Satu - FIRST BOYFRIEND
Di cerita baru ini gue harap para pembaca lebih antusias hahaha
Happy reading ajahh
muachh :****
***
Kairo Ikhwan baru saja memarkirkan mobilnya di basement salah satu pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Matahari baru saja bersembunyi saat tadi Kai keluar dari rumahnya dan membawa lari mobil sport mewah buatan luar negeri milik sepupunya Aruna. Mobil baru berwarna merah mengkilat. Mobil yang pastinya berharga ratusan juta yang merupakan hadiah ulang tahun ke tujuh belas Aruna dari kedua orangtuanya.
Kai merasa betah berada di dalamnya. Kursi empuk bahkan mungkin lebih empuk dari kasurnya yang ada di rumahnya. Wahh... sepupunya itu sangat kaya sekali sampai-sampai orangtuanya memberikan hadiah sweerseventen mobil mewah seperti ini. Aruna pasti sangat senang mendapat hadiah seperti ini. Tapi, biarlah kebahagiaan itu hilang dari sepupunya hari ini saja. Ya. Aruna sekarang pasti sedang kebingungan karena mobilnya tiba-tiba menghilang dari garasi rumahnya.
Seseorang mengetuk kaca mobil yang Kai tumpangi. Kai menurunkan kaca mobil itu.
"Wah... mobil baru. Kapan beli?" ucap takjub Alvin Ardano sahabat baik Kai sejak kelas sepuluh.
Alvin pria berperawakan tinggi dengan muka yang bisa dibilang cukup sangar untuk dibilang sebagai siswa SMA Bintang. Cukup sangar untuk dijajarkan dengan deretan preman-preman di ibu kota. Namun, kesangaran wajahnya itu hanya luarnya saja. Karena pada kenyataannya jangankan berkelahi, menyentil semut yang ada di atas hidungnya pun Alvin tidak berani. Bahkan katanya saat dia masih kecil dia pernah menangis gara-gara saudaranya Jevero memukul nyamuk yang ada di tangannya. Alvin menangis bukan karena sakit tetapi karena kasihan melihat nyamuk tak berdosa itu mati ditangan saudaranya.
Kai menepuk-nepuk setir sambil berkata dengan bangganya. "Gimana? Keren 'kan gue naik mobil ini?"
"Gak diragukan lagi." Alvin melipat kedua tangannya. "Ini pasti mobil Aruna." Alvin menatap Kai curiga.
"Yap!" ujar Kai dengan tampang polosnya. "Ini emang mobil Aruna. Gue tadi diem-deim bawa lari mobilnya dari garasi rumahnya." Kai terang-terangan. Membuat Alvin yang mendengar pengakuannya tertawa keras sekali.
"Wahh... gila gila gila. Gimana kalau Aruna nangis lagi. Lo kayak gak tahu dia aja kalau udah nangis." Alvin mengingatkan.
Kai meringis sendiri mengingat bagaimana sepupunya saat menangis.
"Dia bakalan teriak-teriak di rumah lo." ucap Alvin. Membuat ringisan di wajah Kai semakin kentara. "Dia bakalan ngirim lo banyak pesan, dia bakalan nelponin lo ratusan kali..."
"Ya. Dan dia bakalan maki-maki gue dengan umpatan-umpatan gilanya itu." lanjut Kai. Detik berikutnya ia tersenyum. "Tapi tenang aja. Hari ini gue gak bawa hp. Jadi kalaupun dia nelponin gue terus gak bakalan ngaruh sama sekali."
Alvin lagi-lagi tertawa mendengar apa yang Kai katakan. Diam-diam memuji kecerdikan Kai untuk menghindari amukan sepupunya Aruna.
"Oh ya, gimana Fay?" tanya Alvin berhati-hati. "Lo gak ditolak 'kan?"
"Lo gak lagi ngeledek gue 'kan?" kata Kai sambil menutup pintu mobilnya. Dengan sekali tekan mobil merah milik sepupunya itu sudah terkunci dan terpasang keamanan. Menatap Alvin dengan kedua tangan melipat di depan dadanya.
"Udah lupain. Fay emang sulit di dapetin." ucap Alvin sambil berlalu. Meninggalkan Kai yang masih berdiri di tempatnya.
"Tapi, by the way lo gak lupa bawa uang lebih buat nraktir 'kan?" teriak Kai pada Alvin yang sudah berada agak jauh darinya.
"What?" Alvin berbalik badan.
Kai tersenyum miring sambil berkacak pinggang angkuh. "Fayina sekarang pacar gue. Lo gak lupa buat traktir gue 'kan?" sindir Kai. Mengingatkan teruhan antara dirinya dan Alvin beberapa minggu yang lalu tentang seberapa berani Kai untuk menjadikan Fay menjadi pacarnya. Sebagai imbalan jika Kai bisa melakukan hal itu maka Alvin akan menraktir Kai di café langganan mereka berdua selama dua bulan.
***
Suara pantulan bola basket ditambah dengan deritan karet sepatu bergesekan di lapangan indoor ini bergema ke setiap penjuru. Beberapa pria berseragam basket berwarna orange tampak sedang berusaha menghalangi pria berseragam hitam yang saat ini sedang menguasai bola. Mendriblenya sangat rendah sehingga memperkecil si seragam orange untuk merebut bola basket dari tangannya. Kemudian saat si seragam orange lengah si seragam hitam segera mengoper bolanya kepada salah satu rekannya yang berlari di ujung lapangan sebelah kanan dengan cara menchestpass. Operannya akurat sehingga rekannya bisa menerima bola dengan baik.
Kemudian saat si seragam orange yang barusan menghalanginya lengah ia segera berlari menjauh mendekati ring.
"Vero." teriaknya pada rekannya yang berada beberapa meter darinya.
Rekannya yang bernama Jevero itu mengoper bolanya. Ia berlari dan kemudian sedikit melayang sampai akhirnya ia berhasil memasukan bola ke dalam ring. Point bertambah untuk timnya. Tak lama peluit berbunyi menandakan bahwa pertandingan sudah berakhir. Ia langsung ber-yess meninju udara sebagai celebration atas apa yang baru saja dilakukannya. Senang karena pertandingan kali ini kembali di menangkan oleh timnya.
Tak lama rekan satu timnya Vero berlari menghampirinya lalu memeluk lehernya sangat kuat. "Kara, lo emang selalu hebat." puji Vero lalu mencium pucuk kepala Kara. Kemudian anggota tim yang lainnya pun ikut menyerbu Kara dan memeluknya. Bahkan ada yang sampai menaiki punggung Kara saking senangnya.
Sementara itu Hana yang sejak tadi duduk dibangku tunggu tersenyum tipis melihatnya. Kara melambaikan tangan padanya. Hana membalasnya.
"Kerja bagus kapten." puji salah satu anggota tim pada Kara sambil mengacak-ngacak rambutnya gemas.
"Kita gak akan menang kalau kita gak bekerja sama." balas Kara.
Vero yang melihatnya mengangguk-anggukan kepalanya setuju. "Tim kita bagus." ujarnya.
Kara berjalan meninggalkan timnya yang masih bergerumul di tengah lapangan merayakan kemenangan tim mereka di pertandingan hari ini. Senyumnya mengembang melihat sahabatnya duduk di bangku tunggu. Hana juga sedang tersenyum padanya.
"Gue pikir lo gak dateng." ujar Kara sambil menerima handuk dan air mineral yang Hana sodorkan padanya. Kara mengelap keringatnya dengan handuk yang Hana berikan padanya.
Kara tidak bisa membuka tutup botol. Maka dari itu Kara memberikannya pada Hana kembali.
Hana yang mengerti langsung membukakan tutup botol untuk Kara. "Tadinya emang gak mau dateng. Lo bilang pertandingan penting makanya gue dateng." ucap Hana sambil menyerahkan minuman yang sudah ia buka tutupnya pada Kara.
"Lo gak pulang dulu?" Kara melihat seragam putih abu-abu Hana masih melekat ditubuhnya dibalik cardigan pink pastel yang Hana kenakan.
"Gue barusan dari perpustakaan. Bakal makan waktu kalau gue pulang dulu." jelas Hana.
"Gimana permainan gue tadi?" tanya Kara. Menjatuhkan tubuhnya di samping Hana.
Hana menengok ke samping. "Seperti biasa lo kelihatan payah banget."
"Wah..." Kara mendengus. "Padahal semua orang muji-muji kehebatan gue di lapangan."
"Setiap orang punya persepsi dan pandangannya masing-masing." timpal Hana datar.
"Hai, Hana" sapa Jevero saat ia datang dan langsung duduk di bangku tunggu yang sama dengan Kara dan Hana.
Hana hanya tersenyum tipis menanggapi sapaan Vero padanya.
"Gue kayaknya udah gak heran kalau Hana cuma senyum ke gue." kata Vero menatap Kara kemudian meneguk minumannya. "Dia emang selalu kayak gitu 'kan? Kara?" lanjut Vero masa bodo.
"Nah." tiba-tiba saja Kara menunjuk-nunjuk wajah Hana. Membuat Hana yang melihatnya hanya saling menautkan kedua alisnya. "Ini masalahnya. Kenapa lo jarang sekali satu pikiran sama orang lain. Lo terlalu mengabaikan orang-orang yang ada disekitar lo. Sibuk dengan dunia lo sendiri sampai-sampai lo gak terlalu peduli sama hal lain selain diri lo sendiri."
"Gue bakalan bilang bagus kalau emang bagus." Hana menghena napasnya. "Tadi itu lo mainnya emang agak beda. Lo kelihatan capek banget tadi. Lo kenapa?"
Kara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Jujur saja saat permainan berlangsung tadi Kara memang merasa sedikit kewalahan, kelelahan juga. Jelas sekali tidak seperti dirinya yang biasanya yang selalu tahan main selama dua babak. Tapi, tadi baru lima belas menit pertandingan saja napasnya sudah terasa sangat berat sekali. Bahkan Kara merasa seperti ia akan kehabisan napas tadi.
Kara menyadarinya. Sadar bahwa akhir-akhir ini ia jarang sekali berlatih basket dikarenakan banyak sekali halangan yang membuatnya selalu absen berlatih basket. Jadi wajar saja kalau daya tahannya sedikit berkurang.
Hana benar. Gadis ini memang tidak pernah salah.
Kara pikir walaupun Hana yang jarang bicara dan terkesan tidak pernah tertarik kepada hal-hal lain selain dirinya. Bahkan mungkin terkesan seperti sibuk saja dengan dunianya sendiri itu sebenarnya adalah seseorang yang bisa melihat keadaan dan situasi apapun secara menyeluruh, secara detail tanpa terlewat satu hal pun. Dan itu yang membuat Hana menjadi siswa pintar di kelasnya. Kemampuannya dalam menilai dan melihat sekitarnya itu yang membuatnya bisa membaca keadaan saat sedang terjadi diskusi kelompok atau sedang persentasi di depan kelas. Hana yang pendiam itu bisa dengan mudahnya menemukan celah untuk mengskakmat kan lawan debatnya. Bukan rahasia lagi jika ketenaran Hana tentang kecerdasannya saat berdebat pun bisa mengalahkan Pak Rudy yang dikalangan guru-guru di Angkasa sebagai the king of debate.
"Lo akhir-akhir ini jarang latihan 'kan?" tanya Hana. "Makanya daya tahan lo tadi agak sedikit berkurang."
"Ya." Kara nyengir menunjukkan jajaran gigi putihnya. "Akhir-akhir ini gue emang agak sibuk."
"Sibuk pemotretan 'kan?" kata Hana sambil merogoh ponselnya yang berada di saku bajunya.
Kara tertegun. Dari mana Hana tahu? Kalau akhir-akhir ini Kara sibuk pemotretan. Memang belum lama. Mungkin baru dua minggu Kara menjalani aktivitas barunya di dunia yang berbeda dengan hobynya ini.
"Kok lo tahu. Padahal gue baru mau bilang sama lo nanti pas hari ulangtahun lo supaya nanti lo bisa bebas ngebully gue." Kara sendiri sangat heran dari mana Hana tahu tentang apa yang digelutinya dua minggu ini sehingga ia banyak meninggalkan latihan basketnya.
Kara bukannya tidak mau memberitahu Hana. Kara merasa sedikit malu jika mengatakannya mengingat dulu ia pernah meledek model-model pria di majalah di hadapan Hana. Jadi, Kara berniat memberitahukan tentang hal itu nanti saat Hana berulang tahun yang ke tujuh belas. Ya...supaya nanti Kara bisa menerima bullyan Hana padanya. Memaafkannya karena hari itu adalah hari ulang tahun Hana. Tetapi, sebelum ulang tahun ke tujuh belas Hana itu, dia sudah mengetahuinya.
"Dua hari yang lalu gue ke rumah lo. Mama lo bilang lo lagi pemotretan." Hana tersenyum miring. "Katanya jijik lihat cowok berpose di depan kamera?" ujar Hana terdengar seperti ledekan.
"Tuh 'kan, lo pasti ngeledek gue."
"Enggak kok." Bantah Hana.
Kara berdecak lidah. "Terus barusan itu kalau bukan ngeledek apa namanya."
"Gue cuma bilang apa yang lo bilang ke gue waktu itu." Hana membaca pesan yang masuk ke ponselnya.
Sementara itu Kara sedang sibuk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Itulah sebabnya seseorang tidak boleh mengatakan tidak menyukai sesuatu sebelum mencoba dan mengetahui. Karena bisa jadi akhirnya berujung dengan ledekan seperti sekarang. Kara menyesal dulu pernah mengata-ngatai pria-pria di majalah yang berpose di depan kamera.
"Kara." Hana mendongak. Kara hanya menaikkan kedua alisnya. "Gue harus pulang. Mama sms gue barusan."
"Mau gue anter?" tawar Kara.
"Gak usah repot-repot. Gue bisa naik taxi." hanya seutas senyum sebelum akhirnya Kara melihat Hana berjalan semakin menjauh dari pandangannya sebelum gadis itu benar-benar tak terlihat.
***
"Ada apa?" tanya Kai sambil menjatuhkan tubuhnya pada kursi kosong di hadapan Fay.
Fay tersenyum menatap Kai yang baru datang itu. "Lo gak usah merasa gak enak karena baru dateng. Tenang aja gue juga baru dateng kok." Fay mendahului.
Akan tetapi Kai malah meringis. Apa-apaan gadis ini? padahal Kai sama sekali tidak berniat mengatakan hal yang serupa. Justru Kai sengaja memperlambat datang.
"Lo mau ngomongin apa?" tanya Kai to the point.
Fay lagi-lagi tersenyum seakan-akan tidak pegal-pegalnya untuk tersenyum. "Gue mau ngomongin tentang peraturan."
"Peraturan?" ulang Kai. Fay sudah mengira bahwa Kai tidak akan mengerti dengan apa yang ia katakan sebelumnya.
"Iya. Peraturan kita selama pacaran." Fay memperjelas. "Gini lo maupun gue tahu kalau hubungan ini cuma status doang supaya lo dapet tratiran makan di café selama dua bulan dari Alvin. Gue gak tahu kenapa, yang gue kira lo mungkin lagi bokek, kere, makanya lo butuh banget seseorang buat bayarin lo makan. Gini Kai, segala sesuatunya ada aturannya. Apapun yang kita lakuin di dunia ini ada aturannya. Dan gue mau hubungan kita juga ada aturannya. Yah...tujuannya sih supaya hubungan kita ini lebih sistematis, gak amburadul."
"Oke, jadi apa peraturannya?" potong Kai.
Fay berdecak lidah kesal. Ia sangat tidak suka jika sedang berbicara lalu ada yang memotong pembicaraannya. Itu sangat tidak sopan. Dan pria bernama Kairo Ikhwan di hadapannya ini baru saja melakukannya.
"Jadi peraturannya, gak ada peraturan." ujar Fay tersenyum menatap Kai yang duduk di hadapannya. "Lo...maupun gue bebas buat melakukan hal lain termasuk punya gebetan atau pacar lain asal gak boleh ada yang tahu selain gue, elo, dan dia. Gak ada cemburu, gak ada marah, gak saling mengganggu kehidupan masing-masing. Ini cuma status, gak ada yang spesial dari hubungan kita."
"Gimana lo setuju?" Fay tersenyum sambil mengulurkan tangannya.
Kai langsung membalas jabatan tangan Fay. "Oke! Gue setuju!"
"Tapi, inget. Lo harus angkat telpon gue tiap malam minggu."
"Kenapa?"
"Kok masih nanya." Fay berdecak lidah sebal. "Ya...Biar kelihatan lah kalau gue punya pacar. Apa lagi?"
"Cuma itu aja?" tanya Kai dengan nada menantang.
"Mau gue tambah sama lo harus ngabarin gue tiap hari?"
"Gak, gak usah. Itu aja."
"Dan lo harus inget satu hal. Jangan ada yang tahu kalau kita pacaran cuma status aja." Fay mengingatkan.
"Iya." jawab Kai malas.
Fay kemudian menyeruput minumannya sambil menatap pria bernama Kairo Ikhwan dihadapannya sambil tersenyum sendiri. Membuat Kai yang melihatnya mengernyitkan alisnya keheranan. "Lo gak apa-apa 'kan?"
Fay menggeleng cepat. "Gue gak apa-apa."
"Terus?"
Fay berhenti minum. Menumpuk kedua tangannya di atas meja. Menatap Kai masih dengan senyum tertahan yang sebelumnya. "Gue cuma gak nyangka lo sekarang pacar gue." Fay terkikik. "Mungkin kedengerannya konyol, gue gak suka sedikitpun sama lo meskipun lo keren, cool, ganteng yang semua orang pengen banget jadi pacar lo. Gue senang, lo pacar pertama gue."
***
Flower flo
140618
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top