SEMBILAN - Sabar Hati
Soundtrack
Samuel - Winter Night (Lagi suka banget sama lagu ini wkwk)
Btw jangan lupa vote sama koment ya, makasih
Sabar hati. Yang harus dilakukan hanya menunggu. Jika memang semesta mengijinkan akan bersama. Jika tidak, semesta sendiri yang akan membuat hati perpindah kepada yang lain.
***
Kai segera berlari sesaat setelah ia mendapatkan pesan dari Fay yang menyuruhnya untuk segera datang ke lapang basket. Dari kejauhan Kai bisa melihat Fay yang sedang duduk sendirian menunggunya di tribun paling atas. Rambutnya yang sebahu dikucir kuda membuatnya terlihat manis. Ia juga bisa melihat hidung mancung dan pipi gadis itu. Tanpa sadar Kai tersenyum saat ia melihat Fay menopang dagu dan sesekali menghembuskan napasnya.
"Kai!" Fay melambaikan tangannya begitu dia melihat Kai berdiri tak jauh darinya.
"Ada apa nyuruh gue kesini?" tanya Kai to the point. Berdiri disamping Fay dengan tangan melipat di depan dada.
Fay mencebikkan bibirnya lalu menepuk-nepuk tempat disebelahnya. "Emangnya harus punya alasan yah buat nyuruh pacarnya dateng."
Kai masih berdiri. Memandangi Fay menunggu gadis itu mengatakan padanya alasannya menyuruhnya datang.
Fay lagi-lagi menepuk-nepuk tempat disebelahnya. "Gue bakalan bilang kalau lo duduk dulu. Gak baik tahu ngomong sama orang sambil berdiri kayak gitu."
"So what?" tanya Kai setelah menjatuhkan dirinya di samping Fay. Ia tidak mau membuang-buang waktu.
Untuk kali ini rasanya Kai agak sedikit keterlaluan. Setelah beberapa hari ia dan Fay tidak saling berhubungan dan saat Fay menyuruhnya datang ia malah bersikap cukup tidak mengenakan seperti ini.
"Gue cuma mau bilang terimakasih." ucap Fay sambil menunduk. Seperti sedang serius menatap sepasang sepatunya sendiri.
Alis Kai terangkat sebelah setelah ia mendengar apa yang Fay ucapkan. "Terimakasih?"
"Gue kepikiran terus. Gue gak tahu kalau lo gak dateng waktu itu." Fay masih belum berani mengangkat wajahnya.
Kai berdehem lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa gak bilang dari kemaren-kemaren?"
Kai sungguh penasaran kenapa beberapa hari kemarin Fay sama sekali tidak menghubunginya atau bahkan menemuinya. Bukan ia yang salah disini karena sehari setelah kejadian itu pun Kai berusaha untuk menghubungi Fay. Tetapi tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
"Karena gue masih marah!" suara Fay tiba-tiba meninggi.
"Marah?"
"Kalau waktu itu lo gak milih buat jemput Aruna dan nganterin gue, mungkin hal itu gak bakalan terjadi." mata Fay menyala marah. Membuat Kai yang melihatnya sedikit tidak paham dengan isi kepala gadis itu.
"Jadi karena itu?"
Fay meringsut menjauh. Sedikit memberi jarak duduknya dengan Kai. "Ya! Seberapa penting sih dia buat lo? Maksud gue Aruna."
"Penting lah. Dia kan sepupu gue." jawab Kai enteng.
Tanpa ia sangka ternyata jawabannya barusan malah membuatnya merasakan serangan bertubi-tubi dari gadis itu. Fay menghujaninya dengan pukulan-pukulan yang bersarang pada beberapa bagian tubuh Kai. Sementara itu Kai berusaha untuk menangkis atau menangkap pukulan Fay padanya. Akan tetapi tidak berhasil sama sekali. Tenaga gadis ini juga tidak main-main. Rasanya sangat sakit seperti puluhan laki-laki sedang memukulinya saat ini.
"Denger...denger...Fay denger...gue gak jadi jemput Aruna waktu itu." setelah dengan susah payah Kai mengatakan kebenarannya waktu itu. Kenyataan bahwa pada waktu itu ia berpikir dua kali setelah menyuruh Fay pulang sendiri. Sampai akhirnya ia memilih untuk mencari Fay dengan niat mengantar pulang.
Dan berhasil. Pukulan Fay yang tidak main-main rasanya itu pun berhenti. "Beneran?" tanya Fay seolah tidak percaya.
"Kenapa juga orang yang teraniaya seperti gue harus bohong." Kai merutuki Fay yang baru saja memukulinya habis-habisan.
"Ya bisa aja kali."
Kai berdehem. Menggeser tempat duduknya lebih mendekat pada Fay. "Ngomong-ngomong tentang ucapan terimakasih..." Kai sengaja menggantungkan kalimatnya.
Fay menoleh menantikan apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.
"Kenapa lo gak bilang dari kemaren-kemaren?"
"Gue gak punya cukup keberanian buat ketemu sama lo." jawab Fay jujur.
"Kenapa?"
Fay berdecak lidah. "Ya...Karena gue masih marah...." ucapan fay tiba-tiba berhenti. Kai menantikan apa yang akan Fay katakan selanjutnya. Sampai akhirnya bibir itu pun terbuka. "Dan gue malu."
"Malu? Kenapa harus malu. Bukannya dengan lo terima gue jadi pacar lo walaupun lo tahu gue cuma jadiin lo bahan taruhan gue sama Alvin itu udah buang rasa malu lo sama gue?"
Kai benar-benar penasaran dengan apa yang akan Fay katakan padanya sekarang. Cukup lama ia menunggu. Gadis itu masih belum juga membuka mulutnya. Fay malah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Tanpa sadar sudut bibir Kai terangkat membentuk sebuah senyuman. Menggemaskan sekali.
"Lo peluk gue waktu itu. Gue belum pernah dipeluk cowo selain kakak gue." Sangat pelan sekali Fay mengatakannya namun masih mampu Kai dengar dengan baik.
Tanpa sadar mulut Kai menganga lebar. Tak menyangka Fay akan mengatakan hal itu padanya. Menyadari mulutnya yang terbuka ia pun segera menutupnya. Segera mengganti ekspresi keterkejutannya dengan wajah cool seperti biasa.
"Lo pasti bohong." Kai menatap Fay dengan penuh teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Maksud gue, cewek kayak lo..."
"Kenapa sih gue bohong!" Fay menatapnya dengan sebal. "Apa lo pikir waktu gue bilang kalau lo pacar pertama gue, gue juga bohong?"
"Kirain aja lo bohong."
"Gue gak pernah bohong buat hal-hal yang luar biasa."
"Luar biasa." Kai tiba-tiba tertarik untuk mendengarnya. "Maksud lo pacaran itu hal yang luar biasa."
"Hm."
"Jadi lo gak bohong kalau gue pacar pertama lo?"
"Iyalah."
"Tapi kenapa?" Kai masih belum mengerti.
"Kenapa apanya?" Fay menatapnya jengah.
"Kenapa lo terima gue sebagai pacar pertama lo padahal lo sendiri tahu lo cuma gue jadiin bahan taruhan sama Alvin?"
"Supaya gue gak disangka gak normal lagi." jawab Fay enteng.
Alis Kai terangkat sebelah. Sangat tidak paham dengan apa yang baru saja Fay katakan padanya.
"Lo kira kenapa gue gak punya banyak temen?" Fay menatapnya. Kai pun mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
"Gini ya Kai. Normalnya ABG suka sama lawan jenisnya di usia SMP. Dan kerennya kalau sampai pacaran. Tapi, gue? Gak tahu juga kenapa gue sama sekali gak punya ketertarikan sama cowok. Gue anggapnya mereka itu sama. Sama kayak temen-temen cewek gue."
"Tapi lo gak lesbian 'kan?" potong Kai. Mulai khawatir dengan dugaannya sendiri.
Fay tertawa sambil memukul pelan bahu Kai. "Ya enggaklah." Tukas Fay.
"Gue masih normal kok." Fay meletakkan sikutnya pada bahu Kai. Mencoba bersikap lebih bersahabat dengan pria yang saat ini adalah kekasihnya.
Kai menghembuskan napasnya sambil bibirnya membentuk sebuah garis lurus. Namun tidak bisa disebut dengan sebuah senyuman. "Oke, lanjutin."
"Ya... emang sih alasan temen-temen gue jauhin gue itu karena nyangka gue lesbian. Gue cuma ngerasa belum waktunya aja gitu buat mikirin hal yang kayak gituan. Buang-buang waktu."
"Terus sekarang kenapa lo sama gue..." Kai sengaja menggantung kalimatnya.
Ia heran sendiri kenapa Fay yang belum pernah pacaran bahkan masih belum mempunyai ketertarikan pada lawan jenis bisa menerimanya sebagai kekasihnya. Dan mengingat juga alasan Kai menembak Fay karena apa dan gadis itu tahu. Ah sudahlah, Fay terlalu sulit untuk ia mengerti.
Seperti benda dalam air, kita hanya bisa melihat wujud luarnya tapi tidak tahu tekstur dan keunikan apa lagi yang ada pada benda itu. Kai rasa Fay pun seperti itu. Semakin sering Kai berbicara berdua dengan Fay seperti ini membuatnya semakin merasa penasaran dengan keunikan dan keanehan apa lagi yang ada dalam diri Fay.
"Gue cuma males aja disangka lesbian terus." jawab Fay seolah tanpa beban sedikitpun.
"Tapi katanya lo suka sama banyak cowo keren sekolah ini."
Fay tertawa.
Membuat Kai mengernyitkan alisnya. Alasan apa yang membuat Fay tiba-tiba tertawa.
"Padahal cuma muji tiap gue lihat cowo ganteng gue cuma bilang, dia keren, dia ganteng, atau dia menarik. Gue juga gak tahu kenapa yang lainnya nyangkanya gue suka sama mereka. Aneh emang."
Sekarang Kai tahu alasan Fay tertawa tadi. Sekonyol itukah orang-orang hanya karena mendengar pujian langka dari seorang Fayina Vicky.
"Lo pernah muji gue juga?"
Fay mengangguk. "Gue bilang lo keren pas lo lagi maen futsal. Dan yang lainnya langsung nyimpulin kalau gue cinta mati banget sama lo."
"Emang beneran gue keren."
Fay mengangguk yakin. "Dari sudut manapun lo keren."
Entah kenapa mendengar pujian seperti itu di depan matanya sendiri membuat Kai tiba-tiba salah tingkah. Padahal sebelumnya dia sangat sering sekali mendengarnya dari cewe lain. Apa karena Fay? Seseorang yang katanya langka memuji penampilan cowo.
"Itu yang buat gue bangga lo pacar pertama gue. Maunya sih lo jangan putus dari gue." Fay tiba-tiba mencebikan bibirnya. "Tapi gak bisa yah? Orang kita pacaran boongan."
***
"Lagi sibuk gak?" Kara meletakkan kepalanya pada tumpukan tangannya. Menatap Hana yang seperti biasa sibuk dengan dunianya sendiri. Headset di kedua telinganya dengan komik animenya.
Hana mengintip dari sela-sela kacamatanya. "Sibuk."
"Ck, lo gak peka banget sih kalau sahabat lo ini lagi seneng." dengus Kara. Mengambil komik dari Hana dan meletakkannya diatas meja.
Perpustakaan saat ini terbilang sepi pengunjung. Memang setiap hari memang seperti ini. Dan hal ini yang membuat Kara senang karena di tempat seperti ini ia akan membagi cerita terbarunya pada Hana.
"Lo mau cerita?" tanya Hana.
Kara mengangguk.
"Yaudah cerita." kata Hana sambil membuka komiknya lagi.
"Yah mana lo fokus sama cerita gue kalau lo dengerinnya sambil baca kayak gitu." protes Kara.
"Fokus kok fokus." ujar Hana meyakinkan.
Kara berdecak lidah sebelum akhirnya ia pun menceritakan tentang ajakan nontonnya pada Aruna yang kemudian diterima oleh Aruna. Ia juga tidak lupa mengatakan bahwa sebenarnya Aruna sudah mengetahui bahwa selama ini ia menyukainya. Tanpa disangka olehnya, Aruna memberikan kesempatan.
"Gimana? Gue hebat 'kan?" tanya Kara dengan penuh kebanggaan seusai ia menceritakan apa yang membuat dirinya ingin sekali bercerita itu.
Hana sempat terdiam. Mungkin karena dia sedang sangat fokus dengan apa yang dibacanya. Membuat Kara harus mengulangi apa yang dikatakannya dengan suara sedikit ketus. "Gimana menurut lo?"
Tak lama Hana pun tertawa sambil memberi dua jempol untuk Kara. "Seperti biasa lo hebat. Lo hebat dalam segala hal."
"Gue gitu." Kara menepuk-nepuk dadanya. Berbangga hati dengan pencapaiannya.
Tanpa ia sadari Hana yang berada disampingnya menggigit bibir bawahnya sambil sesekali menghela napasnya. Kamu tahu apa yang dirasakan saat seseorang yang kita sukai menceritakan tentang seseorang yang dia sukai. Yah, kamu tahu jawabannya.
***
Aruna segera berlari dari kelasnya menuju kelas Kai sesaat setelah guru yang terakhir mengajar angkat kaki dari kelasnya. Namun, saat ia sampai ternyata kelas Kai masih melakukan kegiatan pembelajaran. Baru setelah sepuluh menit ia menunggu kelas Kai pun bubar.
Bersamaan dengan beberapa perempuan Kai berjalan pelan sambil memasukkan headset ketelinganya. Ditangannya smartphonenya bertengger. Segera Aruna berlari menghampiri Kai dan bergelantung di lengannya.
"Anterin gue ke toko kue." ujar Aruna membuat Kai berhenti.
Kai mengerutkan keningnya. Seperti meminta Aruna untuk mengulangi apa yang dikatakannya.
"Anter gue ke toko kue Kai." ulangnya dengan suara yang ia buat lebih keras dari sebelumnya.
"Kapan?" tanya Kai terlihat seperti orang dungu.
"Tahun kemaren waktu toko kuenya belum buka." cerocos Aruna tak karuan. "Ya sekarang lah."
"Sekarang?"
Aruna berdecak lidah sebal. Menatap Kai dengan jengah. "Tadi pas istirahat lo makan apaan sih."
"Gue gak makan tuh." jawab Kai membuat Aruna semakin yakin bahwa Kai mungkin salah makan sesuatu sehingga membuat otaknya sedikit bergeser dari tempatnya yang seharusnya.
"Lo agak nyebelin yah." dengusnya sambil merangkul lengan Kai. "Udah ah ayo mama nyuruh gue beli kue."
Kai melepaskan lengan Aruna. "Maaf, gue gak bisa."
Aruna tertegun mendengar penolakan dari Kai. Sebelumnya Kai tidak pernah menolak apapun yang ia suruh dan ia inginkan. Sepupunya ini selalu menuruti keinginannya.
"Lo kan bawa mobil sendiri. Kenapa harus sama gue. Mobil gue mau gimana?"
"Gampang. Nanti gue suruh supir papa buat bawa mobil lo." Aruna kembali merangkul lengan Kai.
Namun lagi-lagi Kai melepaskannya. "Maaf. Tapi gue bener-bener gak bisa."
Aruna mundur selangkah. Menarik napas panjang sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Karena Fay kan?"
Kai mengangguk. "Gue mau nganter dia ke toko buku. Sekalian juga gue mau beli komik seri terbaru buat lengkapin koleksi gue."
"Jadi lo lebih milih Fay daripada gue?" kali ini Aruna berkacak pinggang. Tidak suka Kai menolak mengantarnya hanya karena Fay menyuruhnya menemaninya ke toko buku.
"Hm." Kai mengangguk.
"Jadi Fay lebih penting dari gue?"
Kai mengangguk lagi. "Dia pacar gue."
"Sejak kapan sih Fay lebih penting dari gue. Dia cuma pacar lo dan gue sepupu lo."
"Sejak sekarang. Iya. Karena dia pacar gue makanya gue bakalan jadiin dia prioritas gue." Jawab Kai. Tanpa dia sadari apa yang diucapkannya itu membuat Aruna semakin murka.
Tanpa permisi Aruna menarik rambut Kai keras-keras tidak peduli dengan beberapa siswa yang melihat apa yang dilakukannya itu. Ia juga tidak peduli dengan Kai yang terus-terusan berteriak minta dilepaskan.
Sampai akhirnya Fay pun datang dan melepaskan cengkeraman Aruna pada rambut Kai.
"Lo apa-apaan sih. Kekanak-kanakan." geram Fay.
Aruna tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kekanak-kanakan?"
"Kai sepupu gue." Aruna menunjuk Kai yang masih meringis sambil menggosok-gosok kepalanya.
"Ya terus?" tanya Fay terdengar seperti tantangan.
"Lo kenapa sih?" geram Kai. "Gue malu tahu."
Setelah itu Kai pun menarik tangan Fay menjauh dari Aruna. Tak peduli dengan Aruna yang memanggil-manggil namanya sambil mengumpat sana-sini dibelakangnya.
"Lo gak apa-apa 'kan?" itu suara Fay yang terakhir Aruna dengar sebelum akhirnya dua orang itu benar-benar menjauh darinya.
"Apa susahnya sih gak ngerecokin mereka terus." komentar Vero yang entah sejak kapan berdiri disamping Aruna.
"Ngerecokin apaan sih? Gak jelas." bantah Aruna. Tanpa sadar suaranya sangat keras. Imbas kekesalannya pun Vero rasakan.
"Ya barusan itu apaan namanya. Kalau bukan ngerecokin apa namanya Aruna. Jadi sepupu kok posesif banget sih." balas Vero tak kalah keras. Tak suka dirinya datang-datang langsung diteriaki seperti itu.
"Urus aja perasaan lo yang gak pernah tersampaikan itu Vero. Jangan urus urusan orang lain."
Karena tak mau berurusan dengan Vero lagi ia pun meninggalkan pria itu dengan langkah menghentak-hentak. Tak peduli dengan Vero yang mendadak menjadi diam ditempat mirip patung.
Perasaan tak tersampaikan.
Vero menghela napas. Tiba-tiba merasa kasihan pada dirinya sendiri.
Sabar hati. Yang harus dilakukan hanya menunggu. Jika memang semesta mengijinkan akan bersama. Jika tidak, semesta sendiri yang akan membuat hati perpindah kepada yang lain.
***
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri bawah yah
See U in next part :)
Flower Flo
260918
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top