11
Victoria memandangi bangunan yang ia kenal. Tempat ia sering bermain bersama kakak dan ayahnya dulu. Tempat di mana ayahnya ingin rehat dan menyendiri sejenak dari kepenatan pekerjaan serta berkumpul bersama keluarganya. Tapi kini bangunan itu akan menjadi penjara seumur hidup bagi ibu dan Arthur. Istana kecil di sisi lain itu telah diubah menjadi tempat pengasingan.
Victoria menoleh mendengar suara langkah kaki. Ia melihat ibu dan Arthur berjalan dengan pengawasan beberapa prajurit. "Ibu, Arthur!"panggilnya mendekati mereka.
Milicent dan Arthur mendongak melihat Victoria. Saat itu Victoria mengenakan gaun mewah berwarna hijau dengan mahkota menghiasi kepalanya. Arthur memberinya tatapan dingin. Milicent tampak pucat dan marah. Ibunya menggelengkan kepala dengan sedih.
"Ibu....Arthur...."
"Yang Mulia."sapa Arthur seraya membungkuk padanya.
"Hentikan, Arthur. Aku adikmu. Kau tak perlu berbuat begitu."
"Tapi kini kau sudah menjadi ratu."kata Arthur getir.
"Arthur...."
"Victoria, kau sungguh bodoh menikah dengannya!"kata Milicent dengan suara bergetar. Ia merasa sedih sekaligus marah karena keputusan putrinya.
"Ibu, aku terpaksa. Aku tak mau terjadi sesuatu pada kalian. Aku berbuat demikian demi kalian!"
"Demi kami?! Demi kami atau demi dirimu agar kau selamat dan bisa hidup mewah?!"hardik Arthur. Ia mengamati Victoria dari atas hingga bawah. Menatap dengan tersenyum miring. "Tampaknya kini hidupmu sudah bahagia dan aman. Kurasa James memang menjagamu dengan baik."
"Hentikan! Kenapa kalian terus menyudutkan aku? Kenapa kalian tak bisa memikirkan perasaanku?! Aku sayang pada kalian! Aku tak mau kalian di bunuh olehnya!"
"Ibu lebih baik mati daripada kau menikah bersamanya, Victoria! Kau menikah dengan musuh yang sudah merebut tahta kakakmu dan membunuh semua orang! Kau membuatku malu!"ujar Milicent sambil terisak emosi. "Ibu tak ingin melihatmu lagi!"
"Ibu!"seru Victoria menahan tangan Milicent. Tapi ibunya menepiskan tangan Victoria lalu berjalan bersama Arthur masuk ke dalam tempat pengasingan mereka.
"Ibu!!!"isak Victoria berlari menyusul.
"Maaf, Yang Mulia, tapi ibu anda menolak bertemu denganmu lagi."ujar seorang prajurit menahannya masuk lalu menutup pintu gerbang.
Victoria terdiam. Ia mengetuk pintu itu tapi tak ada jawaban dari dalam. "Ibu! Kakak! Maafkan aku..."isak Victoria berlutut dan menangis. "Aku terpaksa...... Sungguh, aku terpaksa melakukannya....."
"Aku tahu aku kejam. Aku mencintai musuhku....ya, aku mencintai James, bu. Aku memang bodoh...." gumam Victoria. "Kuharap kalian mengerti suatu saat nanti."
Victoria kini sudah menjadi seorang ratu, tapi ia harus berkorban kehilangan ibu dan kakak atas keputusannya. Ia menikah dengan pria pilihan hatinya, tapi Victoria tak tahu apakah James mencintainya atau tidak. Ia tak tahu haruskah merasa bahagia atau tidak.
------
"Kau berani melawanku? Apa kau tahu siapa aku?!"tanya Victoria dengan nada tinggi.
"Maaf, Yang Mulia, tapi Yang Mulia Raja melarang anda berkuda tanpa pengawalan."
"Aku sudah biasa berkuda sendirian!"
"Tapi Yang Mulia Raja memberi perintah demikian. Saya tak berani melanggar."ujar pria yang menjaga istal dengan wajah pucat dan gemetar.
Victoria mencoba menarik napas. Setelah menangis di depan pengasingan, ia berlari menuju kandang kuda. Hanya satu yang bisa membuatnya melupakan segala masalahnya, yaitu berkuda bersama Black. Tapi yang ia temukan, penjaga istal menolak menyiapkan kudanya saat tahu sang ratu akan berkuda sendirian. Tanpa prajurit yang mengawal.
Pria yang bertugas sebagai pengurus istal memang tidak sama sang dulu ia masih berstatus putri. Victoria tak tahu ke mana penjaga istalnya yang dulu. Ia menatap pria itu yang sudah pucat ketakutan. Jika ia masih seorang putri, Victoria akan nekat berkuda sendirian. Tapi sekarang, ia tak mungkin berbuat demikian. Perbuatannya akan mengakibatkan pria itu kehilangan pekerjaannya, atau mungkin nyawanya, mengingat James bisa dengan mudah membunuh tanpa perasaan.
Victoria terpaksa mengurungkan niatnya. "Baiklah, aku mengerti. Tak ada yang bisa melawannya bukan?!" ujar Victoria sinis.
"Maafkan aku, Yang Mulia."sahut sang pria seraya menunduk.
Victoria membalikkan badan dan berlalu dari sana. Ia melangkah dengan gusar. Rencananya untuk pergi menyendiri di hutan Cello pun gagal. Kakinya melangkah tanpa tujuan hingga tanpa sadar ia mendongakkan kepala mendengar suara dentingan besi.
Victoria menaikkan alis. Kini ia berdiri di sisi lapangan tempat latihan para prajurit istana. Victoria bersembunyi di balik pilar putih. Ia melihat para pria yang baru saja selesai berlatih. Mereka sedang menaruh pedang. Memasukkan pedang ke dalam sarung dan menggantungkannya di dinding. Lalu satu per satu pun mereka melangkah pergi.
Muncul ide dalam kepala Victoria. Ia sudah lama tak menyentuh pedang. Sudah lama tak berlatih. Victoria melihat sekelilingnya. Tak ada orang satupun. Ia keluar dari pilar. Perlahan melangkah di lantai. Menyeberangi lapangan berbatu hingga tiba di tempat deretan pedang tergantung.
Matanya memperhatikan semua senjata tajam itu. Tangannya terulur menyentuh dan mengusap sarung. Ia berhenti pada satu pedang tipis dan panjang. Mengambil sarung. Perlahan mengeluarkannya dari dalam sarung. Victoria tersenyum melihat benda besi yang berkilau di tangannya. Ia membelainya. Pedang itu terasa ringan.
Dengan gerakan cepat, Victoria membalikkan badan seraya mengayunkan pedang. Menimbulkan suara desingan lembut. Ia melakukan gerakan menghunus ke kiri dan kanan, seakan sedang bertarung dengan sosok di dalam bayangannya.
Selama beberapa menit ia terus melangkah ke sana kemari dengan memainkan pedangnya. Tak terganggu dengan gaun panjang yang ia pakai. Sudah lama tak berlatih membuat napasnya cepat memburu. Keringat membasahi punggung serta dahinya. Victoria berhenti. Mencoba mengatur napas sambil meringis. Victoria merasa kembali bersemangat setelah melampiaskan segala kekesalan dan sedihnya.
"Aku pasti bisa melalui semua ini. Aku harus bisa mengubah sikap James. Jangan khawatir, bu, putrimu ini kuat dan tangguh seperti seorang ksatria."gumamnya.
Victoria kembali meraung dan mengayunkan pedangnya lagi. Kali ini ia melangkah menuju target yang terbuat dari jerami menyerupai manusia. Dengan sekali tebas, ia berhasil membelah sosok jerami itu. Menyebabkan berserakan di lantai dan kakinya.
Plok....plok....plok....
Victoria menoleh kaget. Pedangnya terjatuh menyebabkan suara dentingan besi beradu dengan lantai batu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia melihat James berdiri di ujung lapangan. Bertepuk tangan sambil tersenyum miring padanya. Dan hanya sendiri. Tanpa pengawal atau ke dua adiknya.
"Yang Mulia...." sapa Victoria membungkuk padanya. Dadanya berdebar keras. Apakah James akan marah padanya?
Kaki James melangkah mendekat. "Aku tak tahu permainanmu sehebat itu."
"Kemampuan pedangku tak ada bandingannya denganmu, Yang Mulia."
"Kau terlalu merendah, Victoria. Untuk seorang wanita seperti kau, dan seorang ratu, keahlian pedangmu sungguh menakjubkan."gumam James.
Victoria tak tahu harus berkata apa. Apakah James sedang memuji atau menyindirnya.
"Sejak kapan kau memegang pedang?"
"Sejak usiaku sepuluh tahun, Yang Mulia."
James berkerut menatapnya. Ia memegang dagu Victoria. "Panggil aku dengan James. Jangan Yang Mulia."
Victoria terkejut dan menaikkan alisnya. Kaget akan permintaannya. Sangat jarang seorang raja meminta pasangannya untuk memanggil dengan nama. Ibunya saja tetap memakai status ayahnya saat berbicara. "Baiklah jika itu maumu."
"Siapa yang mengajarimu?"
"Ayahku."
James mengangguk. Ia terdiam sambil masih terus menatap Victoria, membuat wanita itu gugup. "Bertarunglah denganku."pintanya mendadak.
"Apa?!"
James menunduk mengambil pedang Victoria yang terjatuh. "Aku ingin kita berlatih bersama."
"Oh...tapi...."sahut Victoria terbata melihat James mundur seraya mengeluarkan pedang dari sarung di pinggangnya.
"Jangan sungkan untuk melawanku."tukas James.
Victoria dan James saling menatap dengan tajam. Seakan mereka sedang berhadapan dengan musuh dan siap membunuh. Bukan sebagai suami istri. Mata biru James bertemu dengan mata hijau milik Victoria.
Dan pertarungan pun di mulai. Pedang James beradu dengan milik Victoria. Menimbulkan suara denting keras. Victoria sekuat tenaga menahan pedang James. James meringis. Ia mengangkat pedangnya dan kembali menyerang. James mendekatkan pedangnya pada leher Victoria yang segera di tangkis oleh sang ratu.
Sungguh hebat kemampuannya, batin James menyeringai. Tapi ia tahu akan menang karena Victoria sudah lelah dengan latihannya tadi. Dan gaun beratnya memperlambat gerakan serta membuatnya cepat lelah. Namun ia salut dengan semangat istrinya. Victoria terus menahan dan menyerangnya.
"Apa kau lelah?"tanya James melihat Victoria sudah berkeringat dan terengah kehabisan napas. Wajah Victoria berkilau karena keringat. Dadanya naik turun. Pemandangan yang sangat jarang di lihat oleh James dan cukup untuk membuatnya bergairah. Victoria terlihat begitu menggoda.
"Tidak!"sahut Victoria keras.
James pun kembali menyerangnya. Kali ini ia memberikan serangan lebih keras dan cepat. Berdua saling menghunus, menahan serta menghindar. Bergerak ke sana kemari sepanjang lapangan.
Victoria merasa tak kuat lagi. Seluruh badannya terasa sakit. Napasnya sesak. Ia berlari dan berhenti seraya menyandarkan diri pada tembok. Melihat James yang mengejarnya dengan mata pedang tertuju padanya.
'Apa aku akan mati?'tanya Victoria dalam hati.
"Kau menyerah?"tanya James mengarahkan pedang pada leher Victoria seraya menyeringai penuh kemenangan.
Victoria terdiam. Sebenarnya ia benci karena harus menyerah. Tapi tenaganya sudah habis karena latihan. Dan pertarungannya dengan James sungguh menguras tenaganya.
"Haruskah aku membunuhmu atau menciummu?"tanya James menelurusi kulit Victoria dengan pedangnya.
Victoria merasa kulitnya perih meski tak mengeluarkan darah. Mata mereka terpaku. Ia merasakan pedang bergerak turun hingga berhenti di dadanya. James menatap bagian dadanya dan mengigit bibir.
Victoria merasa jantungnya berdebar begitu kencang. Tatapan James seakan mengalirkan sesuatu yang aneh pada dirinya. Perutnya terasa mulas. Badannya gemetar karena takut sekaligus bersemangat. Sosok James yang berkeringat membuatnya terlihat semakin tampan dan gagah. Membuat Victoria ingin memeluknya. Ia menginginkan James menjadikan dirinya sebagai miliknya.
James masih mengamati dada Victoria yang naik turun. Perlahan mata birunya bergerak naik pada wajah Victoria. Menatap Victoria melihatnya dengan mata sayu dan napas memburu. Ia tak bisa menahan diri lagi. James menjatuhkan pedangnya lalu mendekatkan wajah dan menempelkan bibirnya pada Victoria. Mengecupnya perlahan. Merasakan lembutnya bibir Victoria.
Victoria terdiam karena ia tak paham apa yang harus dilakukan. Tubuhnya menegang merasakan bibir James membelai miliknya. Terasa basah serta lembut. Tanpa sadar ia memegang bahu James. Mencoba membalas ciumannya dengan gugup.
Reaksi Victoria cukup mengejutkan bagi James. Tapi ia segera mengatasinya. James memeluk. Menarik Victoria merapat pada tubuhnya dan menciumnya dengan lebih berani. Ia mengerang merasakan bibir Victoria terbuka. Menyusupkan lidah ke dalamnya.
Victoria merasa kakinya tak bertenaga. Ia mencengkeram lengan James. Bertumpu pada tubuh kekarnya. Ia merasakan sensasi geli yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Mulutnya mengerang pelan saat bibir James menelurusi dagu dan lehernya.
James melepaskan ciumannya. Membuat Victoria bingung. Wanita itu masih ingin merasakan sentuhan dan ciuman James. James menatap wajah Victoria. Bibirnya bengkak dan merah. Pipinya merona. Tatapan sayunya cukup untuk membuat James tak bisa menahan diri lagi. Ia membopong tubuh Victoria. Membawanya menjauh dari tempat latihan dan berjalan menuju ruang tidur mereka.
Tbc...
Auw ngapain y James membawa Victoria....hihihi.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top