ENAM - "Sahabat Baik?"


Karena nyatanya... sebagai seseorang yang ingin disebut sahabat yang baik untuk Hana ia tidak mempunyai keberanian lebih untuk mendekapnya.

***

Hana sudah sampai di sekolah pukul enam lebih lima belas. Ia langsung memasuki kelasnya dan menenggelamkan kepalanya. Satu persatu teman sekelasnya mulai berdatangan. Beberapa mungkin menatapnya aneh, sebab Hana yang biasanya datang langsung membaca buku sekarang terlihat menenggelamkan kepalanya tak bersemangat. Ia tidak peduli dengan pikiran orang lain terhadapnya, tidak pernah peduli, dan tak pernah mau peduli.

Hana yang dalam posisi itu bisa merasakan bahwa kursi di sampingnya sudah terisi. Itu artinya Kara sudah datang.

"Lo sakit?" itu pertanyaan pertama yang Kara lontarkan padanya.

Masih pada posisinya Hana menggeleng.

"Jangan bohong." desak Kara. Meletakkan tangannya pada punggung Hana sedikit menggungcangnya.

"Gue gak bohong."

Secara fisik Hana memang tidak sakit, ia tidak berbohong. Hatinyalah yang sedang sakit sekarang. Sangat sakit. Kebenaran tentang penyebab kedua orang tuannya berpisah itu menampar dirinya. Demi apapun, ia sangat sakit sekali.

"Kalau lo sakit bilang aja sama gue." Kara mendekatkan jaraknya dengan Hana. Agak membungkuk untuk melihat wajah Hana. Kara lalu berbisik di samping telinga gadis itu. "Gue dengan senang hati anter lo ke UKS. Sumpah gue lagi males belajar matematika hari ini." keluhnya.

Hana mengangguk-anggukan kepalanya.

Tak lama bel tanda pelajaran pertama dimulai berbunyi. Bisik-bisik mulai lenyap bersamaan dengan suara derap langkah kaki memasuki kelas. Pelajaran bertama dimulai. Namun, Hana masih bertahan di posisinya sebelumnya. Membuat Kara menatapnya keheranan tak terkecuali dengan yang lainnya.

Entahlah, rasanya hari ini Hana tidak berminat melakukan apapun. Iamencoba bercermin pada dirinya sendiri. Namun yang dilihatnya adalah ia yang semakin merasa kecewa dengan dirinya sendiri.

"Yahh... matematika." keluh Kara detik berikutnya terdengar suara gedebuk tumpukan buku di atas meja yang disimpan dengan asal oleh pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Kara.

Waktu begitu cepat, Hana tidak menyangka bahwa sudah satu jam pelajaran ia seperti ini.

"Dia kenapa sih, lagi nyari perhatian atau apa." telinga Hana cukup tajam untuk mendengar bisikan teman yang berada di belakangnya.

Hana tiba-tiba menegakan tubuhnya. Tidak peduli dengan matanya yang sembab dilihat oleh Kara dan teman-temannya. "Ke UKS."

***

Kara yang kaget karena Hana yang tiba-tiba bangun hanya terdiam. Sebelumnya Kara bersikap seolah tidak penasaran walaupun sebenarnya ia sangat penasaran kenapa teman sebangkunya sedikit aneh hari ini. Tapi, Kara menelan bulat-bulat pertanyaannya. Meyakini bahwa Hana yang sering terlihat tak memiliki emosi itu pasti akan tersandung masalah juga. Sama halnya dengan setiap seseorang yang memiliki sesuatu yang tak bisa diceritakan pada orang lain. Begitupun dengan masalah. Semua manusia memiliki masalahnya masing-masing.

"Anter ke UKS." ulang Hana.

Sesaat Kara sempat terdiam mendengar apa yang Hana katakan padanya.

Setelah itu Kara pun meminta izin kepada guru matematika yang sedang menulis di papan tulis dan mengizinkannya.

Sekarang Kara dan Hana sudah berada di UKS. Kara tersenyum masam menatap punggung  Hana yang sedang berbaring memunggunginya. Merasa berterimakasih sekali pada teman sebangkunya itu karena selalu mengerti dirinya di segala cuaca. Menghindarkannya dari pelajaran matematika yang membosankan, memuakan, dan memusingkan.

Kara menatap penuh keheranan pada Hana yang berbaring memunggunginya. Ada apa dengan gadis ini? Apa sesuatu terjadi padanya?

"Kenapa gak dari tadi pagi aja lo bilang kalau lo sakit." ujar Kara khawatir. Tangannya bergerak untuk menyelimuti gadis itu sampai leher.

"Gue belum makan. Gue laper." ucap Hana pelan.

Kara menghela napasnya. "Lo mau makan apa?"

"Gue bisa makan apa aja."

Sejenak Kara menatap punggung Hana. Entah kenapa Kara merasa seperti ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu. Sebenarnya Kara menyadari hal itu sejak tadi pagi, sejak ia melihat Hana yang bertingkah tidak seperti biasanya di pagi hari. Tetapi Kara bukanlah seseorang yang bisa dengan mudahnya menanyakan hal apapun pada orang lain, apalagi pada Hana.

Meskipun Hana bukan gadis yang banyak bicara dan membicarakan banyak hal pada orang lain. Berbeda padanya, Hana terkadang menceritakan sesuatu padanya. Hanya padanya. Dan Kara yakin, apapun masalah yang sedang Hana tanggung dan belum bisa menceritakannya pada Kara. Tunggu sampai dia siap dulu, nanti juga Hana akan bercerita. Walaupun bukan sekarang. Mungkin besok, besoknya lagi, atau mungkin satu bulan ke depan.

"Gue gak tahu kenapa. Lihat lo kayak gini...yang pasti ini bukan elo." ujar Kara setelah itu berlalu meninggalkan Hana menuju kantin untuk membeli makanan untuk Hana.

Tak butuh waktu lama Kara sudah kembali membawa semangkuk bubur untuk Hana. Hana masih dalam posisinya yang tadi saat Kara meninggalkannya. Tidak bergerak sama sekali.

Mengabaikan rasa ingin tahunya tentang kenapa Hana bertingkah seperti ini, Kara meletakkan mangkuk buburnya di atas meja kecil yang terletak diantara dua ranjang di ruang UKS ini. Ia duduk perlahan di tepi ranjang yang Hana tempati dengan hati-hati, takut mengganggunya.

"Lo mau makan sekarang atau kapan?" Kara menyentuhkan tangannya pada bahu Hana dengan hati-hati.

Hana bergerak kemudian menegakkan posisinya. Kara membantu meletakkan sebuah bantal di belakang punggungnya sebagai sandaran.

"Maaf ngerepotin. Tadi pagi gue gak sempat sarapan." entah kenapa Kara merasa bahwa Hana sedikit canggung bicara dengannya. Padahal biasanya walaupun Hana memang kaku dan pendiam berbicara dengannya tidak terasa secanggung ini. Kenapa dengan Hana sekarang.

Tapi, lupakan tentang Hana yang terdengar seperti canggung berbicara dengannya. Yang menjadi pusat perhatian Kara saat ini adalah mata Hana yang sembab dan terlihat lengket. Kening Kara berkerut samar. Raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi penuh kecemasan. Hana...

"Lo nangis?" Kara tidak bertanya melainkan sedang memastikan dugaannya.

Hana menggeleng lemah. "Atap disini kotor. Gue kelilipan barusan."

"Lo bohong." sela Kara cepat.

"Gue gak bohong. Debunya banyak disini dan masuk ke mata gue." Kara tahu saat ini Hana sedang mencoba untuk menghibur dirinya sendiri. Ia cukup mengenal Hana. Tahu bahwa gadis itu sedang berbohong padanya sekarang.

"Dari tadi pagi sikap lo emang udah aneh. Dan sekarang lo nangis disini." Kara meletakkan kedua tangannya di bahu Hana. Menatap mata Hana dengan hangat. "Lo emang gak banyak ngomong. Lo gak mudah bilang sama orang lain tentang masalah lo. Gue tahu elo, gak ada yang gue gak tahu tentang elo. Lo bohong kalau barusan lo kelilipan. Banyak alasan kenapa manusia berpikiran bahwa menyimpan masalah sendiri itu jalan terbaik. Kita gak tahu kalau lama-lama masalah itu akan menumpuk di diri kita sendiri sampai akhirnya buat kita gak tahan."

"Hana, gue bukan orang lain. Gue Kara, sahabat lo. Meskipun sampai sekarang gue belum yakin apakah gue bisa memahami lo lebih baik daripada siapapun sehingga gue pantes lo sebut sebagai sahabat lo yang baik. Sekarang lo punya masalah, itu bisa terlihat di mata lo." Kara menjeda kalimat panjangnya. "Memang itu masalah lo, tapi ada baiknya kalau lo bagi tentang masalah lo sama orang lain. Walaupun gue gak yakin bisa ngasih solusi atau apa. Kita temen. Jangan sungkan buat bercerita."

Setelah itu hal yang paling langka yang pernah Kara lihat dari seorang Hana terjadi. Bahu gadis itu bergetar hebat bersamaan dengan suara erangan-erangan kecil yang keluar dari mulutnya. Ia bisa melihat jelas Hana yang berusaha untuk menahan tangisnya dengan cara menggigit bibir bawahnya. Air matanya mengalir dengan derasnya. Namun, Hana masih belum mengatakan apapun. Sesekali Hana berusaha untuk mengatakan sesuatu padanya, namun gadis itu malah terlihat kesulitan sendiri karena tangisnya.

Kara memang tidak tahu permasalahan apa yang sedang Hana hadapi sehingga membuat Hana terlihat begitu rapuh. Berlainan dengan Hana yang tangguh walaupun tak mempunyai banyak teman dan pendiam. Berlainan dengan Hana yang selalu terlihat tak terganggu dengan orang-orang di sekitarnya. Berlainan dengan Hana yang selalu terlihat bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Berlainan dengan Hana yang kuat dibawah rongrongan orang-orang yang tidak menyukainya. Berlainan denan Hana yang tangguh menghadapi dunianya yang Kara yakini tidak lebih baik dari kehidupannya. Berlainan sekali dengan Hana yang Kara kenal selalu mengabaikan sekitar yang menurutnya tidak penting untuknya. Yang pasti ini bukan Hana yang ia kenal selama ini yang selalu terlihat tangguh namun peduli.

Kara agak ragu untuk menggerakkan tangannya. Ia ingin memeluk Hana sekarang, akan tetapi rasanya tak nyaman sekali karena ia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Merasa ragu untuk menarik tubuh Hana ke dalam dekapannya, akan tetapi ia sangat ingin menenangkan Hana.

Hana mentupi wajahnya dengan kedua tangannya masih dalam keadaan menangis. Akhirnya Kara pun menepuk-nepuk pelan punggung Hana dengan cara yang menenangkan.

Tanpa memeluknya.

Sekali lagi Kara tidak memeluknya.

Karena nyatanya... sesebagai orang yang ingin disebut sahabat yang baik untuk Hana ia tidak mempunyai keberanian lebih untuk mendekapnya.

Yah...sesempurna apapun, semisterius apapun, sebahagia apapun, dan sehebat apapun hidup seseorang dia tidak akan terlepas dari kesedihan dan luka. Seperti saat bayi yang baru lahir yang seharusnya bahagia karena bisa melihat dunia bayi itu malah menangis karena ternyata kenyataan baru menyambutnya, kekejaman dunia yang harus siap dia hadapi.

Seperti apapun manusia itu terbentuk, yang pertama kali dilakukannnya adalah menangis. Maka dari itu tidak ada manusia hebat manapun yang tidak pernah menangis. Seperti Hana, gadis yang ia anggap sangat tangguh sekarang menangis di hadapannya. Tanpa mengatakan apapun padanya. Hanya menangis. Yang pasti Kara yakin masalah yang Hana hadapi saat ini sangat berat dan menyakiti hatinya.

Bahkan mungkin semua orang akan setuju dengan ungkapan ini; bahwa sekuat apapun kita menyimpan luka, luka itu tidak akan sembuh sebelum kita mengeluarkannya dalam bentuk air mata. Menangis memang membuat kita terlihat lemah. Tapi, menangis bukan sebuah kesalahan dan bukan juga sebuah kejahatan.

***


Assek aseekkk

Ketemu lagi


Flower flo

030918

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top