EMPAT BELAS - Teman Baru yang Pergi Lagi




"Seorang teman bisa datang karena banyak sebab. Dan aku bisa berteman denganmu karena kita berbagi luka yang sama."

***

Nyatanya semua yang terlihat itu tidak menggambarkan keseluruhan. Sama halnya hati. Wajah yang ceria dan seolah tak memiliki masalah tidak menjamin bahwa hati pun merasakannya. Layaknya sebuah kotak kado, kita tidak tahu apakah di dalamnya benda spesial atau justru jebakan. Siapa yang tahu.

Sama halnya dengan yang Fay rasakan. Sebelumnya keluarganya baik-baik saja. bahkan ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling beruntung karena memiliki keluarga yang sempurna. Ketahuilah bahwa kesempurnaan tidak akan selamanya dirasakan. Masalah pasti selalu ada.

Sama seperti pagi ini. Saat sarapan pagi. Papanya tidak ikut serta. Ia juga melihat ada sesuatu berbentuk bulat keunguan di sekitar rahang mamanya.

"Papa kemana?" tanya Fay sambil berusaha mengabaikan memar di wajah mamanya itu.

Fay mengamati mamanya yang secara perlahan menutupi memarnya dengan menaikan kerah bajunya.

"Papa udah berangkat tadi pagi. Katanya ada urusan di luar kota." jawab mamanya kemudian meletakkan nasi goreng di hadapannya dan Kak Arbani.

"Mama sama papa,..."

Fay hendak menanyakan apakah mama dan papanya bertengkar namun Kak Arbani sudah lebih dulu menyikut rusuknya. Fay menoleh menatap kakanya memprotes. Kak Arbani mengisyaratkan sesuatu padanya. Ia mengerti bahwa sebaiknya ia berpura-pura tidak tahu saja. Sama seperti kakaknya yang sama-sama tahu tapi memilih diam saja. Seolah semuanya baik-baik saja.

Kak Arbani benar. Lebih baik ia diam saja.

Jika hal itu bisa membuat keadaan lebih baik.

***

"Hana." Panggil Fay saat ia melihat Hana sedang berjalan kaki beberapa meter di depannya.

Hana berhenti dan menoleh. "Apa?" tanyanya dengan tampang datar.

"Mau ke sekolah?" tanya Fay terdengar bodoh setelah ia berhasil menyenyajarkan langkah kakinya dengan Hana. "Gue bareng boleh."

"Tumben lo nyapa gue." sindir Hana.

Fay meringis. Sebelumnya ia tidak pernah berusaha untuk menyapa apalagi berbicara dengan Hana karena menurutnya Hana gadis aneh, unsocial, misterius, menyeramkan, dingin, dan tak bisa bersahabat. Bahkan Fay tidak pernah memiliki niat untuk melakukan hal itu, berteman dengan Hana. Menyapa Hana saat ini rasanya pun sangat canggung. Namun ia berusaha untuk menutupi kecanggungannya.

"Kenapa? Lo lagi butuh temen?" tanya Hana. Langsung tepat sasaran.

Jujur saja Fay yang tidak memiliki teman yang bisa dipercaya itu sangat membutuhkan teman saat ini. Hana mengatakan hal yang benar-benar sangat ia inginkan.

"Lo bener. Sebenernya gue pengen cerita sesuatu sama seseorang tapi gue gak tahu sama siapa. Gue gak tahu siapa yang harus gue percaya."

"Dari apa yang lo bilang barusan lo kayak mau cerita sama gue." Hana menghentikan langkahnya. "Lo percaya sama gue?"

"Lo kelihatannya emang kayak orang yang gak mau berurusan sama urusan orang lain. Tapi, gak tahu kenapa gue ngerasa kalau lo bisa gue percaya. Ada baiknya gue cerita tentang ini ke seseorang yang gak deket sama gue. Mereka yang deket terkadang berkhianat."

"Gak punya temen yang bisa dipercaya kesepian yah?"

Fay mengangguk. Karena memang itu yang ia rasakan. Ia mempunyai banyak teman tetapi ia tidak pernah merasa kesepian seperti ini.

"Lo sendiri gak kesepian?"

"Gue punya Kara." jawab Hana sambil menunduk. Saat itu Fay melihat seulas senyum terukir di wajah Hana.

Fay mengangguk-angguk sambil mengulum senyum. Sudah jelas sudah dugaannya selama ini.

"Gimana mau cerita gak? Mumpung masih agak jauh ke sekolahnya."

"Ini tentang keluarga gue...ah udahlah orang yang orang tuanya baik-baik aja gak bakalan ngerti." tukas Fay cepat.

"Orangtua gue udah cerai." ungkap Hana tanpa diminta. "Orang tua gue gak baik-baik aja."

Fay dibuat terdiam atas apa yang baru saja Hana katakan itu. Apa ia tidak salah dengar.

Tapi kenapa Hana mengatakan hal itu dengan gampangnya padanya.

"Kenapa? Lo jadi diem gitu?" pertanyaan itu berhasil membuat Fay tersadar.

"Gue minta maaf. Gue gak dekat sama lo makanya gak tahu." Fay merasa menyesal sekali sudah menyinggung tentang orang tua kepada anak yang keluarganya berantakkan. Perceraian berarti semuanya berantakan bukan?

"Jadi gimana? Lo mau cerita sama anak yang punya masalah sama orang tuanya ini?"

Kemudian cerita dari mulut Fay pun mengalir. Dan Hana mendengarkannya tanpa terlewat satu katapun. Tak lupa juga Hana memberikan beberapa nasihat kepadanya tentang bagaimana caranya untuk menghadapi kedua orangtuanya. Dan seperti apa yang Kak Arbani katakan, Hana pun mengatakan hal yang sama.

"Jangan ikut campur. Pura-pura aja gak tahu apa-apa. Biar kedua orang tua lo nyelesain masalah mereka sendiri. Di dalam keluarga kadang ada batas-batas di mana anak gak boleh ikut campur. Termasuk dalam kasus lo barusan."

"Makasih."

Hana tersenyum tipis. "Sama-sama."

"Lo gak sedih orang tua lo..." Fay tidak sampai hati untuk menyinggung tentang perceraian orang tua Hana.

"Awalnya gue marah. Tapi karena itu pilihan mereka berdua, gue bisa apa? Kayak yang gue bilang tadi, ada batas-batas dimana anak gak boleh ikut campur. Dan saat mereka memutuskan saat itu juge gue sadar bahwa itu adalah batasnya. Gue gak punya hak sama sekali buat ngelarang mereka. Itu keputusan mereka. Mau gue maksa apapun mereka supaya gak cerai demi gue, kalau mereka udah gak bisa sama-sama, ngapain? Ujung-ujungnya gue takut malah nyakitin banyak pihak. Mama, papa, gue, takutnya pada akhirnya saling menyakiti satu sama lain."

Hana menghela napas. Menatap Fay dengan senyum hambarnya. "Satu-satunya yang buat gue masih marah sampai saat ini karena alasan mereka pisah."

"Emang kena..." Fay menutup mulutnya sendiri. Dia tersenyum hambar. "Itu bukan sesuatu yang harus gue tahu."

***

Hari berlalu begitu lambat setelah Kara mengatakan padanya bahwa dia dan Aruna sudah resmi menjadi sepasang kekasih.

Waktu itu Hana dan Kara sedang makan siang di kantin sekolah saat tiba-tiba Aruna ikut bergabung dan duduk di samping Kara.

Ia sempat keheranan kenapa tiba-tiba Aruna makan semeja bersama mereka berdua. Siapapun pasti akan keheranan saat seseorang yang bisa dibilang asing tiba-tiba saja datang dan ikut bergabung. Aruna orang asing untuknya dan Kara sebelumnya.

"Heran yah gue duduk disini?" tanya Aruna dengan senyum merekah. Sama halnya dengan Kara yang tampak berbunga-bunga melihat Aruna.

Mata Hana membulat melihat Kara menyelipkan rambut Aruna ke belakang telinga gadis itu. Sebelum tangan Kara berakhir dengan merangkul Aruna.

Hana mencoba menebak dalam hati. Namun, ia juga mencoba untuk menyangkalnya. Menebak dan menyangkal dalam waktu bersamaan. Berharap bahwa hal ini hanya kebetulan saja. Aruna bergabung karena tidak ada kursi lagi selain disini. Namun nyatanya tidak. Meja dan kursi masih kosong dimana-mana saat Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Ia tidak ingin menyangkal bahwa tebakan yang di pikirkan adalah kebenaran. Namun, melihat gesture Kara dan Aruna di depannya sudah menjelaskan semuanya.

Bahwa detik itu juga Hana harus disadarkan akan batas yang mulai saat ini ada diantara dirinya dan Kara.

Kara mencondongkan tubuhnya. Berbicara padanya pelan-pelan dengan sebelah tangan disamping bibirnya.

"Gue jadian sama Aruna kemarin." bisiknya lalu memundurkan tubuhnya lagi dan menatap Aruna dengan senyum merekah.

Hana merasa dunia runtuh di bawah kakinya saat itu juga. Cinta sepihak yang ia harap-harapkan menjadi kenyataan selama ini berakhir juga. Kara sudah bersama dengan seseorang yang sangat ia harapkan dari dulu. Membiarkan Hana sendirian bersama harapan sepihaknya.

Jelas sudah batasan itu.

Jelas sudah posisinya selama ini. Bahwa status sahabat yang ia menggelari dirinya dan Kara selama ini tidak akan pernah berubah. Kara yang dulu pernah menyukainya tidak akan pernah menyukai orang yang sama. Orang yang sudah mematahkan dan menjelaskan bahwa mereka mempunyai batasan yang tidak boleh dilanggar. Sadar atau tidak, Hana sendiri yang memberikan batasan itu dulu.

Dan Hana masih menyesal sampai saat ini.

"Jangan ngelamun aja." Entah sejak kapan Fay sudah mengambil posisi di sebelahnya. Mengamati teman barunya itu dari samping.

Hana sedang serius membaca buku saat Fay menemukannya. Ia langsung menghampirinya. Namun Hana sama sekali tidak menyadari dirinya duduk di sampingnya. Bahkan Fay perhatikan mata Hana sama sekali tidak berfokus pada buku.

"Enggak." Elaknya sambil membuka halaman buku berpura-pura melanjutan membaca.

"Hana lo harus ikut gue!" entah sejak kapan Kara berdiri di hadapan mereka berdua dengan dada naik turun dan keringat mengucur dari ujung rambutnya.

"Kenapa lo? Habis lari keliling sekolah?" ucap Fay sarkas.

Kara berdecak. "Bukan urusan lo." Mengabaikan apa yang Fay ucapkan Kara bertanya. "Nanti malem lo mau kemana?"

Sebelah alis Fay terangkat. Jelas pertanyaan itu ditujukan untuk Hana.

Hana menutup bukunya. "Seperti biasa gak kemana-mana."

"Nanti malem nonton sama gue." Terdengar bukan sebuah ajakan malahan seperti sebuah perintah.

Fay yang mendengarnya lagi-lagoi mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa gak sama Aruna aja?" Hana mencoba mengabaikan Kara. Berjalan menuju rak buku untuk meletakan buku yang sedang ia baca sebelumnya ke tempatnya semula.

Kara mengekorinya. "Emang sama Aruna."

Ucapan Kara membuat gerakan Hana yang sedang berpura-pura memberesan buku terhenti. Menunggu apa yang akan Kara katakan selanjutnya. Begitu juga Fay yang duduk di tempatnya semula sambil menatap dua makhluk yang katanya bersahabat sejak SMP itu.

"Gue kayaknya bakalan mati kutu kalau pergi berdua aja sama dia. Makanya gue ngajak lo." Jelas Kara. "Lo tahu kan selama ini gue suka sama dia diem-diem, merhatiin dia diem-diem, dan saat gue jadian gue ngerasa gugup banget tiap ketemu sama dia. Lo mau kan? Paling gak mau banget gue kelihatan idiot di depan cewe yang gue suka."

"Gak mau."

"Yah, kenapa? Tumben lo nolak. Biasanya lo nurut aja kalau gue minta." Protes Kara.

"Gue cuma disadarkan kalau ada batas diantara kita yang harusnya gak boleh gue lewatin."

Kara mengernyit. "Kenapa lo tiba-tiba berpuisi sih?"

"Secara gak langsung lo nyuruh Hana buat jadi obat nyamuk. Lo tahu?" ucap Fay ikut menimpali. "Orang waras mana sih yang mau diajak jalan sama sahabatnya sementara sahabatnya bareng cewenya."

"Denger yah." Kara menatap Fay. "Selama ini cewek yang deket sama gue cuma Hana. Kemana-mana gue sama dia. Tapi sekarang gue pacaran sama Aruna cewek yang bahkan gue sendiri gak pernah mimpi buat jadi pacarnya. Bukan maksud gue jadiin Hana obat nyamuk atau apapun itu gue cuma..."

"Mama gue bakalan marah kalau gue keluar malem." Potong Hana lalu pergi meninggalkan Kara begitu saja.

"Kenapa dia jadi marah?" tanya Kara pada Fay.

Fay mengangkat kedua bahunya sambil menahan tawa. Setelah itu dia berlari keluar mengejar Hana.

"Gue udah denger soal Kara." ujar Fay dengan tampang acuhnya.

Hana mengabaikan Fay yang berjalan di sampingnya.

"Lo kayak gitu karena Kara jadian sama Aruna 'kan?"

"Gue cuma nyadar posisi gue. Sekarang Kara udah punya pacar, gue sebagai sahabatnya kalaupun gue gak suka dia ngejauh dari gue, apa yang bisa gue lakukan? Justru dengan gue terus ada di dekat dia bikin gue kelihatan kayak orang gak tahu diri. Cewek manapun pasti gak bakalan suka kalau pacarnya terlalu deket sama sahabatnya yang cewek."

"Lo suka sama dia makanya lo kayak gini. Bukan karena lo takut sahabat lo ngejauh dari lo atau karena lo gak mau Aruna gak nyaman sama kehadiran lo." potong Fay membuat Hana menghentikan langkahnya.

"Mungkin orang lain gak sadar. Tapi gue tahu kalau lo dari dulu suka sama Kara." lanjut Fay. "Selama ini lo selalu ngalah. Lo selalu terjebak sama batasan yang lo bilang gak pernah bisa lo lewatin itu. Ayolah Hana, cinta itu gak mengenal batasan. Gak mengenal dia siapa? Gak mengenal bagaimana? Gak mengenal kenapa? Cinta bukan pelajaran bahasa Indonesia dimana ada batasan kaidah 5W 1H. Gak peduli dia sahabat lo, kalau Tuhan emang udah menurunkan perasaan cinta di hati lo gak ada yang bisa berubah."

"Gue gak tahu lo ngomong apa." Hana tersenyum lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo kebanyakan baca novel kayaknya."

"Enggak, lo tahu. Tahu banget apa yang gue maksud."

Hana menghela napas lalu tersenyum miring. "Fay lo siapa?"

Fay mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan sinis itu.

"Lo bukan siapa-siapa. Lo gak tahu apapun tentang gue. Dan stop sok tahu tentang gue. Karena orang kayak lo yang selalu sok tahu perasaan orang lain adalah orang yang paling gue benci."

Setelah itu Hana melangkah menjauh.

Membuat Fay berdiri mematung di tempatnya. Tertawa miris sambil menatap kepergian Hana. Kenapa ia malah kena marah saat mengatakan apa yang sudah terlihat sangat jelas itu?

***



251018

Flower Flo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top