3 - The Decision has been Made
Rosalva sudah mempersiapkan mental sejak mengganti seragam latihannya dengan gaun yang lebih pantas, tetapi orang tuanya tidak memberikan teguran apa-apa atas kenakalannya hari ini. Bahkan, ayahnya yang biasa sangat sensitif tentang latihannya pun menyantap makan siang dalam diam. Ruang makan benar-benar sunyi, bahkan peralatan makan yang saling bersinggungan pun turut berpartisipasi dalam keheningan yang mencekam tersebut.
Memang sudah menjadi etika keluarga bangsawan untuk makan dengan tenang, tetapi bukan berarti mereka hanya diam. Terkadang obrolan ringan terjalin sebagai bentuk penguatan hubungan dalam keluarga. Orang-orang seperti mereka, yang punya kesibukan sepanjang waktu, mungkin tidak memiliki waktu untuk bisa berkumpul bersama anggota keluarganya selain pada saat makan bersama. Dalam buku etiket Kerajaan Calanthe, mengobrol saat makan dimaklumi, asalkan masih dalam batas wajar dan tidak sampai membuat orang lain merasa risi. Kendati demikian, masih ada juga yang enggan mengobrol di waktu makan karena tidak ingin menodai berkat yang tersaji di hadapan mereka.
Namun, Douglas Ragnheidr bukan salah satunya. Pria itu terlalu sibuk dengan urusan akademi hingga pembicaraan keluarga sering kali dibicarakan saat sedang makan bersama—bisa jadi dilakukan sebelumnya, atau setelahnya. Diamnya pria itu sekarang berhasil membuat Rosalva tidak tenang. Dia tahu pria itu sedang menahan semua emosi dalam kunyahan yang kuat. Anggota keluarga yang lain juga tidak akan bicara sebelum kepala keluarga memulainya lebih dulu.
Ada banyak kejadian tidak terduga hari ini, tetapi Rosalva ingin menyelesaikannya secara berurutan. Sebelum membicarakan tentang pernikahan, dia ingin tahu terlebih dahulu apa konsekuensi dari kesalahan beruntun yang dia lakukan hari ini. Keluarga Ragnheidr selalu menyelesaikan sebuah masalah dengan cepat. Selama ini, tingkah laku Rosalva sering kali dianggap sebagai masalah besar di keluarga hingga hukuman pendisiplinan selalu dia dapatkan segera setelah sang ayah mengetahuinya. Hari ini, itu tidak terjadi, sampai-sampai dia memikirkannya hingga lupa bahwa dirinya akan dinikahkan oleh orang paling berbahaya di Kerajaan Calanthe.
Rasa penasarannya telah terjawab sebelum Grand Duke Kieran kembali ke istana. Pernikahannya merupakan perintah kerajaan, yang tentunya tidak akan bisa Rosalva tolak, tidak peduli jika ada banyak alasan yang bisa dia lontarkan sebagai bentuk penolakan. Lantas bagaimana dengan impiannya menjadi seorang ksatria?
Rosalva ingin dirinya dianggap setara seperti Sylvan. Sejak kecil, Rosalva selalu mendengar sang ayah melontarkan pujian dengan wajah yang semringah pada kakak laki-lakinya itu. Tidak jarang rasa bangganya diceritakan pada orang-orang dan mengatakan bahwa Sylvan akan menjadi penerusnya. Sampai-sampai Rosalva berpikir Sylvan adalah pusaran dunia ayahnya, seluruh perhatian tertuju padanya. Hal itu membuat Rosalva penasaran, apakah jika dirinya yang mengayunkan pedang akan membuat Douglas juga tersenyum seperti itu?
Perkiraan Rosalva salah. Nyatanya, selama ini dia terus memancing kemarahan pria itu hanya karena ikut berlatih. Dan, dia tidak menyerah. Terakhir kali dia memamerkan kemampuan berpanahnya dan berhasil menaklukkan seekor rusa jantan dewasa. Ketika pelayan dapur menghidangkan masakan dari daging rusa tersebut, sang ayah tidak menyentuhnya sama sekali.
Memikirkan kejadian itu lagi membuat Rosalva kehilangan nafsu makan, padahal isi piringnya tersisa sedikit lagi. Dia meletakkan peralatan makannya dalam posisi terbalik di atas piring dan menenggak air putih di gelasnya. Itu adalah tanda bahwa dia selesai. Sekarang hanya tinggal menunggu hukuman apa yang akan dia dapatkan hari ini.
“Kenapa tidak dihabiskan?” Setidaknya itu memancing perhatian sang ibu yang juga tidak bersuara sejak tadi.
“Sudah kenyang, Ibu.” Rosalva kemudian menatap sang ayah yang masih melanjutkan makan dengan tenang. “Apa boleh kembali ke kamar?”
Suara pisau dan garpu yang diletakkan ke piring yang sudah kosong menjawab pertanyaan Rosalva. Selanjutnya sepasang bola mata berwarna abu-abu tua menyorot ke arah gadis itu dengan tajam. Rosalva tidak mengira kalau pertanyaan sesederhana itu akan memancing kemarahan sang ayah. Menelan ludah menjadi lebih dramatis ketika Rosalva mulai membayangkan hukuman macam apa yang akan dia terima setelah ini.
“Seseorang dari akademi akan datang hari ini untuk memberimu etiket berumah tangga. Setidaknya kau tahu ilmu dasarnya sebelum Grand Duke membawamu ke kediamannya besok.”
Rosalva mungkin perlu berterima kasih karena surat perintah untuk menikah itu mengalihkan perhatian sang ayah dari memberi hukuman untuknya. Namun, dia tidak mengira akan meninggalkan rumah secepat itu. Grand Duke memang mengatakan tentang akan menjemputnya tadi, tetapi Rosalva tidak mengira kalau rencana itu tidak bisa berubah lagi.
“Tapi, Ayah, kenapa harus aku? Aku bahkan belum hadir ke satu pun pesta debutan atau pesta sosial.”
Kalau tidak bisa protes langsung ke kerajaan, mungkin Rosalva bisa mengajukan sedikit keringanan, minimal lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Atau, waktu untuk menerima takdir yang dituliskan kerajaan untuknya. Yang Rosalva pertanyakan hanya, dari sekian banyak gadis cantik di kerajaan, kenapa harus dia? Hubungannya dengan kerajaan juga tidak begitu dekat, selain ayahnya mengurus akademi militer kerajaan.
“Kau tidak pernah menghadiri satu pun undangan pesta. Itu tidak bisa dijadikan alasan.” Apa yang diucapkan Marquess Ragnheidr adalah fakta, tidak terbantahkan. Suaranya sarat akan kefrustrasian. Memang benar Rosalva selalu punya alasan untuk tiba-tiba batal pergi meski saat itu sudah dirias dan siap pergi.
“Aku tidak tahu apa gunanya datang ke sana, Ayah. Apa seorang gadis perlu memberi tahu para bujangan di sana bahwa usianya sudah cukup untuk menikah? Pesta sosial kebanyakan diisi dengan ajang pamer status sosial. Kalau tahu akan seperti ini, seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki saja.” Tidak peduli seberapa sering dirinya menerima kemarahan Marquess Ragnheidr, Rosalva selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Pendapatnya perlu didengar orang lain untuk meminimalisir kesalahpahaman. Tidak peduli jika itu adalah suara yang tidak akan diterima oleh orang lain.
Rosalva menatap piring kosongnya ketika Teresa menatapnya dengan rasa hampa. Apakah itu sebuah kekecewaan? Rosalva tidak bisa mengartikannya. Sama seperti ayahnya, ibunya juga tidak begitu banyak memberinya perhatian. Pembangunan kastil Keluarga Ragnheidr baru selesai ketika Rosalva berusia tiga tahun. Marchioness sebagai nyonya rumah lantas sibuk menata furnitur dan dekorasi. Saat itu uang mereka belum begitu banyak hingga tidak bisa mempekerjakan lebih banyak pelayan atau membayar jasa dekorator. Sylvan juga jarang di rumah karena harus menuntut ilmu di akademi. Kalau dipikirkan lagi, tentu saja Rosalva tidak akan mendapat pembelaan dari orang tuanya terkait pernikahan.
“Rosa ... Kerajaan tentu punya alasan kenapa memilihmu, itu bukan sesuatu yang buruk.” Ibunya bahkan hanya berusaha menghibur agar Rosalva bisa dengan legowo menerimanya.
“Tapi kita semua tahu bagaimana Grand Duke dipandang di kerajaan ini. Dia tidak akan disingkirkan dari istana kalau tidak berulah. Apa ... .” Awalnya dia hanya ingin bernegosiasi agar orang tuanya mau berbicara pada Raja Baratheon III yang memutuskan itu secara mendadak, tetapi dia justru benar-benar ketakutan. “Apa kalian tidak takut aku akan terbunuh di tangannya?”
Pertanyaan itu berhasil membuat orang tuanya dan Sylvan menegang. Rasa takut Rosalva menyerupai tanaman rambat yang menjalari apa saja yang dilaluinya, dan seakan-akan mencekik setiap leher yang ada di sana.
Semua orang tahu Kieran Baratheon sempat menyandang julukan penebas kepala berdarah dingin. Setelah peperangan berakhir dan sebelum pelaksanaan upacara penobatan Raja Baratheon III, Kieran melakukan pemberontakan dengan menyatakan bahwa Putra Mahkota pada saat itu tidak pantas menjadi kandidat raja. Orang-orang berpikiran Kieran Baratheon hanya iri karena dia tidak mendapat posisi di kerajaan. Kepercayaan kerajaan hilang begitu saja ketika dirinya tidak berhasil membawa kemenangan pada pasukan yang dipimpinnya saat berperang memperebutkan wilayah Utara Eropa. Lantas, siapa pun yang berusaha menghalangi rencananya akan dibawa ke Nethilor dan eksekusi pencabutan kepala pun terjadi di sana.
Itu hanya satu cerita tentang kelakuan buruknya. Sisanya, tidak bisa Rosalva sebutkan satu per satu. Sudah cukup lama dirinya mengoleksi berita buruk pria itu dari memotong surat kabar yang sudah dibaca oleh ayahnya.
Sudah menjadi rahasia umum kalau Kieran Baratheon ingin menghancurkan Kerajaan Calanthe.
“Menjadi istri Grand Duke berarti kau akan menjadi bagian dari kerajaan. Hak-hak perlindunganmu sudah terjamin. Dia tidak akan macam-macam padamu.”
“Ayah, dia bahkan membunuh ayahnya yang sekarat demi segera mendapat gelar tersebut. Tidak ada yang lebih kejam dari mempercepat ajal orang tua sendiri, apalagi aku yang hanya orang asing.”
Tangan Rosalva mengepal di pangkuan. Sebagai seorang Marquess yang termasuk dalam bagian keamanan kerajaan, seharusnya ayahnya tahu seberapa berbahaya seorang Grand Duke terbuang itu. Bukan malah menyerahkan putrinya begitu saja tanpa melakukan perlawanan.
“Dan aku ... masih ingin berlatih.” Rosalva mencicit. Keinginan yang ditentang oleh orang tuanya tidak bisa diucapkan dengan lantang.
“Seorang Lady tidak pantas menyentuh senjata tajam. Lihat akibatnya tadi? Raja akan murka kalau sampai tahu perbuatanmu tadi.”
Kalau sang ayah sudah marah, biasanya Rosalva akan kabur dan menghilang dari pandangannya. Namun, hari ini dia ingin sedikit lebih nakal.
“Sebaiknya begitu, Ayah. Mungkin Raja akan berpikir untuk menarik kembali surat perintahnya.”
“Rosalva!”
Marquess Ragnheidr sampai memukul meja karena gejolak emosi yang berhasil dipancing Rosalva. Untuk itu Teresa segera menghampiri sang suami dan berusaha menenangkannya. Wajah pria tinggi besar itu merah padam, seakan-akan darah sedang mendidih di wajahnya. Dalam hati bertanya-tanya kenapa putrinya terus membuat masalah.
Rosalva mungkin akan diserang oleh semburan kemarahan Marquess seandainya pintu ruangan tidak diketuk. Kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok kepala pelayan.
“Mohon maaf mengganggu, Tuan dan Nyonya. Seseorang yang ditugaskan untuk memberi pengarahan kepada Lady Rosalva sudah tiba, saat ini sedang menunggu di ruang baca.”
“Ayah, Ibu, aku akan mengantar Rosalva ke sana.” Sylvan berinisiatif dan menggandeng adik kecil kesayangannya itu pergi dari sana.
“Ya, pergilah.”
•••
“Pada malam hari, gunakan gaun tidur yang cantik dan mudah dilepas. Pastikan menggunakan wewangian, akan lebih bagus kalau mencampurkannya ke bak saat mandi. Itu bagus untuk meningkatkan gairah suami. Salah satu alat ukur keberhasilan pernikahan adalah intensitas aktivitas ranjang pasangan.”
Rosalva menguap lagi. Dia memang tidak ingin mengikuti pelajaran dadakan ini sejak awal, ditambah lagi pembawaan Rowena yang monoton saat menyampaikan materinya, rasa kantuk menyerang Rosalva begitu cepat. Posisi duduknya saja sudah berubah menjadi berbaring di sofa, tidak peduli jika Rowena sudah menegur tiga kali sampai akhirnya pasrah. Lagi pula, meski posisi duduknya tidak mencerminkan statusnya sebagai seorang Lady, apa yang disampaikan Madam Rowena terekam dengan baik di kepala Rosalva. Rosalva adalah gadis yang cerdas.
Gadis itu ingin segera mengakhiri sesi pembelajaran ini, tetapi masih banyak halaman dari buku di tangan Rowena yang belum diajarkan padanya. Rasanya dia sudah tidak sanggup jika harus mendengarkan semuanya sampai habis hari ini juga.
“Selanjutnya kita akan mempelajari tentang—”
“Sebentar, Madam.” Rosalva bangkit dan duduk dengan benar. “Anda tidak lelah?”
Rowena tampaknya merasa kesal karena kegiatannya diinterupsi. Namun, hanya bisa menghela napas sebelum tatapannya tertuju pada minuman dingin di atas meja yang menjadi pembatas mereka. “Boleh saya minum?”
“Tentu, Madam. Silakan.”
Rosalva menunggu wanita itu menenggak minuman yang esnya sudah mencair. Setelahnya baru menyampaikan tujuan sebenarnya menyela Rowena.
“Madam, saya punya rekomendasi toko yang menjual bros cantik dengan harga murah.”
Rowena sudah beberapa kali memberi pelajaran pada Rosalva, itu sebabnya dia hafal gaya berbusana wanita itu. Gaun Rowena tidak pernah memperlihatkan dada, selalu memiliki kancing sampai lehernya. Lalu di tengah-tengah dada akan dipasangi bros. Seperti hari ini, wanita itu memakai bros besar berbentuk bunga mawar berwarna perak.
“Anda tidak bisa mengecoh saya, Lady.” Mata Rowena menyipit ketika balas menatap Rosalva.
Rosalva menyisipkan helai-helai rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah lain untuk menyembunyikan bahwa kegagalannya. “Sayang sekali, mereka sedang mengeluarkan desain terbaru yang jumlahnya terbatas. Minggu lalu Sylvan ditugaskan untuk mengantar kereta yang membawa ametis ke toko tersebut. Saya dengar itu untuk bahan bros edisi terbaru. Tadinya saya hendak memberi tahu alamatnya pada Anda, Madam. Tapi, karena Anda tidak tertarik, saya akan diam. Jadi, silakan lanjutkan pelajarannya.”
Rosalva memamerkan senyum yang manis, tetapi dengan sorot mata yang licik. Dia tahu bahwa tidak akan kalah. Lagi pula, dia tidak berbohong, toko itu memang ada dan Sylvan juga yang saat itu mengawal kereta yang membawa batu permatanya dari pelabuhan. Namun, dia sedikit mengarang soal harganya. Jangankan membeli perhiasan, memakainya saja jarang sekali.
“Apa yang Anda inginkan, Lady?”
Senyum Rosalva makin lebar. “Buku itu, boleh saya pinjam? Anda tidak boleh melewatkan edisi bros terbatas itu, jadi biarkan saya membaca sendiri sisanya.”
Rowena menutup buku di tangannya dan menyerahkannya pada Rosalva. Buku tersebut diterima Rosalva dengan penuh sukacita. “Terima kasih, Madam, saya akan mengembalikannya segera.”
“Anda bisa menyimpan buku itu, Lady. Saya sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, jadi saya membawa salinannya. Anda adalah gadis cantik yang nakal.” Rowena memandang Rosalva penuh kepasrahan. Bahkan, dia tidak akan datang hari ini seandainya tidak dibayar mahal oleh Marquess. “Jadi, di mana lokasi toko itu, Lady?”
Rosalva berjalan menuju laci meja di belakang sofa yang dia duduki. Ada selembar kertas bertuliskan alamat yang dia ambil dari ruang baca pribadi Sylvan beberapa waktu lalu. Berhubung Rosalva tidak punya teman dekat selain pelayan yang mengurusnya, dia kerap kali mengumpulkan informasi dari kakaknya untuk dipergunakan di waktu tertentu. Contohnya seperti saat ini.
Segera setelah mendapatkan alamat toko, Rowena menyimpan beberapa bukunya ke tas. Rosalva kemudian mengantarkannya keluar ruangan itu tanpa lupa berucap terima kasih. Dia lelah meski hanya mendengarkan dan ingin pergi ke kamarnya sendiri untuk beristirahat. Namun, saat menaiki tangga menuju lantai tiga di mana kamarnya berada, dia justru berpapasan dengan Sylvan yang baru datang dari luar.
“Kali ini alasan apa lagi yang kau gunakan untuk memulangkan Madam Rowena?”
Rosalva mengusap tengkuknya yang merinding karena suara Sylvan sarat akan ketegasan. “Aku meminjam bukunya,” balas Rosalva sembari mengangkat buku di tangannya.
Sylvan menyusul Rosalva dan sekarang mereka menaiki tangga bersebelahan.
“Kau tahu Madam Rowena sedikit lebih tegas dibandingkan yang lainnya.”
Tangan yang masih berada di tengkuk tadi Rosalva gunakan untuk mengibaskan rambutnya yang diurai. “Kau lupa adikmu ini bisa melakukan apa saja?”
Kelakuan Rosalva yang agak melenceng dari seorang Lady itu hanya membuat Sylvan menghela napas. “Kau beruntung Ayah tidak tahu, dia sedang pergi. Dia akan mengamuk kalau tahu soal ini.”
“Kalau begitu, kemarahannya akan jadi yang terakhir dan dia akan hidup dengan tenang setelah Grand Duke membawaku pergi.” Rosalva menunduk untuk membaca judul buku di tangannya yang berjudul 'Buku Pedoman Pasangan Bangsawan'. Baru judulnya saja sudah membuat Rosalva merinding geli. “Dan, mungkin kalian tidak akan mendengar kabarku lagi.”
“Jangan berpikir seakan-akan hidupmu akan berakhir di sana.”
“Di pertemuan pertama kami saja aku sudah membuat masalah. Bayangkan saja apa yang akan kulakukan di sana. Oh, Sylvan, kau tujuh tahun lebih tua dariku, tapi kenapa harus aku yang lebih dulu menikah?” Keluhan yang dilontarkan Rosalva itu diakhiri dengan membenturkan kepala ke lengan Sylvan. Pria itu lantas merangkul adik perempuannya untuk menenangkannya.
“Dia mungkin tidak akan seberbahaya itu.”
“Semua orang membicarakan keburukannya. Wilayah Selatan menjadi kacau sejak dia mewarisi gelar ayahnya.”
“Kau belum pernah pergi ke sana. Nethilor tidak seburuk itu sekarang.”
Rosalva mendengkus keras, berbicara dengan Sylvan sama sekali tidak membantu.
“Tidak baik seorang Lady bersikap seperti itu,” cibir Sylvan.
“Tetap saja Raja tega melemparku ke kandang monster.”
Kalau saja monsternya tidak berwujud manusia, Rosalva mungkin akan melawan dengan kemampuan bertarungnya yang luar biasa. Namun, apa dia juga boleh menyerang seorang Grand Duke ketika posisinya sudah tidak lagi aman?
Mungkin tadi siang yang dia layangkan bukanlah belati, tetapi pedangnya. Dengan begitu, kerajaan tidak lagi memiliki musuh dalam selimut.
“Aku punya rencana bagus untukmu, Rosa.”
Mereka berdua berhenti melangkah begitu tiba di lantai tiga. Ada sebuah sofa panjang di lorong dan Rosalva segera mendudukinya sekaligus menghampiri Regal—nama kucing cokelat milik ibunya. Namun, kucing itu justru melompat turun dari sofa sebelum Rosalva sempat menyentuhnya. Regal menempelkan badannya pada kaki Sylvan seakan-akan meminta untuk dipeluk. Sikap manja kucing betina itu lantas membuat Rosalva dibuat makin kesal.
“Rencana apa?”
“Kau ingin menjadi seorang ksatria yang mengabdi pada kerajaan ini, bukan?” Sylvan kemudian menyusul duduk di samping Rosalva bersama Regal di pangkuannya.
“Dan, musuhku adalah seseorang yang menghancurkan impianku.” Rosalva mengungkapkan kekesalannya setelah teringat ucapan Kieran tadi siang tentang seorang larangan wanita menjadi ksatria. “Tapi, apa rencananya?”
“Temukan kelemahan Grand Duke dan gagalkan rencananya untuk menjatuhkan Raja Baratheon III. Ketika kau berhasil melakukannya, kau bisa meminta apa saja, termasuk menjadi seorang ksatria.”
“Kau ... ingin kepalaku dipenggal di sana?”
Sylvan tertawa geli kala menyaksikan ketakutan di wajah Rosalva. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Rosalva, kau adalah adikku, apa pun akan kulakukan untuk melindungimu, jadi kau tidak perlu khawatir. Aku yakin Ayah dan Ibu juga akan melakukan hal yang sama.”
Rosalva tiba-tiba berdiri. Di balik keberaniannya melawan para prajurit muda selama latihan bertarung, dia tetaplah seorang wanita dengan perasaan yang halus. Kalimat sederhana yang diucapkan Sylvan berhasil membuat matanya berkaca-kaca. Namun, dia tidak ingin ditertawakan Sylvan karena hendak menangis.
“Terima kasih. Aku akan sering-sering mengirim surat, jadi pastikan kau membalas semuanya.” Setelah itu, Rosalva berlari ke kamarnya.
Rencana awalnya ingin beristirahat pun tidak bisa terwujud ketika menyaksikan kekacauan di kamarnya. Air mata yang seharusnya dibiarkan mengalir segera diseka karena di kamar itu Rosalva tidak sendirian. Isi lemarinya dikeluarkan hampir semuanya oleh tiga orang pelayan dan dipindahkan ke dalam tas-tas besar berbentuk kotak.
“Apa yang kalian lakukan?”
Tiga pelayan di sana menyadari keberadaan Rosalva dan menghentikan aktivitasnya sebentar untuk memberi salam.
“Lady, kami sedang mempersiapkan barang-barang untuk kepindahan Anda besok. Ini perintah Marchioness” Salah satu pelayan menjawab.
Rosalva meringis dalam hati. Apa malam ini benar-benar yang terakhir dia tidur di kasurnya yang nyaman?
“Tidak perlu. Tolong kembalikan semuanya seperti semula dan sisakan satu tas saja. Aku akan memilih sendiri barang-barang yang akan kubawa.”
Grand Duke Kieran Baratheon adalah pria terkaya di kerajaan setelah Raja Baratheon III. Meski perangainya buruk, tetapi dia pandai berbisnis. Banyak bangsawan memilih menjadi munafik demi dapat bekerja sama dengannya. Dengan uang sebanyak itu, mudah saja baginya untuk memenuhi kebutuhan istrinya, bukan?
Rosalva sudah bertekad akan membuat pria itu menyesal menikah dengannya.
•••
See you in the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
10 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top