DUA PULUH - Salah Sangka
Hai, ketemu lagi sama Unfairness di hari Senin yang cerah ini wkwk
Jangan lupa kasih vitamin buat gue berupa vote sama komentarnya yaa
Happy reading!!
"Kenapa gak jalin hubungan yang jelas sama orang yang selama ini ada kapanpun lo butuh, bahkan tanpa lo butuh pun dia ada dan selalu ada buat lo?"
***
"Fay." Panggil Kara pandangannya masih tertuju pada Aruna dan Kai yang berjalan berdampingan di depan sana.
Fay menoleh. Menatap cowok yang sedang menatap kepergian pacarnya bersama Kai.
"Pura-pura jadi Aruna yah hari ini, gue udah tanggung pamer sama temen-temen gue mau bawa Aruna." pinta Kara.
Ternyata selain Aruna yang pandai bermain sandiwara ia memiliki pacar yang konyol. Heran juga kenapa Hana betah sahabatan dengan cowok super tidak peka dan super tolol ini.
"Satu jam aja."
Fay hanya geleng-geleng kepala. "Gila kali ya lo." dengusnya sambil melengos.
"Fay gue anter pulang." ujar Alvin yang baru saja sampai di hadapan Fay setelah berlari dari ujung koridor kelas XI IPA.
Hening.
"Yaudah, Hana aja." Kara sempat mendelik pada Fay. "Hana pasti gak bakalan nolak apapun yang gue minta."
Heran juga kenapa Kara malah menyindirnya? Sudahlah. Cowok super tidak peka dan tolol itu tidak perlu untuk ia tanggapi.
"Kai yang nyuruh lo?" sebenarnya tanpa Fay bertanya pun ia tahu jawabannya pasti iya. Tidak mungkin Alvin mau berbaik hati mengantarnya gratisan. Kai pasti memintanya dengan iming-iming sesuatu.
"Katanya dia bakalan bantuin gue akrab sama seseorang." Alvin nyengir. Ada binar kebahagiaan di wajah cowok bermuka sangar ini.
Tidak salah lagi, Alvin pasti sedang jatuh cinta.
"Vin, lo lagi naksir sama seseorang?"
Alvin mengangguk sambil mengulum senyum. "Dia sekelas sama Kai." Cowok itu menolehkan kepalanya pada kelas Kai yang sudah kosong itu. Senyumnya masih bertahan di wajahnya.
"Siapa?" Fay penasaran cewek mana yang bisa membuat seorang Alvin jatuh cinta.
"Lo pasti kaget." Alvin lagi-lagi nyengir. "Hana."
Fay menghentikan langkahnya. "Serius? Hana!" Fay tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Serius lo suka sama Hana?!"
"Sejauh ini cuma dia yang bisa buat hati gue tergerak." Alvin memegangi dadanya. "Saat gue lihat dia, gue seperti lagi naik roller coaster. Kadang gue mendadak kayak orang lumpuh. Kadang gue kayak orang dungu yang gak tahu apa-apa. Kadang gue kayak tuna rungu, gak denger apapun di sekeliling gue. Dan yang lebih menyenangkan itu saat gue ngerasain kalau hati gue kayak cagar alam, hewan-hewan berlarian kesana kemari. Kalau orang lain bilang butterfly syndrome."
Fay takjub dengan apa yang dikatakan Alvin. Wajah sangarnya ternyata menyembunyikan sifatnya yang puitis selama ini.
"Vin, lo kenapa masuk IPS?"
Alvin awalnya terlihat tidak mengerti kenapa Fay tiba-tiba bertanya seperti itu, mengalihkan percakapan kah? Mengabaikan pikirannya iya pun menjawab. "Karena emang basic gue di IPS, kalau masuk IPA yang gak sesuai sama kemampuan gue kan daripada nanti ketinggalan mending masuk yang emang gue bisa. Kenapa harus maksain sama sesuatu yang emang gak sesuai sama kita cuma karena ngejar tren kalau anak IPA lebih pinter. Kenapa lo tiba-tiba nanya itu?"
"Enggak," Fay terkikik. "Lo cukup jago ngerangkai kata-kata yang puitis kayak tadi, lo yakin gak salah masuk IPS bukannya bahasa."
"Kalau gue puitis itu udah dari lahir. Kakek gue penyair, papa gue penulis lagu. DNA puitis mereka ngalir ke gue."
Fay mengangguk-angguk. "Pantesan."
"Gue juga rencana pengen punya perusahaan IT."
"Urusannya sama IPS?" tanya Fay bingung.
Tak terasa mereka sudah berada di parkiran motor. Tepatnya berada di samping CB milik Alvin. Cowok itu menyerahkan helm satunya yang selalu berada di bagian belakang motor pada Fay.
"Buat mulai usaha gue harus tahu dasarnya dulu, gimana cara manage perusahaan yang bener. Nanti gue kuliah rencana mau ngambil jurusan IT buat mantapin cita-cita gue. Intinya sebagai pimpinan perusahaan nanti gue gak boleh bego-bego amat gak ngerti management perusahaan."
Fay benar-benar takjub mendengarnya. Seorang Alvin yang ia lihat seperti seorang yang acuh dan tak pernah serius ternyata sudah merencanakan cita-citanya dengan matang.
"Naik."
Sibuk dengan lamunannya Fay sampai tidak sadar bahwa Alvin sudah mengeluarkan motornya dari parkiran dan menyalakannya. Menunggu Fay yang sedang melamun konyol untuk naik motornya.
***
"Na, dimana?" tanya Kara pada Hana melalui sambungan telepon.
"Depan, lagi nunggu bis."
Mendengarnya Kara langsung berlari. "Jangan dulu pulang, temenin gue tanding basket yah."
"Temenin apa?"
"Gue tanding basket. Nonton gue tanding." Kara berbelok lalu menuruni tangga.
"Bukannya Aruna..."
"Aruna udah pulang sama Kai. Mamanya masuk rumah sakit."
"Terus?"
Kara yang sudah sampai di depan gerbang memutar bola mata mendengar pertanyaan itu. Berlari menghampiri Hana yang sedang duduk di halte.
"Terus apanya, Na." Kara menatap jengkel Hana.
Hana mendongak. Matanya sempat mendongak melihat Kara ternyata sudah berada di sampingnya.
"Tonton pertandingan gue, Hana."
Hana mematikan panggilan telepon lebih dulu. "Kenapa gue harus?"
Kara berdecak lidah. "Karena lo sahabat gue. Dan gue minta sama lo. Sebagai sahabat lo gak boleh nolak."
"Datengnya darimana pasal kayak gituan?"
"Dari gue." Kara menarik tangan Hana membuat cewek itu berdiri. "Ayolah, setengah jam lagi pertandingannya dimulai."
"Emang dimana?"
"SMA Pusaka." Kara merogoh kunci mobil dari saku celananya. "Tunggu disini jangan kemana-mana, gue ambil mobil dulu." Pinta Kara mewanti-wanti, setelah itu dia berlari memasuki lingkungan sekolah.
Tak butuh waktu lama sebuah Honda Civic putih berhenti tepat di depan Hana. Tanpa menunggu di perintah Hana mendekati lalu memasuki mobil sahabatnya ini.
***
"Semoga aja lo bisa deket sama Hana. Lebih bagus lo bisa jadian sama dia." Fay menyerahkan helm yang sebelumnya dipakainya pada Alvin.
"Gue gak niat jadian sama Hana, gue cuma pengen deket sama dia."
"Lo cukup naif ternyata."
"Bagi gue cinta itu gak harus memiliki. Karena cinta itu bukan barang yang bisa kita miliki hanya karena kita ingin. Gue pengen hubungan gue sama dia mendekat perlahan-lahan, walaupun begitu nanti gue bakalan coba buat ngungkapin. Tapi,..." Alvin menjeda. "Urusan nanti gue punya hubungan lebih sama dia itu urusan nanti. Deket aja belum."
"Iya ya." Hana menggaruk pipi kanannya. "Tapi, kalau lo sampai bisa jadian sama Hana dan buat dia move on dari seseorang gue bakalan ada di barisan paling depan buat dukung hubungan kalian."
"Emang dia suka sama siapa?"
Dari nada suaranya sepertinya Alvin tidak tahu. Ah, ia lupa yang tahu kan hanya ia, Hana, dan Aruna.
Fay tadinya mau mengalihkan pembicaraan. Perkara Hana yang menyukai Kara tidak boleh ada orang lain yang tahu. Karena itu rahasia orang lain. Fay tidak berhak membeberkannya.
Beruntung disaat yang tepat mobil Abangnya berhenti tepat di samping mereka. Tak lama Bang Arbani keluar dari mobil.
"Bukan pacar lo lagi yang nganter pulang?" Bang Arbani menunjuk Alvin lalu beralih pada Fay. "Pacar lo pasti dia kan? Si Kai Kai yang lo bilang itu, lo pasti ngarang."
"Fay emang pacaran sama Kai. Saya temennya Kai, disuruh buat nganter Fay pulang." Alvin mengambil alih untuk menjawab.
"Kok lo mau sih di tukang ojekin sama temen lo." Bang Arbani beralih pada Alvin.
"Bang udah sih kenapa?"
"Eh... nak Alvin!!!" seru wanita paruh baya berdaster yang baru saja keluar dari dalam rumah. Menghampiri mereka bertiga.
"Fay kok pacarnya gak disuruh masuk." Mamanya beralih pada Alvin dan tersenyum manis.
"Pa...pacar?" Fay gelagapan. Menatap Bang Arbani meminta pertolongang untuk menjelaskan bahwa Alvin bukan pacarnya. Namun Abangnya yang durhaka terhadap adik itu hanya mengangkat bahu lalu melenggang memasuki rumah sambil bersenandung ringan.
"Ayo masuk." Mamanya menggiring Alvin masuk ke dalam rumah. "Kebetulan tante udah masak. Makan dulu sebelum pulang yah."
Melihat mamanya bersikap seperti itu membuat Fay tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mendesah keras. Hanya bisa berharap papanya belum pulang.
Akan tetapi, baru saja terpikirkan harapan itu. Ternyata papanya ada dirumah sedang menonton televisi dan langsung berdiri begitu melihat mamanya masuk bersama pemuda asing berseragam putih abu-abu.
"Siapa ma?" tanya papanya.
"Pacarnya Fay."
"Beneran pacarnya Fay?" Papanya berhambur mendekati Alvin.
"Bu...bukan om." Alvin kelabakan.
Fay hanya meringis saat Alvin menoleh padanya. Saat ini tidak ada gunanya menyangkal. Papanya lebih keras dan cenderung mempercayai semua yang dilihatnya. Mau seberapa keras pun Fay menjelaskan bahwa Alvin bukan pacarnya selama Fay belum membawa Kai dia tidak akan percaya.
"Jangan malu," papanya merangkul Alvin menuju samping rumah. "Fay emang kadang nyebelin tapi dia anak perempuan om yang paling baik."
"Emang anak perempuan om ada berapa?" tanya Alvin.
Papanya berhenti, hening. Pria paruh baya itu menatap Alvin. "Cuma Fay sih." lanjutnya kemudian tergelak.
***
Kara dan Hana yang baru saja memasuki lapangan basket mengedarkan pandangangannya mencari teman-temannya yang sudah lebih dulu datang.
"Woy!!" Saat seseorang berteriak sambil melambaikan tangannya dari salah satu sudut tribun Kara pun langsung mengenali bahwa mereka adalah teman-temannya.
"Maaf gue telat." ucap Kara sekedar basa-basi setelah ia sampai di depan teman-temannya.
"Gapapa," jawab Fabian sambil nyengir sampai menunjukan seluruh jajaran giginya. "Biasanya juga lo kan telat." ucapnya sarkas namun dibumbui dengan nada humor.
"Lo udah dateng." Seru Vero yang baru saja berganti pakaian. "Lo katanya mau ngajak Aruna."
Kara hanya nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Jadi pacar lo itu Aruna atau Hana sih?" tanya Vero.
"Aruna lah." Jawab Kara tegas.
"Hai, Na." sapa Vero sekedar basa-basi.
"Gue ganti dulu yah." Kara menatap Hana lalu mengedarkan tatapannya ke deret bangku penonton yang sudah dipenuhi oleh suporter SMA Pusaka. "Lo singkirin aja salah satu anak futsal ini biar lo bisa duduk."
"Lo ganti dimana tadi?" tanya Kara beralih pada Vero yang sedang memasukan seragam putih abunya ek dalam tas..
"Di toilet."
"Anter gue."
"Lo laki bukan sih." Vero bergidik. "Cowo kok minta dianter."
"Takut ada fans gue. Entar kalau gue ditahan di toilet gimana?"
Vero dan beberapa anak futsal lainnya tak terkecuali Fay menunjukan ekspresi seolah ingin muntah.
"Yaudah ke sebelah sini pangeran," Vero berlagak seperti seorang pelayan di drama-drama korea yang menunjukan jalan kepada tuannya.
Kara menepuk pundaknya. "Kerja yang bener."
"Emang yah, lo suka banget ngelunjak kalau dibaikin." teriak Vero jengkel. "Jadi males gue nganternya."
"Eh, jadi cowo jangan suka narik omongannya." Kara tersenyum manis sambil merangkul Vero untuk berjalan bersamanya.
"Itu Kara kan?" teriak salah satu supporter cewek SMA Pusaka yang berada di tribun bagian atas.
"Sumpah ganteng." Timpal siswi di sebelahnya.
"Mirip Nam Joo Hyuk." Siswi satunya lagi ikut menimpali.
Kara yang sadar namanya disebut menoleh dan dadah-dadah pada tiga cewek yang sedang membicarakannya. Mereka bertiga langsung berlagak seperti akan pingsan.
"Sumpah ya, Ka. Lo narsis abis." cibir Vero sambil geleng-geleng kepala.
Kara membusungkan dadanya. "Bukan gue kalau gak narsis."
"Tapi yah, Ka. Gue penasaran banget soal ini dari kemaren-kemaren." Vero menginterupsi.
"Tentang?" Kara menghentikan langkahnya. Sama halnya dengan Vero.
"Lo beneran kan pacaran sama Aruna. Lo gak ngarang cuma buat pamer kan? Gue sekelas sama Aruna dan dia gak pernah sekalipun kelihatan certain lo sama anak-anak."
"Lo bener-bener yah. Gak percaya banget."
"Soalnya lo jarang banget kelihatan bareng sama Aruna. Malah gue lihat Kai sama Aruna yang kayak pacaran."
"Mereka sepupuan. Kai juga udah punya pacar."
"Tapi yah, Ka. Kenapa sih lo harus cape-cape bertahan sama Aruna yang kayak gak anggap lo sama sekali sebagai pacarnya. Jangan marah." Vero tersenyum manis karena melihat Kara seperti akan meledak. "Gue ngomong ini karena gue sebagai cowok juga gak bakalan suka digituin."
"Aruna anggap gue pacarnya kok. Pacaran itu gak bisa dibuktiin dengan setiap hari kelihatan sama-sama. Gue sering jalan sama Aruna lo nya aja yang gak pernah lihat."
"Tapi yah, Ka. Kenapa sih lo gak pacarannya sama Hana aja. Kenapa gak jalin hubungan yang jelas sama orang yang selama ini ada kapanpun lo butuh, bahkan tanpa lo butuh pun dia ada dan selalu ada buat lo?"
"Banyak tapi yah lo." Kara merangkul Vero. "Udah yah bahas percintaan gue nya. Gue tahu, gue emang selebriti yang bentar lagi nyaingin Jefri Nichol, hubungan percintaan gue pasti menarik banget buat dijadiin bahan gosip. Tapi, sekarang kita mau tanding. Bentar lagi mulai."
***
Gimana nih sama part ini? Suka?
Kalau ada kritik atau saran buat cerita ini kasih tahu aja yaa, aku terbuka untuk dua hal itu
031218
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top