke sana!"seru prajurit di belakangnya. Dengan panik ia meminta kudanya lebih cepat lagi agar bisa menyusul sang putri dan mencegahnya masuk ke dalam hutan.

Tapi Victoria lebih cepat. Ia sudah masuk lebih dulu. Sang prajurit mengerang keras. Terpaksa ia pun ikut masuk. Saat ini ia bertanggung jawab atas keselamatan Putri Victoria. Dan ia tak berani membayangkan hukuman yang akan ia terima jika terjadi sesuatu pada sang putri.

Prajurit itu masuk dengan dada berdebar. Bukannya ia takut, tapi sering beredar kabar aneh mengenai hutan Cello yang saat ini ia lintasi. Ia sendiri belum pernah masuk. Namun kabar yang terdengar cukup untuk membuatnya merinding. Hutan itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara kicauan burung. Pohon dan semak lebat menyambut kedatangannya. Samar-samar terdengar suara derap kaki kuda di depannya. Sepertinya putri sudah masuk terlalu jauh, batinnya. Ia hanya bisa pasrah. Memacu kudanya untuk mencari putri Victoria.

Sementara itu Victoria tertawa kecil membayangkan prajurit tadi pasti kebingungan mencarinya. Ia sadar sikapnya sungguh kekanakan. Tapi Victoria hanyalah seorang manusia. Kadang ia pun membutuhkan waktu sendirian. Victoria sudah mengenal hutan Cello sejak kecil. Hutan yang selalu digosipkan menyeramkan tapi tidak baginya. Ia sangat mengenal seluruh bagian hutan ini. Dan itu berkat ayahnya.

Ayahnya yang menghadiahkan Black pada Victoria kecil. Mengajarinya berkuda dan mengajak berkeliling dengan kuda hitamnya. Termasuk memasuki hutan Cello. Tidak ada yang tahu bahwa ia dan sang raja sering bermain di hutan. Victoria tumbuh menjadi seorang putri yang anggun sekaligus kuat. Ayahnya sering mengajarinya ilmu bertarung tanpa sepengetahuan ibunya.

Victoria tiba di tepi sungai. Tempat ia selalu duduk menikmati kesendiriannya. Apakah ia tak takut? Tentu saja tidak. Victoria sudah terbiasa. Dan ia tahu tak pernah ada orang yang berani memasuki hutan. Sedangkan hewan liar tak pernah menganggunya selama ini. Victoria membiarkan Black menunduk untuk minum air sungai sementara ia membuka sepatu dan duduk di tepi sungai. Membasahi kaki dengan air sungai yang sejuk lalu menggoyangkan kakinya.

"Kau tahu?"tanya Victoria pada Black. "Saat seperti ini aku sangat merindukan ayahku. Jika ia masih ada, pasti Ayah akan menemani aku di sini. Berlatih bersamanya."

Victoria menarik napas. Ia mendongak menatap langit biru. "Ayah, apa kau tahu? Ibu sudah memintaku untuk menikah. Ia sudah seperti ingin mengusirku dari istana. Aku tahu suatu hari akan menikah, tapi....aku ingin menikah dengan pria yang kucintai....dan aku belum menemukannya....aku harus bagaimana, Ayah?"tanya Victoria mengusap sudut matanya yang basah.

Victoria tersentak kaget dan refleks berdiri dengan cepat ketika mendengar suara gemerisik dari belakangnya. Ia memang sangat mengenal tempat ini tapi ayahnya selalu mengingatkan untuk selalu berhati-hati. Ia mengira prajurit berhasil menemukannya. Ataukah ada hewan liar? Victoria menatap waspada ketika sudah menemukan sumber suara tadi. Perlahan terdengar suara langkah kaki kuda yang semakin dekat. Victoria merasa jantungnya berdebar cepat. Siapa itu, tanyanya.

Victoria menahan napas saat mendadak kepala kuda berwarna coklat menyembul keluar dari antara pepohonan. Dan di punggungnya duduk seorang pria. Seorang pria tampan yang belum pernah ia lihat. Rambutnya coklat ikal dan agak berantakan. Matanya biru jernih seperti laut. Tubuhnya tegap. Pria itu melihat dirinya. Mengangkat alis seakan kaget bertemu dengannya. Ia tetap memacu kudanya mendekat ke sungai. Turun dari atas punggung kuda. Menuntun kudanya untuk minum dan ia membasuh wajahnya di bawah tatapan Victoria.

"Siapa kau?"tanya Victoria ketika pria itu sudah berdiri dengan wajah basah.

Sang pria menatap Victoria sesaat sambil mengusap air di wajah dengan jubah. "Aku seorang pedagang yang sedang melintas dan kurasa....aku tersesat...."

"Bisa kulihat kau tersesat."sahut Victoria tersenyum. "Aku akan membantumu keluar dari sini."

"Benarkah? Kau baik sekali!"sahutnya tersenyum. Membuat dada Victoria berdegup aneh.

"Apa kau mau rehat dulu? Sepertinya kau lelah."

"Ah tidak. Aku tak ingin membiarkan seorang gadis lama menungguku. Lagipula aku harus sudah tiba di desa terdekat untuk daganganku."

Victoria pun segera memakai sepatunya lalu naik ke atas kudanya. "Apa kau sudah siap?"

"Ya...."sahutnya menoleh pada Victoria.

Mereka pun memacu kudanya. Berjalan berdampingan. Perjalanan berlangsung hening. Mendadak Victoria merasa menyesal kenapa ia menawarkan membantu pria asing ini? Seharusnya ia cukup memberitahu jalan keluar dari hutan ini, dan bukannya mengantarnya. Bagaimana jika ia orang jahat?! Perlahan tangan Victoria masuk ke balik gaunnya. Menyentuh pisau kecil yang selalu ia bawa. Bersiap jika pria ini berniat jahat padanya. Apa yang mendorongnya untuk membantu orang asing ini? Apa ia tertarik padanya? Tidak, batinnya, ia hanyalah seorang pedagang, kau tak mungkin bersamanya.

"Aku tak percaya seorang gadis terhormat sepertimu berani berkuda sendirian di hutan ini."

Victoria menoleh dan meringis. "Aku sangat mengenal tempat ini."

"Benarkah?! Sangat jarang seorang gadis mau mengunjungi hutan. Gadis sepertimu...." ujarnya seraya memperhatikan Victoria. "biasanya akan menghabiskan waktu dengan merajut, menari atau hal lainnya. Bukan berkuda."

"Mungkin aku memang gadis yang unik." ucap Victoria tertawa.

"Namaku James."

"Namaku Victoria. Senang berkenalan denganmu."

James tersenyum. "Melihat dari sosokmu....sepertinya kau orang penting....apa kau...seorang putri?"tebaknya.

Victoria menoleh pada James. Mengamati wajahnya apakah ia harus jujur atau tidak. Tapi James terlihat baik dan bisa dipercaya. Ia tahu dari sorot mata dan sikapnya yang santun. "Kuharap kau tidak mengatakan pada siapa pun mengenai keberadaanku di sini."

"Ah jadi kau seorang putri?! Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu."ujar James seraya menunduk.

"Jangan panggil aku tuan putri."gumam Victoria.

James meringis. "Aku mengerti. Kau sungguh berani kemari tanpa pengawalan."

Victoria tersentak. Ia teringat dengan prajuritnya. Entah ke mana pria itu. Tak terdengar atau terlihat siapapun selain mereka berdua. Victoria berharap prajurit itu sudah kembali ke istana. "Sebenarnya aku melarikan diri dari pengawalku."

James menoleh padanya. Wajahnya tampak kaget lalu ia terkekeh. "Kau sungguh unik."tukasnya memperhatikan Victoria.

Victoria hanya tersenyum. Ia merasa canggung dengan sorot mata James yang seperti sedang mengamatinya. Seakan ia makhluk aneh. Ia mengarahkan mata ke depan. "Aku butuh waktu sendirian."gumamnya. "Dan kau, apa yang kau jual?"

"Aku menjual kulit domba. Aku sedang mencari jalan ke desa terdekat. Kukira aku bisa melewati hutan ini agar tiba lebih cepat, tapi nyatanya aku tersesat...."ucap James.

"Itu wajar karena kau orang asing. Belum mengenal hutan ini."

"Dan kau mengenal setiap sudut hutan ini?!"

Victoria mengangguk padanya. Ia mulai merasa nyaman berbicara dengan James. Meski James tahu dirinya seorang putri, tapi ia tetap berbicara seakan Victoria hanyalah orang biasa. "Aku dan ayahku sering kemari."

"Ah begitu....kenapa hari ini ayahmu tak mendampingi? Ah aku lupa, ayahmu tentu sibuk dengan tanggung jawabnya sebagai seorang raja."

"Ayahku sudah tiada...."

"Oh maafkan aku. Kukira...."gumam James menatap Victoria dengan sorot mata meminta maaf dan simpati.

"Tak apa. Ayahku sudah meninggal karena sakit. Kini kakakku yang menggantikannya."ujar Victoria.

"Kau pasti kehilangan dirinya."

"Bagaimana denganmu? Apa kau memiliki keluarga?"

James terdiam sejenak. Victoria menangkap tatapan dingin pada mata James. Wajahnya pun kaku. Rahangnya sempat terkatup sebelum ia berkata, "Ayahku pun sudah meninggal. Ibuku....ia meninggalkan aku saat kecil....."

"Oh....maafkan aku. Seharusnya aku tidak bertanya hal itu!" ucap Victoria penuh sesal.

"Tak apa."sahut James memaksa dirinya untuk tersenyum.

"Pasti sangat sulit bagimu...."gumam Victoria merasa tak enak. Setidaknya ia masih mempunyai ibu dan kakaknya. Tidak seperti James yang kehilangan orang tua.

"Awalnya memang sangat sulit. Aku harus menjaga dan merawat ke dua adikku. Tapi lama kelamaan kami terbiasa."

"Ah kau mempunyai dua orang adik?! Mereka sangat beruntung memiliki kakak sepertimu."hibur Victoria. "Kita sudah sampai di luar hutan. Kau bisa mencapai desa terdekat jika mengambil jalan lurus mengikuti jalan setapak itu."

"Ya. Terima kasih kau mau mengantarkan aku."ucap James menatapnya seraya tersenyum.

Victoria membalas senyumannya. Ia merasa berat untuk berpisah dengan James. Mereka sudah seperti teman dekat meski baru saja bertemu. "Kuharap kita bisa berjumpa lagi di lain waktu."ujarnya. Tapi Victoria yakin tak akan pernah bertemu dengan James lagi. Ia seorang putri, sedangkan James hanya pedagang biasa. Pertemuan hari ini sungguh tak terduga.

James hanya mengangguk. "Ya...kita pasti bisa bertemu lagi...."ucapnya dengan nada yakin.

Victoria mengerutkan dahi tak mengerti. "Aku harus pulang. Hati-hati, James, jangan sampai tersesat lagi."godanya yang di balas dengan suara tawa James. "Salam untuk adikmu."

"Terima kasih, Victoria."sahut James memperhatikan Victoria yang memacu kudanya. Ia terus menatap sang putri hingga jauh. "Kau bisa menyampaikan salam kepada adikku nanti, tuan putri. Percayalah, kita akan bertemu lagi."



Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top