TUJUH - "Brengsek"

Hmmmmm (intro Nissa Sabyan)

Jangan lupa vote sama komen yah


makasih



" Jika saja...jika saja pria yang saat ini berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan ini tidak datang."

***

"Gue harus jemput Aruna." ujar Kai setelah menatap ponselnya cukup lama barusan. Seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Fay menghela napas pelan. "Mau gimana lagi?"

"Jangan naik bis. Naik taxi aja biar lebih aman."

Terlihat sekali pria itu kebingungan sekarang. Fay hanya tersenyum hambar melihatnya. Mengerti kenapa Kai seperti itu. Di sisi lain dia harus mengantarnya pulang karena status Kai sekarang adalah pacarnya—walaupun bukan pacaran dalam artian benar-benar pacaran karena dasar saling suka. Di sisi lain dia juga harus menjemput Aruna—sepupunya—yang satu sekolahan pun tahu bahwa Kai dan Aruna tak bisa terpisahkan. Seperti... jika salah satu tidak ada maka akan terjadi kehampaan. Bukan-bukan, tetapi lebih kepada Aruna yang seperti itu kepada Kai. Selalu terlihat jelas sekali Aruna yang mendadak uring-uringan tidak jelas setiap kali Kai datang ke kelas bukan untuk bertemu dengan dia tapi malah bertemu dengan dirinya.

Tunggu, kenapa Fay jadi merasa seperti seorang wanita jalang yang merebut pacar orang lain.

"Kenapa?" tanya Kai yang menyadari bahwa Fay sempat terhanyut dalam lamunannya. "Lo takut naik taxi? Padahal lebih aman lho daripada naik bis."

"Taxi juga gak ngejamin aman, Kai."

"Ya terus?"

"Naik go-jek mungkin."

Sebenarnya Fay mencoba memberi kode bahwa ia ingin Kai yang mengantarnya pulang. Tapi, pria ini rupanya tidak peka.

"Yaudah gue pergi, Aruna bakalan marah kalau gue telat jemput dia." sebelum pergi Kai sempat mengacak-ngacak rambutnya.

Menatap kepergian Kai yang selalu saja karena alasan yang sama—Aruna—membuat Fay menghela napas lagi, lagi, dan lagi. Mau seperti apapun? Aruna selalu menjadi nomor satu untuk Kai.

Sudahlah. Siapa dia untuk Kai?

Cuaca mala mini terbilang cerah sehingga Fay lebih berjalan kaki. Lagipula jarak rumahnya tidak sejauh itu.

Fay mengerjapkan matanya kaget seorang pria menyudutkan perempuan ke tembok lalu berusaha untuk menciumnya. Sejenak Fay merasa salah tingkah melihat adegan live seperti itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Reaksi alami saat seseorang terjebak dalam situasi canggung semacam itu.

Apa Kai pernah berciuman sebelumnya?

Gadis yang baru beranjak menuju angka tujuh belas itu tersenyum bodoh. Kenapa pula dia malah mengingat Kai dan penasaran juga akan hal itu. Bukannya sudah jelas, seorang Kairo Ikhwan, cowo paling dikagumi satu sekolahan, salah satu cowo yang masuk jajaran 10 besar paling ganteng se-Bandung, pasti sudah pernah berciuman. Kenapa dia malah memikirkan hal itu.

Gila. Ini gila!

Sesat sebelum Fay hendak beranjak dari sana matanya sempat bertubrukan dengan perempuan itu. Namun ia melihat ada yang aneh dari tatapan perempuan itu.

Tak lama perempuan itu terjatuh sambil memegangi perutnya yang...

"Da...rah." Fay membekap mulutnya.

Perempuan yang sedang sekarat itu masih menatapnya. Meminta pertolongan. Gunting kuku menancap di perutnya. Pria yang sepertinya tidak sengaja menusuk perempuan itu mundur perlahan-lahan. Seperti baru menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan tindak kriminal.

Situasi apa sekarang ini. Butuh waktu beberapa detik untuk ia menyadari tengah berada dalam situasi apa dirinya sekarang. Apa itu adalah sebuah pembunuhan? Pembunuhan terjadi di hadapannya? Dan...ia adalah saksi matanya. Adegan romantis yang awalnya ia lihat sepertui yang sering dia lihat di Drama Korea ternyata berakhir mengenaskan. Fay menyadari situasi bahaya apa yang menjeratnya saat ini.

Bodohnya, tiba-tiba saja Fay merasakan kakinya sangat lemas bahkan hanya sekedar untuk melangkah pendek pun ia harus menyeretnya. Pria itu menatapnya. Baru saja menyadari kehadiran Fay.

Dia melangkah maju. Bergerak perlahan dari gang dengan cahaya temaram mendekatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas darah di tangannya.

"Kamu melihatnya?" tanya pria itu sambil memajukan langkahnya sedikit demi sedikit. Membuat Fay mau tidak mau harus menguatkan kakinya untuk melangkah mundur.

"Kamu melihatnya 'kan?" tanya pria itu lagi.

"Ka...ka...kamu membunuhnya?" hanya pertanyaan itu saja yang berhasil lolos dari mulutnya. Ia gemetaran. Seluruh tubuhnya mendadak basah bermandikan keringat

Sial.

Dalam situasi seperti ini seharusnya ia lari sekuat tenaga. Malah ia terjatuh karena tersandung kaki sendiri.

"Tidak boleh ada saksi mata." Pria itu berkata dengan intonasi suara berantakan. Perlahan membungkuk samping mengulurkan tangannya yang penuh darah dan mencekiknya.

Fay merontak sambil sesekali memukul-mukul tangan pria ini. Berkali-kali ia tersedak-sedak karena tenggorokannya menyempit. Entahlah, kaki dan tangannya yang sebelumnya meronta dengan sekuat tenaga mulai melemas seiring dengan lama pria ini mencekiknya.

Apakah ini akhir hidupnya?

Gadis yang dua bulan lagi merayakan ulang tahunnya itu memejamkan matanya. Seperti rol film yang di putar, ia melihat mama, papa, Kak Arbani, keluarganya, Kai,...

Bugh.

Entah siapa yang datang. Dan entah apa yang dilakukannya. Yang pasti Fay merasa pria menakutkan itu sudah tidak ada lagi dihadapannya. Fay terbatuk-batuk sesaat setelah pria itu dihajar oleh seseorang.

Secara perlahan Fay membuka matanya. Dan benar saja wajah mengerikan pria mabuk itu sudah tidak ada lagi di hadapannya tergantikan dengan tubuh seorang pria yang ia kenali. Pria yang berdiri satu meter darinya yang saat ini sedang bernapas terengah-engah. Pria yang beberapa waktu yang lalu bertemu dengannya disebuah café dan meninggalkannya karena alasan yang sama.

"Kai." lirih Fay suaranya satu oktaf lebih tinggi daripada udara yagn berhembus. Tak percaya saat melihat Kai berdiri di depannya.

Bagaikan superman Kai datang tepat waktu menyelamatkannya dan menghajar pria itu habis-habisan. Pertempuran terjadi. Beberapa kali Kai menghamtamkan pukulannya begitu juga sebaliknya.

Terlihat Kai menyeka darah segar yang menetes di sudut bibirnya lalu meludahkannya asal. "Sial!" umpatnya sebelum Kai menarik kerah baju pria itu dan mendaratkan tinjunya di sisi kiri dan kanan wajah pria mabuk itu.

Fay berdiri dengan panik di tempatnya. Tidak tahu harus melakukan apa sedangkan ia masih ketakutan saat ini.

"Telepon polisi." teriak Kai setelah berhasil bangun untuk kesekian kalinya.

Fay segera berlari mengambil ponselnya yang berada tak jauh darinya lalu menghubungi polisi seperti yang Kai perintahkan padanya. Jarinya sempat gemetaran saat menekan nomor call centre polisi. Namun akhirnya ia berhasil melakukannya juga.

Fay agak menepi setelah menghubungi polisi untuk datang kesini. Melihat Kai yang masih berusaha untuk menjatuhkan pria mabuk itu. Ia ingin membantu Kai melawan pria itu akan tetapi kakinya yang gemetaran sepertinya tidak akan mendukungnya.

Ia hanya diam di tempat dan memejamkan matanya. Berdo'a supaya Tuhan memberikan keselamatan pada Kai. Dan saat Fay membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh pria itu yang sudah tergeletak kehilangan tenaga dan tak bisa lagi melawan lagi. Sementara Kai, pria itu terengah-engah dengan luka lebam-lebam di sekitar wajahnya. Menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Fay percaya.

Pria itu mengkhawatirkannya? Kai mengkhawatirkannya?

Tak lama sirine polisi terdengar. Beberapa polisi bertubuh tinggi besar langsung keluar dari mobil langsung berlari menuju tempat kejadian. Fay tidak mengetahui secara pasti ada berapa polisi yang datang, ia hanya melihat dua polisi yang langsung menghampiri priaitu dan meringkusnya.

Sementara Kai yang baru saja berhasil mengalahkan pria itu tampak sedang dimintai keterangan oleh salah seorang polisi.

Selang beberapa waktu sebuah ambulance pun datang. Beberapa perawat pun langsung berlari, sekiranya ada empat orang dengan seorang yang berlari sambil membawa blangkar. Tubuh wanita berlumuran darah itu sempat diperiksa denyut nadinnya oleh salah seorang perawat sebelum terdengar teriakan lantang bak pengumuman. "Dia masih hidup. Denyut nadinya masih ada."

Tak butuh waktu lama setelah tubuh perempuan itu di masukan, ambulance itu melesat kembali.

Fay hanya terdiam di tempatnya berdiri. Ia masih belum tersadar sepenuhnya dengan apa yang baru saja hampir terjadi padanya. Tadi, bisa saja ia akan mati ditangan pria itu. Mungkin jika niat jahat pria mabuk itu terlaksana padanya ia pun sekarang pasti sedang dilarikan ke rumah sakit atau mungkin ia sudah kehilangan nyawanya.

Sungguh. Fay sangat ketakutan tadi. Tidak ada yang lebih menakutkan dibandingkan dengan apa yang baru saja ia alami.

Jika saja...jika saja pria yang saat ini berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan ini tidak datang.

Jika saja Kai tidak datang tepat waktu sebelum pria itu membuat ia kehabisan napas, mungkin sekarang ia tidak bisa melihat tatapan marah bercampur rasa khawatir pria di hadapannya ini.

Ya. Jika saja Kai tidak datang.

***

"Tadi 'kan gue udah bilang pulangnya naik taxi! Kenapa lo gak dengerin gue!" bentak Kai marah. Tidak tahukan bahwa Kai tadi hampir merasa bahwa nyawanya pun akan ikut diambil saat ia melihat pria itu mencekik Fay.

"Kenapa lo bego banget sih! Lo itu cewe. Seharusnya lo nyadar seberapa bahayanya lo sebagai cewek pulang sendirian malam-malam kayak gitu." Kai berkacak pinggang penuh kemarahan.

Gadis yang ada dihadapannya tidak menyahut. Hanya menatap wajahnya. Bibirnya bungkam, wajahnya pucat, sudah pasti bahwa Fay tadi sangat ketakutan sekali.

Tubuh Fay tiba-tiba saja ambruk. Terduduk di atas tanah dengan pandangan lurus dan tidak jelas titik fokusnya. Kai menyadari bahwa Fay masih syok dengan apa yang barusan hampir terjadi padanya.

"Lo denger gue gak sih!" geram Kai karena Fay yang tidak kunjung membalas apa yang ia katakan.

"Gue denger!" bentak Fay terlihat frustasi. "Gue denger apa yang lo bilang sama gue. Denger! Gue denger Kai!" kemudian Fay menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Gadis itu menangis sekarang.

"Kalau lo denger kenapa lo gak nyahut, ha!" melihat Fay menangis bukannya membuat Kai melembut ia malah semakin meninggikan suaranya.

"Kenapa juga lo gak ngater gue pulang!" balas Fay. Nada suaranya tak kalah tingginya dengan bentakan Kai. "Gue cewek. Gue takut pulang sendirian. Dan lo cowok, pacar gue. Kenapa lo malah nyuruh gue naik taxi. Lo sebagai pacar gue harusnya nawarin buat pulang bareng lo, bukannya malah nyuruh gue naik taxi. Lo nganter Aruna. Mentingin sepupu lo dibanding gue. Pacar lo gue atau Aruna sih."

Kai tertegun mendengarnya. Apa ini salahnya? Salah Kai yang menyuruh Fay pulang sendirian naik taxi bukannya mengantarnya. Kai menggigit bibir bawahnya. Menatap Fay lalu mendesah keras, ia kehabisan kata-kata.

"Lo keterlaluan selalu nyuruh gue pulang sendiri sementara lo jemput Aruna lo yang manja itu."

Kai berjongkok di depan Fay yang terduduk di tanah menangis sambil menangkupkan kedua tangannya. Menyentuh tangan Fay dan berusaha melepaskannya dari wajahnya. Berusaha untuk membuat Fay menatapnya. Namun gagal karena Fay menepisnya.

Kai mendesis keras. "Kenapa juga lo malah jalan kaki padahal lo bilang mau naik go-jek. Lo bego atau apa sih?"

Fay membuka kedua tangannya dari wajahnya. Menatap Kai dengan penuh kebencian. Wajahnya menegang seperti tidak terima dengan apa yang baru saja Kai katakan padanya.

"Lo harusnya bilang maaf bukannya marahin gue!" teriak Fay suaranya bergetar. "Brengsek!!" setelah itu Fay kembali melanjutkan tangisannya.

Melihat Fay yang kembali melanjutkan tangisannya benar-benar membungkam mulur Kai. Ia kehabisan kata-kata lagi. Tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk membantah tuduhan Fay tentang dirinya yang...brengsek. Dan anehnya, Kai malah merasa bahwa dirinya benar-benar brengsek sehingga ia merasa pantas jika Fay mengatainya seperti itu.

***

Kantor polisi mendadak sangat ramai setelah kejadian tersebut. Beberapa orang yang mungkin keluarga dari korban pun datang berbondong-bondong dan langsung menyerang si pria mabuk yang saat ini sedang dimintai keterangan oleh polisi. Membuat polisi harus bertugas ekstra untuk menenangkan amarah keluarga korban dan menjauhkannya dari si pria mabuk.

Bukan hanya itu beberapa wartawan pun tampak berjejer untuk meminta keterangan pada polisi atas kejadian yang baru saja terjadi. Mereka mencari makan dari hal ini. Menanyai polisi banyak hal dan dengan sabarnya polisi itu pun menjawabnya walaupun mungkin kepala polisi itu pun saat ini terasa akan pecah karena si pelaku masih belum membuka mulutnya. Ada juga beberapa wartawan juga mendekati dirinya dan Kai untuk meminta data tentang apa yang akan mereka laporkan ke atasannya nanti. Akan tetapi seperti sebelum-sebelumnya Kai menolaknya dan meminta wartawan itu pergi.

Tidak heran jika banyak sekali wartawan yang datang sekarang. Mengetahui bahwa pelaku adalah anak dari pemilik stasiun televisi nasional ternama. Pelaku adalah seorang anak konglomerat yang masuk jajaran sepuluh besar orang terkaya di negara ini.

"Mohon maaf tapi kita berdua masih syok saat ini. Jadi, wawancaranya ditunda dulu bisa?" ujar Kai ketus pada wartawan yang lagi-lagi mendekatinya dan langsung menyerangnya dengan beberapa pertanyaan.

Fay yang duduk disamping Kai hanya bisa menatap wajah Kai dari samping. Wajah Kai lebam-lebam di beberapa tempat membuat wajah pria itu terlihat agak bengkak. Mungkin wajah Kai akan semakin bengkak besoknya dengan bekas keunguan dimana-mana.

"Kenapa?"

Fay mengerjap saat Kai menangkap basahnya sedang menatapnya.

Menggeleng kemudian memalingkan wajahnya. "Muka lo makin kelihatan jelek." ucap Fay seolah tidak peduli.

"Gue tahu muka gue jadi kelihatan jelek banget, puas?" balas Kai tak kalah ketusnya.

"Makasih." ucap Fay kemudian. Ia menundukkan kepala, mengingat lagi saat tadi Kai datang dan langsung menghajar pria itu. Kai menyelamatkannya.

"Gue juga minta maaf." ucap Kai beberapa detik setelahnya.

Kemudian yang terjadi selanjutnya mereka berdua saling bungkam. Hanya keheningan saja yang terjadi diantara mereka berdua. Sebenarnya ada banyak yang ingin Fay katakan pada pria disampingnya ini selain ucapan terimakasih. Akan tetapi, perkataan panjang itu seperti tersangkut ditenggorokannya dan sulit untuk di keluarkan.

Sama halnya dengan Kai yang merasa bersalah sudah membiarkan Fay pulang sendirian dan membentaknya tadi disaat Fay masih syok dengan apa yang hampir saja terjadi padanya. Walaupun Kai tadi tahu bahwa Fay masih sangat syok akan tetapi ia masih saja memarahinya. Dan itu membuat Kai menyesal. Menyadari bahwa akar masalah sampai mereka berdua terseret ke dalam peristiwa ini adalah dirinya. Karena Kai yang tidak bertanggung jawab. Seperti kata Fay, ia selalu menomor satukan Aruna.

Kai tidak menyadari bahwa Fay sudah tidak ada disampingnya lagi. Gadis itu sudah berhambur ke pelukan seorang pria bertubuh tinggi dengan penampilan acak-acakan. Lebih daripada itu pria itu terlihat tampan. Yah, sangat tampan.

Dan kenapa pula Kai merasa tidak senang melihat Fay memeluk pria itu dan menangis dipelukannya.

"Wah...muka lo bonyok." seru Alvin yang baru saja datang bersama dengan Aruna dan Jevero di belakangnya. Dari suara Alvin sepertinya sahabatnya ini merasa senang melihat wajahnya yang penuh luka lebam seperti ini.

Memang yah teman macam Alvin tiada duanya. Tiada duanya saat menertawakan temannya yang terkena musibah.

"Lo kayaknya seneng lihat muka gue kayak gini." sindir Kai.

"Berhenti merasa senang lihat temen lo sendiri menderita, Alvin. Ini bukan bahan lelucon." Aruna memperingatkan Alvin. Namun Alvin tampak masa bodoh saja dengan peringatan Aruna.

Aruna menghempaskan tubuhnya disamping Kai. Memegangi wajah Kai dan menghadapkan wajah Kai padanya.

Kai mendesis perih. "Sakit!" matanya melotot pada Aruna yang seperti biasa selalu memperlakukan Kai seenaknya.

"Diem! Gue cuma mau lihat luka lo separah apa." gumam Aruna sambil meringis.

"Lo kayaknya harus kerumah sakit." timpal Vero yang sejak tadi diam sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Kai menatap Vero tidak suka. "Kayaknya lo gak punya hubungan apa-apa sama yang terlibati disini." ujar Kai menyindir tidak suka. Entah kenapa dari dulu Kai tidak suka dengan Vero. Padahal ia bersahabat baik dengan sepupunya Vero—Alvin.

Vero tampak mengabaikan tatapan tidak suka Kai padanya. Mengangkat bahunya lalu menatap Fay. "Temen sekelas gue hampir mati dan gue harus dateng. Seenggaknya lihat seberapa parah luka yang dia dapet supaya gue bisa ngukur seberapa keras ketawa gue buat dia."

"Bangsat!" desis Kai. Ia mengerti maksud Vero. Ia juga tahu bahwa sejak dulu Vero tidak pernah akrab dengan Fay. Fay dan Vero itu ibaratnya Tom and Jerry-nya SMA Bintang. Semua orang tahu perlakuan Vero pada Fay seperti apa dan juga sebaliknya.

"Oh ya." Alvin menginterupsi. "Gue boleh foto lo kan? Mau gue jadiin IG story, biar viral." ucapnya sambil mengangkat ponselnya.

"Bangsat lo juga!"

"Jangan buat masalah, Kai. Mama sama papa lo gak bakalan suka sama sikap lo yang kayak gini." Aruna mengingatkan betapa kerasnya sikap kedua orangtua Kai padanya.

"Jangan khawatir mereka lagi di luar negeri. Mereka gak bakalan tahu apa yang terjadi sama gue." jawab Kai sambil mengangkat kedua alisnya.

"Gue tahu. Setidaknya lo harus menghindar dari apapun yang bakalan nyeret nama lo."

Kai tersenyum lalu mengacak-ngacak rambut Aruna lembut. "Lo khawatir sama gue atau lo takut nama besar keluarga kita tercoreng gara-gara prilaku gue? Tenang aja, gue bisa ngatasin masalah gue sendiri."

"Gue gak yakin lo bisa ngatasin masalah lo sendiri." Aruna tersenyum miring. "Meningatkan untuk yang terakhir kalinya...jangan terlibat masalah apapun lagi, apalagi karena Fay."

"Iya." jawab Kai sekenanya.

"Ini nih yang buat gue gak suka waktu lo jadian sama Fay." gumam Aruna kemudian meninggalkan Kai menemui polisi yang baru saja memanggilnya.

***


Menurut kalian Kai itu suka gak sih sama Fay?

Fay yang lambat laun ngerasa gak suka karena Kai selalu nomor satuin Aruna, apakah dia mulai merasakan sesuatu?

Mmmmm semisalkan aura-aura negatif disekitarnya wkwk

Kenapa yah kok Aruna segak sukanya dia Kai jadian sama Fay?



Flower flo

110918

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top