DUA PULUH LIMA - "Harus Yakin"
Halloo
Apa kabar hati sepi yang terus berusaha untuk tak sendiri?
Lelah gaess
Selamat membaca
Jangan lupa untuk tinggalkan vote sama komentarnya yaa
***
Di pintu kelas Fay yang berjalan sendirian bertemu dengan Kai yang mengantar Aruna sampai depan kelas. Perhatian Fay tertuju pada lengan Aruna yang bergelayut manja pada Kai. Fay menghela napas. Mencoba mengabaikanya, mencamkan apa yang Alvin katakan bahwa Kai mencintainya. Toh, Aruna menggandeng Kai sudah biasa kan?
"Udah baikan?" tanya Kai.
Fay mengangguk. "Sekarang udah bisa ngomong." Jawab Fay dengan suara pelan.
Kai melepaskan tangan Aruna dari lengannya, menghampiri Fay dan mendudukannya pada kursi panjang di depan kelas. Fay sempat melihat Aruna menatapnya marah sebelum masuk ke dalam kelas.
Kalau hubungan kakak adik ada yang disebut sister complex, kalau hubungan Kai dan Aruna yang sepupuan disebutnya apa?
Kai duduk di sebelahnya. Menatap wajah Fay dengan cemas, menilik-nilik bibirnya untuk melihat lukanya. Namun bukan perempuan namanya kalau tidak deg-degan diperhatikan seintens ini. Fay mencoba mengalihkan matanya ke sembarang arah. Menatap wajah Kai malah membuatnya berkali-kali salah fokus malah melihat bibirnya.
Fay rasa ia sudah gila.
"Obatnya diminum kan?" tanya Kai.
Fay yang kedapatan sedang melihat ke arah lain mengerjap.
"Kamu lihatin siapa sih?" Kai mengedarkan pandangannya.
"Gak ada." Fay memaksakan sudut bibirnya tertarik.
"Tadi pagi obatnya diminum?" ulang Kai.
Fay mengangguk.
"Masih sakit banget kayak kemaren gak?"
Fay menggeleng. "Sekarang udah baikan. Makanya udah bisa ngomong."
Jarak wajah Kai sangat dekat. Napas Fay bahkan tercekat karena tak kuasa menahan debaran jantungnya. Lama-lama ia bisa mati serangan jantung terus seperti ini.
Beruntung sekali karena Tina datang dan berdehem. Kai menjauhkan wajahnya dan bertatapan dengan Tina yang sedang menatap mereka berdua dengan tatapan jahil.
"Cari tempat sepi sana." Godanya. "Itu bibir, kenapa? Mainnya terlalu ekstrim ya makanya sampai luka gitu." Tina terkikik lalu masuk kelas.
Fay berlari mengejar Tina berniat untuk meluruskan pikiran kotornya. Ia tahu persis apa yang Tina pikirkan saat melihat lukanya. Sialan memang.
***
Kara menyandarkan kepalanya pada bahu Hana yang sedang asyik membaca buku. Sesaat Hana menatap wajah Kara di bahunya, beberapa detik, sudut bibirnya terangkat. Hanya sedikit, sangat sedikit membuat orang tidak akan mengira bahwa itu adalah sebuah senyuman.
Jantungnya berdebar tak karuan. Kara tidak pernah sadar bahwa hal-hal yang ia anggap sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang kecil, tak berarti, bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Bukan salahnya sebagai perempuan yang gampang baper, gampang tersentuh hal-hal kecil. Salah Kara juga yang tidak pernah sadar bahwa perlakukannya bisa membuat perempuan manapun berdebar.
"Na." ujar Kara terdengar antusias, beranjak bangkit, duduk tegak seperti semula.
Begitu juga dengan Hana, yang langsung bersikap seolah sebelumnya tidak menatap wajah Kara di bahunya.
"Hm." Hana menyahutnya dengan nada cuek seperti biasa.
Jika ada yang bertanya apakah ada orang lain yang bisa menyimpan perasaan dengan sangat rapi seperti Hana? Ia ragu ada yang bisa melakukan hal serupa. Karena dalam waktu satu detik ia sudah bisa mengkondisikan wajahnya yang merona dan terpesona kembali seperti wajahnya yang biasa. Cuek, dingin, irit ekspresi, dan seolah tak peduli.
"Kalau nanti sore pulang sekolah gue jenguk mamanya Aruna gimana?"
Hana sudah mengira apa yang membuat suara Kara seantusias itu. Selalu saja berkaitan dengan Aruna, kekasihnya. Hana menghela napas, dadanya sesak. Namun Kara yang melihatnya mengira bahwa Hana malas membahas hal tersebut.
"Kok lo gitu sih?"
"Gitu gimana?"
"Lo menghela napas, kayak males banget ngomong."
"Enggak Kara." Balas Hana dengan sedikit penekanan supaya Kara yakin. Karena memang bukan malas, ia cemburu.
Wajah sedikit cemberut Kara kembali sumringah seperti sedia kala. "Gimana menurut lo tentang yang tadi? Gue jenguk sekalian ngenalin diri sebagai pacar Aruna."
"Bagus sih."
Kara cemberut. "Lo mah gak pernah asik kalau diajak ngomong. Gak pernah ngasih respon yang gue harapkan."
"Terus gue harus gimana? Emang gue kayak gini."
"Seenggaknya lo juga harus kelihatan seneng juga." Protesnya.
Tidak ada orang seribet Kara, yang bahkan memprotes pada hal-hal kecil.
"Tapi, apa Aruna ngizinin? Bukannya lo bilang udah dua hari ini dia gak bales chat dari lo?" bukan Hana yang bisa langsung membelokan topik pembicaraan.
Mana bisa Hana senang disaat dirinya saja merasa cemburu. Normal bagi seorang perempuan cemburu saat laki-laki yang disukainya membicarakan perempuan lain. Dan perempuan menunjukannya dengan cara yang berbeda-beda. Dan untuk Hana, ia menunjukannya dengan cara terlihat seolah malas berbicara.
Apa ada yang tahu bahwa Hana cemburu? Tidak ada yang tahu sepertinya. Bahkan Kara yang sangat dekat dengannya pun tidak tahu hal tersebut.
Kara terdiam mendengar apa yang ia katakan. Tapi sekali lagi bukan Kara yang ambil pusing dengan hal tersebut.
"Mau ngizinin atau enggak, niat gue kan buat jenguk orang sakit. Itu pahalanya besar banget kan?"
Sebelah sudut bibir Hana terangkat. "Bisa aja lo." Katanya sambil menangkup wajah Kara sehingga bibirnya monyong.
"Suka banget bikin mulut gue monyong gini ya?" Tanya Kara sarkas, pengucapannya terdengar sedikit tak jelas.
"Lucu."
***
Perut Fay sudah berdemo di dalam sana. Ia lapar tapi tidak bisa ke kantin. Mau makan apa sementara karena bibirnya yang sakit dan dokter mengharuskannya makan-makanan yang lunak satu har ini. Di kantin memang ada bubur ayam, tapi biasanya sudah habis sebelum jam istirahat.
Fay baru saja mengirimkan pesan pada abangnya menyuruhnya mengirimkan bubur untuk makan siang. Walaupun lama Fay akan menunggu.
Baru saja Fay hendak menenggelamkan kepalanya pada tumpukan tangannya, berniat tidur sambil menunggu abangnya datang, seseorang sudah lebih dulu meletakan mangkuk berisi bubur yang menguarkan aroma lezat dengan tumpukan kerupuk orange di atasnya.
Fay pikir orang itu adalah Kai. Ternyata...
"Aruna." Fay mengerjap tidak percaya dengan penglihatannya. Aruna berdiri di samping mejanya dengan tangan terlipat di depan dada, terlihat angkuh, matanya tampak enggan sekali bertatapan dengannya.
"Itu bubur." Ujar Aruna ketus.
Fay masih diam. Ada angin apa Aruna tiba-tiba berbuat baik padanya. Mengabaikan rasa herannya, ia mengambil beberapa kerupuk yang menumpuk yang tak terkena basahan bubur dan meletakannya di atas meja.
"Supaya Kai gak punya alasan buat dateng ke sini." Imbuh Aruna kemudian melenggang pergi begitu saja.
Fay yang baru saja hendak menyuapkan sesendok kecil bubur ke dalam mulutnya terhenti. Menatap punggung Aruna yang menjauh lalu keluar dari kelas. Aruna terlihat melintasi jendela, sudah jelas kemana tujuan gadis itu, kelas Kai, kemana lagi.
Sudahlah. Fay berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Selama hati Kai untuknya apa yang perlu dikhawatirkan?
Namun sebanyak apapun, sesering apapun Fay meyakinkan dirinya. Rasa khawatir itu selalu saja ada. Lebih besar mengalahkan rasa sayangnya untuk Kai.
Fay takut kehilangan Kai.
Tiba-tiba saja seseorang meletakan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya dan diberi sedotan di samping mangkuk buburnya.
Bukan Aruna, melainkan Vero. Yang melenggang melewati mejanya begitu saja seolah bukan dia yang meletakannya.
Dan Vero... Kenapa cowok itu juga harus membuat apa yang ada di dalam kepalanya semakin semrawut.
Beberapa menit kemudian setelah Fay menghabiskan buburnya Kai masuk ke kelasnya, membawa termos kecil yang sangat ia kenali.
"Abang kamu barusan nitipin..." ucapan Kai terhenti saat melihat mangkuk kosong di hadapan Fay.
"Udah makan?" tanyanya sambil mengambil alih kursi kosong di samping Fay.
Fay mengangguk. "Abang telat sih, aku udah kelaperan."
"Beli dimana? Tadi aku ke kantin, bubur udah habis dari tadi pagi."
"Gak tahu Aruna."
"Aruna?" kening Kai berkerut heran.
"Dia tadi tiba-tiba aja ngasih ini."
Keheranan di wajah Kai masih terlihat. Dia pasti sama herannya dengan Fay tadi saat Aruna tiba-tiba memberikan semangkuk bubur padanya. Kalau Fay memberitahukan alasan Aruna memberikannya, apa ekspresi Kai masih seperti ini juga jika tahu?
"Yaudah sini, aku bisa makan lagi kok." Fay mengambil termos tersebut, membuka tutupnya. Menuangkan bubur dari termos pada tutupnya yang cukup besar.
"Makan berdua aja." Kai mengambil sendok bekas dari mangkuk bubur yang sudah Fay habiskan. Menjilatnya tanpa jijik sama sekali.
Fay terpana melihatnya. Biasanya orang akan mencucinya dulu atau mencari yang baru. Tapi Kai...
"Kenapa?" Tanya Kai menyadarkan Fay dari keterpanaannya.
Fay menggeleng cepat. Senyumnya mengembang. Menyendok bubur tersebut dan memakannya. "Asin." Komentar Fay.
"Masa?" Kai menyendok bubur dan memakannya. Ia tertawa setelah merasakan rasanya.
"Ini pasti si abang yang buat sendiri." Kekeh Fay sambil membayangkan Arbani sendiri yang memasak bubur ini untuknya.
Harus Fay akui, abangnya kadang memang menyebalkan, atau mungkin lebih banyak menyebalkannya dari menyenangkannya. Tapi, ia menjadi terharu saat memakan bubur ini. Ia pikir saat tadi ia meminta abangnya mengirim bubur, Arbani akan membelinya bukan membuatnya sendiri.
Walaupun asin, Fay dan Kai tetap memakannya. Selain karena tidak mau memubadzirkan makanan, juga karena menghargai Arbani yang sudah susah payah memasaknya.
"Mmm mesra banget yang makan semangkuk berdua." Tina datang, langsung menggoda.
"Mau?" bukannya menanggapi godaan Tina, Kai malah menawarkan bubur pada Tina.
Tina menggeleng. "Gak ah, baru makan mie ayam gue." Jawabnya sambil duduk di kursi depan.
"Yaudah." Balas Kai cuek.
"Bener yah, tadi pagi gue ngira bibir Fay luka karena ciuman sama lo." Ucap Tina.
Fay dan Kai tersedak secara bersamaan.
"Ngaco." Fay memukul pelan tangan Tina. "Gue kejedot kepala si Alvin."
Tina tertawa keras. "Habisnya..."
"Kalian pernah ciuman gak sih?" Tanya Tina tiba-tiba antusias. Menatap sepasang kekasih itu secara bergantian.
Fay lagi-lagi tersedak. Kai menggeser air minum kepadanya.
"Belum." Jawab Kai cuek tanpa mengalihkan tatapannya dari makanan.
"Belum berarti akan!" seru Tina lebih antusias lagi diakhiri tawa menggelegar.
Fay menatap Kai yang juga sedang menatapnya. "Mau?" tanyanya.
Fay berdebar. Wajahnya tiba-tiba memerah. Mau apa maksudnya? Ciuman?
"Aku suapin." Imbuh Kai.
Fay seketika tertawa kecil. Merasa bodoh sendiri sudah mengira yang tidak-tidak. Ia lalu mengangguk pelan dan Kai menyuapinya.
***
Hayooo Fay mulai berpikiran kotor tuh
020419
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top