DUA PULUH TUJUH - "Seseorang dengan Rasa Kecewa"
Hai, selamat pagi
Tinggalkan vote sama komentarnya ya
Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian kalau suka
Selamat membaca!!
***
Kara meminggirkan motornya setelah berada di jalanan yang cukup sepi, hanya ada satu dua motor melintas. Dia sudah tidak kuat untuk menahan pertanyaan yang bergejolak di dalam dadanya sejak berada di ruang rawat VIP Fanya. Hana turun dari boncengannya, helaan napasnya terdengar keras saat jemari kecilnya mencopot helm dari kepalanya, lalu menjinjingnnya. Tidak bertanya kenapa Kara meminggirkan motornya padahal belum sampai seperempat jalan menuju rumahnya karena ia tahu penyebabnya.
Percakapan dengan Fanya yang ternyata mengenal mamanya dan mengetahui tentang perceraian orang tuanya pasti menjadi alasan Kara meminggirkan motor dan diam menatapnya dengan rahang menegang. Marah, kesal, kecewa, itu semua seolah tergambar dengan jelas di wajah Kara tanpa ia mengira-ngiranya.
"Kenapa lo gak pernah bilang sama gue?" baru pada detik ke dua puluh Kara bertanya. Suaranya pelan dan terkesan dingin.
Kara sama sekali tidak turun dari motor. Helm masih bertengger di kepalanya, bahkan tangannya tak beranjak satu senti pun di atas stang motor.
"Perceraian bukan sesuatu yang patut gue ceritakan." Itu jawaban Hana, tak kalah dinginnya.
Dada Hana bergemuruh di dalam sana. Melihat wajah Kara yang menggambarkan kekecewaan karena dirinya tidak pernah memberitahukan hal tersebut padanya. Hana tidak kuat melihatnya. Posisinya sangat sulit sekarang.
"Tapi, gue sahabat lo." Ujar Kara.
Jelas itu alasan kenapa Kara kecewa padanya. Sebagai sahabat Hana tidak menceritakan apapun. Merasa tidak berguna sebagai sahabat karena tidak tahu kejadian mengerikan yang dialami sahabatnya.
"Udah berapa lama?" sambung Kara suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.
"Setahun lebih."
Dalam sekejap wajah kecewa Kara kian buruk. Seperti hancur.
"Dan lo gak ngasih tahu gue hal itu?"
"Gak ada yang bisa gue banggain dari perceraian orang tua. Gue hancur, dan gak mau lo ikut-ikutan bersedih."
"Tapi gue sahabat lo." Ucap Kara dengan sedikit penekanan. Matanya memerah, berkaca-kaca.
Masalahnya berpusat pada posisi Kara yang adalah sahabatnya.
"Apa selama ini lo gak pernah anggap gue sahabat lo?" sambung Kara.
"Gue pikir lo gak perlu tahu."
"Kenapa?" Kara tiba-tiba berteriak. Membuat Hana berjengit mundur karena kaget. "Na, lo tahu gimana perasaan gue sebagai sahabat saat tahu orang tua lo cerai dari orang lain dan lo gak ngasih tahu sama gue?"
Hana mengulum bibirnya, menunduk menghindari menatap mata Kara yang sedetik lalu mengeluarkan air mata.
"Gue ngerasa gak berguna sebagai sahabat. Apa lo anggap persahabatan kita selama ini sebagai beban? Apa yang lo rasain sama gue selama ini? Gue harus jadi apa? Tinggal di sisi lo gue harus sebagai apa kalau sahabat aja gak buat lo terbuka sama gue? Waktu lo nolak gue bebrapa tahun lalu, gue berpikir kalau emang sebaiknya gue sama lo sahabatan supaya lo nyaman, supaya lo terbuka sama gue. Nyatanya sebagai sahabat aja lo gak cerita apa-apa tentang orang tua lo sama gue?"
Kara tiba-tiba tergelak, menyusut air mata menggunakan tangan kanannya. "Tadi, gue kayak orang bego banget di depan Tante Fanya. Kalian ngobrolin hubungan ibu sama ayah lo dengan orang baru dan gue di samping lo cuma diem. Lucu, orang terdekat lo gak tahu apa-apa tentang itu. Apa selama ini persahabatan kita cuma lelucon buat lo?"
Hana menggeleng keras. Mencoba menyingkirkan pikiran Kara bahwa hubungan persahabatan mereka tidak ada artinya. Hana menganggap persahabatan ini. Hana mungkin tidak akan kuat jika Kara tidak ada. Justru karena Kara selalu ada disampingnya, maka dari itu Hana memberanikan diri menguatkan hati untuk terus berdiri, berjalan, dan bertemu dengan Kara setiap harinya.
"Pikiran gue sederhana, tanpa gue cerita pun lo pasti tahu."
Hana tidak pernah berpikir bahwa kalimatnya barusan malah membuat masalah semakin runyam. Kara semakin mengira bahwa Hana tidak pernah menganggap persahabatan ini.
Kara mengangguk-angguk. "Seharusnya gue sadar dari awal, kalau gue emang gak pernah lo anggap."
Setelah itu Kara menyalakan motor dan melesat dalam waktu sekejap dari pandangannya. Kara berhak marah. Kara berhak kecewa.
Biarlah sekarang Kara pergi, dia pasti butuh waktu untuk sendiri. Begitu juga dengan Hana. Ia butuh sendiri untuk merenungkan diri lagi bahwa apa yang dia lakukan dengan tidak memberitahukan Kara tentang perceraian kedua orang tuanya adalah pilihan yang benar.
Hana menghela napas beberapa kali. Menengadahkan wajahnya menatap langit sore yang mulai menggelap. Tidak ada warna kejinggaan khas senja, hanya langit berawan yang perlahan lebih gelap. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, mencoba untuk menahan supaya air matanya tidak keluar. Dadanya terasa sakit, ingin menangis, ingin berteriak, ingin meraung keras-keras.
Entah sudah semerah apa wajahnya sekarang karena menahan tangisan. Entah sudah seberapa tinggi pundaknya naik setiap kali dirinya menarik napas.
Dengan tangan yang bergetar Hana merogoh ponsel dari sakut seragamnya. Memencet ikon warna hitam dengan tulisan GOJEK berwarna hijau. Baru saja Hana ingin menyetel alamat pengantaran di aplikasinya, sebuah motor berhenti tepat di hadapannya.
Itu adalah motor yang sama yang meninggalkannya semenit yang lalu.
Kara kembali, namun sama sekali tidak menatapnya.
"Naik." Bahkan saat menyuruhnya naik pun tatapannya tidak tertuju padanya, hanya lurus. Dan suaranya terdengar dingin.
Hana tidak ingin membantah atau mengatakan apapun. Tanpa bersuara ia naik ke boncengan motor Kara setelah memakai helmnya. Perjalanan lima belas menit itu hanya diisi dengan keheningan. Menatap punggung Kara yang sedang marah dan kecewa karenanya membuat Hana seolah sedang melihat orang lain. Ini adalah perjalanan pulang yang terasa amat sangat lama dan menyedihkan untuk Hana.
***
Kai meletakan sebotol teh pucuk dingin di hadapan Hana yang sedang membaca. "Lagi marahan sama Kara?" tanyanya.
Pemberian teh pucuk tersebut sebenarnya hanya basa-basi supaya dia bisa bertanya langsung pada inti pembicaraan. Hana tahu itu.
"Thanks." Sahut Hana singkat sambil membuka tutup yang masih tersegel lantas meminumnya.
"Lo gak jawab pertanyaan gue." Tuntut Kai.
"Apa yang harus gue jawab, padahal tanpa gue jawab pun jawabannya udah lo tahu." Ini adalah kalimat terpanjangnya saat berbicara dengan Kai.
Hana jadi berpikir selama beberapa tahun ini seberapa banyak orang yang ia abaikan. Seberapa banyak orang yang tidak ia pedulikan kehadirannya. Selama ini dunianya selalu berpusat ada Kara, selalu Kara, tidak ada yang lain. Sampai-sampai berbicara dengan Kai, pria yang sudah dua tahun belajar di kelas yang sama dengannya terasa amat asing.
"Jadi bener ya lagi marahan." Kai nyengir. Tanpa disuruh Kai duduk di kursi dimana biasanya Kara duduk.
Hana sempat menatap Kara dengan tatapan aneh saat Kai duduk. Tatapan yang menyiratkan ketidaknyamanan.
"Gak suka yah gue duduk disini?" tanya Kai canggung.
Hana menghela napas. "Duduk aja."
"Fay cerita sama gue..."
"Tentang keluarga gue?" todong Hana sebelum sempat Kai menyelesaikan kalimatnya.
Hana menutup buku yang sedang dibacanya, meletakannya di atas meja kemudian menghadapkan tubuhnya pada Kai.
Kai mengangguk.
"Jangan nyalahin Fay, gue yang maksa dia buat cerita."
Hana menghela napas lagi. Lagipula kalau bukan ia atau Fay yang menceritakan pada orang lain, waktu juga yang akan menceritakannya. Masalah waktu saja. Sama seperti saat Kara tahu.
"Gue bisa ngerti kenapa lo gak cerita sama Kara." Kai merasa bahwa sekarang yang berbicara bukan dirinya. Sejak kapan memang ia peduli pada makhluk penghuni kelasnya yang bernama Hana, yang selalu juara satu sejak kelas sepuluh.
"Perceraian orang tua bukan sesuatu yang bisa dibagi seorang anak dengan gampangnya." Lanjut Kai.
Lagi-lagi Hana menghela napas. Entah sudah berapa ratus kali di hari ini ia menghela napas seperti itu. Dadanya sesak, kepalanya dipenuhi dengan hal yang sama. Mencari jalan keluar supaya Kara mau berbicara lagi dengannya, tapi tak tahu bagaimana.
"Itu juga yang gue bilang sama Kara."
"Dan gue tebak, Kara tetep marah sama lo."
"Bukan marah, lebih tepatnya dia kecewa."
"Kecewa?" kening Kai mengernyit.
"Karena sebagai sahabat gue gak cerita sama dia."
"Ngerti gue."Kai mengangguk-angguk. "Kara ngerasa gak dianggap sebagai sahabat lo karena dia gak ada di saat-saat tergelap lo, gitu kan?"
Hana mengangguk. "Tepat sekali."
"Mau gue bantu ngomong sama Kara, supaya dia gak diemin lo lagi?" Kai menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Canggung sekali menawarkan bantuan ini.
Salah satu sudut bibir Hana terangkat. Samar-samar, namun kesan sinis nampak jelas. "Sejak kapan lo mau susah-susah bantu gue."
"Sebenernya itu idenya Fay." Ujar Kai.
"Fay?" Hana terkejut.
Kai mengangguk. Senyum di wajahnya mengembang lebar, bahkan terdapat rona merah di sana. Lucu sekali, baru kali ini Hana melihat seorang pria tersipu seperti itu saat membicarakan seorang gadis.
"Cewek gue kayaknya peduli banget sama lo."
Hana tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. "Sesuka itu sama Fay?" godanya.
Kai terkekeh.
"Fay emang cewek yang baik." Puji Hana tulus dari dalam dirinya sendiri. "Kasian aja dia terjebak di antara hubungan lo sama Aruna yang gak jelas."
"Apa?"
"Lupain."
***
Terimakasih sudah membaca
Dan banyak-banyak terimakasih juga buat kalian yang baca dan tinggalkan vote di part ini
Dan lebih banyak-banyak banyak-banyak terimakasih lagi buat kalian yang baca, vote sama komen di part ini
Sampai jumpat hari Kamis, hampir tamat nih
Info lagi, setelah ini tamat gue bakalan garap cerita gue yang judulnya Halusinasi. Cerita yang baru gue post blurb nya doang
Persiapkan diri kalian
090419
Iis Tazkiati N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top