12
Esok hari Victoria terbangun. Ia mengerang lirih saat bergerak dan merasakan perih di bagian bawah tubuhnya. Victoria menoleh mendengar suara dengkuran halus. James, batinnya. Keberadaan suaminya yang tidur dengan dada terbuka membuat ia teringat dengan kejadian malam kemarin.
Setelah bertarung, James membawanya ke ruang tidur. Akhirnya mereka menyempurnakan pernikahan. Tadi malam James begitu lembut padanya. Sesuatu yang jarang ia lihat. Biasanya pria itu akan berwajah dingin serta pemarah. Tapi tidak tadi malam.
Victoria merasa wajahnya memanas mengingat kejadian tadi malam. Ia sudah menjadi milik James sepenuhnya. Kepalanya menoleh. Memandangi James masih terlelap. Suaminya tampak tenang dan tampan. Dahinya tertutup rambut ikal. Victoria ingin menyingkap ikalnya tapi takut membangunkan James.
Victoria masih merasa malu membayangkan malam pertama mereka. Ia tak yakin akan sanggup berhadapan dengannya. Perlahan ia mencoba beranjak bangun dan memakai gaun. Meringis pelan saat perih kembali terasa. Victoria menarik napas lega karena kakinya masih sanggup melangkah. Meski tak bisa bergerak cepat, pelan-pelan ia keluar dari ruang tidur. Menengok ke belakang sebelum menutup pintu, melihat James masih tertidur pulas.
"Yang Mulia?"tanya Betty heran melihat majikannya melangkah pelan seraya mengenyitkan dahi sesekali. "Kau baik saja?"
Victoria mengangkat wajahnya. "Oh Betty, kau sudah bangun."gumamnya tersenyum dengan pipi merona.
Betty menaikkan alisnya. "Tentu saja, Yang Mulia. Sekarang sudah pagi. Apa kau mau kusiapkan air mandi?"
"Ya, baiklah."sahut Victoria. "Tapi, Betty, tolong siapkan di ruang sebelah saja!"
"Apa?! Kau yakin?"tanya Betty heran karena biasanya Victoria mandi di ruang tidur miliknya.
"Ya. Aku tak ingin membangunkan James."gumam Victoria yang tak ingin membuat James terbangun dan menemukan dirinya sedang mandi.
"Oh baiklah."sahut Betty. Betty mencari pelayan untuk membawakan bak mandi seraya berpikir. Agak aneh menurutnya, karena biasanya Yang Mulia Raja bangun lebih pagi dan meninggalkan Victoria yang masih tertidur. Sepertinya Yang Mulia Raja sedang lelah, pikirnya.
Dalam waktu cepat pelayan membawa bak mandi besar ke ruangan dan mengisinya dengan air hangat. Betty memasukkan tangan untuk memeriksa apakah sudah cukup hangat. Betty mengangguk puas. Membiarkan pelayan pergi keluar.
"Air mandi sudah siap, Yang Mulia."
"Oh baiklah."sahut Victoria. Lalu ia membuka gaun.
Betty terkejut melihat tubuh majikannya. Terdapat tanda kemerahan di leher serta dadanya. Deg....mendadak Betty memikirkan segala yang ia rasakan ganjil sejak tadi. James yang masih tidur. Victoria yang tampak kesakitan dengan bagian bawah tubuhnya. Apakah....bisik hatinya.... Betty tersenyum kecil. Ia menyadari pernikahan Victoria telah disempurnakan.
Victoria menurunkan tubuhnya ke dalam bak mandi berisi air hangat pelan-pelan. Merasakan air itu membasahi dan memberinya kehangatan. Ia kembali mengenyit saat duduk di dasar bak dan kembali terasa perih. Betty tak mengatakan apapun. Ia membantu Victoria membersihkan badannya, mengeringkan dan memakaikan gaun.
"Kau sudah siap."
Victoria menatap pantulan dirinya di cermin. Ia memakai gaun berwarna kuning lembut. Garis lehernya tinggi hingga bisa menyembunyikan tanda merah di leher. Victoria melihat hal itu. Ia berpikir, apakah Betty tahu apa yang terjadi tadi malam? Pelayannya itu hanya diam saja dari tadi. Tapi ia berterimakasih atas bantuan Betty. Betty begitu perhatian padanya.
Victoria keluar dari ruangan. Menoleh ke arah pintu ruang tidurnya. Apa James sudah bangun, tanyanya. Ia bisa saja masuk tapi bagaimana jika ternyata James masih berada di sana. Victoria menggelengkan kepala. Ia memutuskan untuk pergi sarapan di ruang makan.
Victoria pun melangkah menuruni tangga. Melewati lorong serta belokan hingga tiba di ruang makan. Ia membuka pintu dan terperanjat. Di sana, sudah ada James bersama Charles dan Simon. Secepat itukah James bangun dan bersiap? Wajah suaminya terlihat seperti biasa, kaku dan dingin. Beda dengan saat bersamanya tadi malam.
James melihat istrinya berdiri diam dengan dahi berkerut. "Ada apa, Victoria? Kenapa kau tak masuk?"tanyanya.
Suara keras James menyadarkannya. Victoria tak menjawab. Ia berjalan masuk dan duduk di sisi kanan James. Ia melirik James. Pria itu bersikap biasa. Seakan tadi malam tak terjadi apapun. Apa yang aku harapkan, keluh Victoria.
"Selamat pagi, Victoria." sapa Charles dan Simon.
"Selamat pagi." sahut Victoria tersenyum. Lalu ia mengambil dan mulai menyantap sarapannya. Hanya duduk diam sambil mendengarkan percakapan kakak beradik itu hingga suatu topik menarik perhatiannya.
"Kita akan segera pulang."
Victoria terdiam. Tangannya menggantung diam saat ia hendak memakan roti. Matanya menoleh pada James. Pulang, gumamnya dalam hati, apa itu berarti aku akan ikut atau ia akan meninggalkan aku di sini?
"Pulang? Kapan?"tanya Simon.
"Secepat mungkin."
"Ada apa? Apakah ada masalah di kerajaan kita?" tanya Charles.
"Tidak. Menurutku sudah waktunya kita pulang. Urusan di sini sudah selesai. Aku akan meminta orang untuk menjaga dan mengatur wilayah ini."
"Apa aku juga harus ikut?" tanya Victoria.
James menatapnya. "Tentu saja. Kau adalah istriku sekarang, Victoria."
"Kalau begitu aku harus meminta Betty untuk menyiapkan segalanya."ujar Victoria.
James mengangguk. Victoria kembali diam sementara James berbicara dengan adiknya mengenai rencana kepulangan mereka. Victoria berpikir. Ia akan segera pergi dari rumahnya. Apa ia bisa bertemu dengan ibu dan Arthur lagi? Apa mereka mau menemuinya sebelum Victoria pergi? Victoria ingin bertemu dan berpamitan, tapi apakah ibunya mau menerimanya?
Victoria begitu sibuk dalam pikirannya hingga tak sadar saat Simon dan Charles sudah selesai sarapan lalu pergi dari ruangan. Kini ia hanya berdua dengan James. Pria itu melihat ke arah Victoria. Melihat istrinya menunduk diam dengan garpu di tangan. Hanya menatap piring.
James mengerutkan dahi heran. "Victoria."panggilnya membuat wanita itu terlonjak kaget. Garpu di tangannya terlepas dan terjatuh ke lantai, menimbulkan suara dentingan.
Victoria mendongak. Ia kaget melihat mereka hanya berdua. "Oh...ada apa? Ke mana Charles dan Simon?!"tanyanya bingung melihat tempat kosong yang tadi diduduki ke dua adik James.
"Mereka sudah pergi dari tadi."sahut James menangkupkan ke dua tangannya dan menatap Victoria.
"Oh..."gumam Victoria. Berduaan dengan James membuatnya gugup.
"Kau baik saja?"tanya James.
"Ya."
"Kau yakin? Aku tidak menyakitimu tadi malam bukan?"
Victoria merasa pipinya panas. Pembicaraan pertama mereka mengenai kejadian tadi malam cukup membuatnya canggung. Sorot mata James membuat dadanya berdebar tak karuan. Mendadak ia merasa panas, meski sebenarnya hawa pagi cukup sejuk. Semua itu karena James.
"Sama sekali tidak."gumam Victoria.
"Lalu apa yang kaupikirkan? Aku tahu kau memikirkan sesuatu. Terlihat sejak tadi kau tak menyentuh makananmu."ucap James melirik isi piring Victoria.
"Aku tak tahu kalau ternyata kau memperhatikanku."
"Karena aku suamimu. Aku sudah berjanji akan menjagamu."
Victoria menatap wajah James. Ucapannya kembali membuat hatinya hangat. Juga sikapnya tadi malam. Apa itu berarti James memang memiliki perasaan padanya? Ataukah ia melakukannya hanya karena tanggung jawabnya sebagai suami?
"Victoria, kau belum menjawab pertanyaanku."ujar James memperhatikan Victoria yang hanya diam. Ia merasa bingung dengan sikap istrinya pagi ini.
"Oh....aku...apa aku akan bisa kembali lagi kemari?"
"Kuharap tidak. Aku ingin kita tinggal di kerajaanku. Di wilayah utara."
"Oh...." gumam Victoria menunduk dengan nada kecewa dan wajah muram.
"Kau bisa berpamitan dengan ibu dan kakakmu sebelum pergi jika kau mau."
Victoria kembali mendongak dan menatap James. "Benarkah?!"tanyanya tak percaya. Ia melihat apakah James serius. Suaminya membalas tatapannya dan Victoria tak menemukan tanda pria itu berbohong atau sedang bercanda. Ya tentu saja James serius, sejak kapan pria itu akan bercanda, maki Victoria dalam hati.
James melihat rona bahagia pada sosok istrinya saat ia mengijinkan menemui keluarganya. Betapa Victoria terlihat manis dan cantik. Mulutnya berkedut ingin tersenyum tapi segera ia tahan. "Tentu saja, Victoria. Aku akan mengatakan pada penjaga di sana bahwa kau akan berkunjung."
"Terima kasih, James!"tukas Victoria tersenyum.
James masih memandangi Victoria. Tanpa sadar tangannya terulur. Menyentuh sisi wajah Victoria dan membelai dengan jarinya. Victoria menahan napas merasakan jari James meraba kulit wajahnya. Napasnya terasa sesak. Ia menatap James dan melihat mata birunya yang indah.
Jari James berhenti di sudut bibir Victoria. Mengusap bibir bawah Victoria dengan tatapan mendamba. Pria itu masih ingat bagaimana bibir Victoria yang manis serta memabukkan. Ia ingin menciumnya lagi. Memeluk serta menikmati tubuh istrinya kembali. James melihat Victoria membalas tatapannya dalam diam. Rona wajah Victoria membuat James yakin bahwa istrinya pun menginginkan hal yang sama. Andai saja saat itu mereka tidak berada di ruang makan, tentu James sudah mencium Victoria. Tapi pria itu sadar betul dengan kehadiran para pelayan di belakang mereka. Ia yakin mereka bisa melihatnya.
Dengan memaki dalam hati, James menjauhkan tangannya. Ia mencoba menahan gairahnya. Bukan karena James tidak menginginkan Victoria. Demi tuhan, ia sungguh ingin menarik Victoria ke atas pangkuan dan mengecup bibirnya. Tapi tanggung jawab sebagai raja menanti. Dan ia tak mungkin melakukan hal itu di hadapan para pelayan.
Victoria melihat James dengan bingung. Ia merasa bodoh karena mengira James akan menciumnya. Tentu saja ia tak akan melakukannya di ruang makan di bawah tatapan para pelayan. James bukan pria barbar, makinya. Tapi Victoria jelas merasa kecewa.
"Aku harus segera bekerja."ujar James beranjak bangun. Ia mendekatkan kepala dan berbisik padanya, "Kita akan melakukannya nanti malam, Victoria."
Victoria merasa jantungnya mencelos. Wajahnya langsung terasa panas karena mengerti apa maksud perkataan suaminya. Ia hanya terdiam duduk sementara James pergi meninggalkan dirinya. Kini ia sendirian di ruang makan. Victoria menarik napas lega setelah James keluar. Napasnya kembali normal kembali. Sungguh, kedekatannya dengan James membuatnya sesak napas. Perlahan ia merasa hawa kembali sejuk. Victoria pun memutuskan untuk beranjak pergi dari ruang makan.
------
"Betty."
"Ya, Yang Mulia?"tanya Betty mengangkat wajah dan menatap Victoria dari cermin meja riasnya. Saat itu Betty sedang mengepang rambut Victoria.
"Apa menurutmu ibu dan Arthur akan memaafkan aku?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Bagaimanapun mereka adalah keluargamu bukan?!"
"Ya...tapi aku sudah membuat mereka marah..."gumam Victoria. "Aku merasa seperti pengkhianat."
"Tidak, Yang Mulia, jangan berkata demikian!"
"Aku sungguh merasa gugup karena akan bertemu dengan mereka...."
"Semua pasti akan baik saja, Yang Mulia."
Victoria menarik napas. "Kuharap demikian...."
"Anda sudah siap, Yang Mulia."tukas Betty mundur sambil melihat hasil pekerjaannya.
"Terima kasih, Betty."ujar Victoria seraya berjalan menuju pintu. Hari ini ia akan bertemu dengan ibu dan Arthur. Ia merasa gugup. Begitu gugup dan tak sabar hingga memutuskan untuk melewatkan waktu sarapannya. Kebetulan hari ini James tidak ada di istana.
Victoria pun segera melangkah menuju istana pengasingan. Prajurit yang berjaga telah menerima informasi bahwa sang Ratu akan datang, pria itu pun memberi jalan masuk padanya. Dan di sinilah Victoria. Ia berdiri memandangi istana kecil yang ia kenal. Bangunan yang sudah jarang didatangi sejak kematian ayahnya. Ia tak sanggup karena begitu banyak kenangan bersama ayahnya di istana itu.
Istana itu masih sama seperti dulu. Masih banyak jenis bunga tumbuh subur di tamannya. Bedanya kini banyak prajurit yang berjaga di dalam. Mengawasi tahanan agar tidak melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan James.
Victoria berjalan melalui jalan setapak dari batu hingga tiba di pintu. Ia berhenti di sana. Debaran jantungnya makin tak menentu. Ia Mencoba mengatur napas lalu perlahan membuka pintu. Ia langsung berhadapan dengan ruangan luas penuh nuansa putih. Lampu kristal yang ia kenal masih tergantung di atas langit.
"Selamat datang, Yang Mulia."sapa seorang prajurit yang berjaga.
Victoria mengangguk padanya. "Di mana ibuku?"
"Ibu anda sedang berada di ruang duduk, Yang Mulia. Aku akan mengantarkan anda."
"Tidak perlu. Biar aku sendiri. Aku sudah tahu letaknya."sahut Victoria.
"Baiklah, Yang Mulia."
Victoria kembali melanjutkan berjalan ke bagian dalam istana. Melewati lorong berwarna putih dengan lukisan menghiasi dindingnya. Ia tiba di ruangan yang di tuju. Victoria membuka pintu. Aroma bunga dan makanan menyambut dirinya. Ia Melihat ibu dan kakaknya sedang berada di dalam. Ibunya sedang merajut sementara Arthur membaca buku. Kedatangan Victoria membuat mereka menoleh. Milicent tampak terkejut melihat putrinya muncul. Begitu pula dengan Arthur.
"Ibu...." gumam Victoria.
Victoria melihat Milicent dan Arthur tampak lebih baik. Wajah mereka sudah tidak pucat dan kurus. Pakaian yang mereka kenakan pun sangat layak meski jauh dari mewah. Setidaknya kehidupan mereka masih lebih baik daripada saat di penjara. Milicent dan Arthur memang terkurung, tak bisa keluar. Namun di istana kecil ini kebutuhan mereka selalu terpenuhi. Dan ada taman kecil tempat mereka bisa menghirup udara segar.
"Ibu...kakak...."lirih Victoria berjalan mendekat. Tapi ia segera berhenti melihat tatapan tajam dan penuh benci yang dilontarkan Arthur.
"Apa maumu?!"tanya Arthur dingin.
"Aku...aku ingin menemui kalian...."
Arthur mendengus. Ia menutup buku dan beranjak bangun. Lalu melangkah pergi tanpa pamit atau melihat pada adiknya. Arthur berjalan melewati Victoria seakan ia tak mengenalnya.
"Arthur!" panggil Milicent. Tapi putranya tidak menjawab atau berhenti. Ia keluar dan nyaris membanting pintu. Milicent menarik napas.
Milicent melihat pada Victoria yang masih berdiri dengan wajah muram. "Maafkan kakakmu, Victoria. Arthur masih tak dapat menerima nasibnya."
"Aku mengerti, bu. Tapi aku menyayanginya. Aku tak ingin ini semua terjadi. Aku terpaksa. Aku akan merasa sangat bersalah jika terjadi sesuatu pada ibu dan kakak. Hanya kalian keluargaku."
"Duduklah."
Victoria berjalan mendekat lalu duduk di samping Milicent. "Apa ibu memaafkan aku?"
Milicent tersenyum seraya memegang tangan putrinya. "Tentu saja. Kau putriku. Mana mungkin ibu bisa marah padamu. Ibu sungguh bodoh saat itu. Kau berbuat seperti ini karena ingin menyelamatkan keluargamu. Apa James baik padamu?"
"Ya, bu."
Milicent melihat Victoria yang tampak ragu dengan jawabannya. "Ia tidak menyakitimu kan?!"
"Tentu saja tidak, bu."ujar Victoria. Ia tak mungkin menceritakan perihal James yang tidak menyukainya. Bahwa pria itu menikahinya hanya karena kekuasaan. Sedangkan ia mencintai pria itu.
"Duduklah."
Victoria mendekat dan duduk di samping Milicent. "Ada yang ingin aku sampaikan, bu."
"Ada apa, Victoria?"tanya Milicent memegang tangan Victoria.
"Aku akan pergi dari sini."gumam Victoria. "Mengikuti James yang akan pulang ke istananya."
Milicent terdiam. "Kapan kau pergi?"
"James mengatakan secepatnya. Mungkin minggu ini kami akan pergi."
"Jaga dirimu di sana, Victoria. Kuharap kau kembali dan ibu bisa melihatmu lagi."
"Ibu, aku janji akan kembali kemari dan kita akan berkumpul lagi. Aku akan berusaha melepaskan kalian dari sini!"
"Jangan kaupikirkan itu, nak. Ibu sudah bisa terima semua ini. Inilah resiko yang harus ibu tanggung sebagai ratu. Seperti inilah kehidupan kerajaan, Victoria. Kau juga harus waspada dan jaga diri. Jangan sampai kau mengalami seperti ibu."
"Ibu...aku janji akan membebaskan kalian...."
"Ibu percaya padamu." gumam Milicent meremas tangan Victoria. Mencoba menenangkan hati putrinya meski ia tak yakin James mau membebaskan mereka.
Victoria terus bersama Milicent hingga menjelang sore. Menghabiskan waktu dan berbincang dengan ibunya. Ia merasa seperti kembali ke masa kecilnya saat ayahnya masih hidup. Hanya saja kali ini Arthur tidak menemani mereka. Kakaknya terus menghindar darinya. Victoria tak tahu ke mana kakaknya pergi. Dan ia merasa sedih karena tidak berhasil bertemu dengan Arthur lagi saat ia pulang.
Victoria membenci James karena sudah berbuat keji pada keluarganya. Ibu mertua dan kakak iparnya sendiri. Tapi di sisi lain, ia mencintai pria itu. Victoria tak tahu harus bagaimana. Haruskah ia menahan perasaannya dan mencoba balas dendam? Apa ia sanggup membunuh James?
Tidak, Victoria, itu sama saja kau akan menerima hukuman mati, gumamnya dalam hati. Ia tak akan bisa apa-apa di tempat baru nanti. Juga di sini. Tak ada yang mendukungnya. Tak ada yang ia kenal. Victoria harus mencari sekutu untuk membantunya.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top