DUA PULUH DELAPAN - "Laki-Laki dan Kesempatan"

Hari Kamis, aku lelah banget guys

Lelah yang gak tahu penyebabnya. Dunia emang melelahkan


Selamat membaca!!

Jangan lupa vote sama komentarnya, bantu share juga ya kalau kalian suka sama cerita ini biar tambah rame


***

Kecewa, tidak berguna, gagal, itu yang Kara rasakan saat ini. Hana tidak memberitahunya tentang perceraian orang tuanya pada dirinya. Hana anggap apa Kara selama ini. Apa arti Kara untuk Hana selama ini kalau menceritakan tentang hal tersebut saja tidak bisa.

Mungkin selama ini hanya Kara sendiri yang menganggap persahabatan mereka istimewa. Menganggap bahwa Hana akan terbuka padanya. Ternyata tidak.

Kalau di pikir-pikir Hana bahkan jarang mengatakan isi hatinya, berbeda dengan dirinya yang setiap hari selalu menceritakan tentang apa yang dirasakannya.

Saat Hana berada di titik tergelap di hidupnya, saat Hana mengalami tragedi yang mana bagai kiamat bagi setiap anak, Kara justru tidak ada untuknya. Bahkan tidak tahu sama sekali. Dan mungkin saat kejadian tersebut menimpa Hana, ia malah asyik menceritakan tentang keluarganya, tentanga dirinya, membanggakan apa yang dimilikinya. Tanpa tahu bahwa apa yang dikatakannya mungkin saja membuat Hana semakin terluka.

Kenapa Hana harus seperti ini padanya?

Kara merasa gagal sebagai seorang sahabat. Sehingga untuk menatap Hana lama-lama sekarang rasanya sulit.

"Kara!" seru panik Aruna yang baru masuk ke kamar dimana mamanya di rawat.

Kebanyakan melamun Kara sampai tidak sadar bahwa air putih yang dituangkannya sudah penuh. Tumpah membasahi sebagian besar meja.

Aruna berlari menghampiri Kara, mengambil lap dan melap bagian meja yang basah. Sementara Kara diam berdiri, lagi-lagi melamun sambil memegang segelas air putih.

"Ada apa?" Fanya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara ribut.

"Gak ada ma." Jawab Aruna tepat saat dirinya sudah selesai mengelap meja.

Fanya tidak memperpanjang, kembali memejamkan matanya.

"Kenapa sih?"

Tidak menjawab, Kara meletakan segelas air putih di atas meja kemudian melenggang keluar dengan tatapan mata yang tak berubah. Kosong.

Aruna mengikutinya dari belakang. Kara membuka pintu yang mengarah ke tangga darurat dan duduk di anak tangga teratasnya. Aruna duduk di sampingnya.

"Mau putus gak sama gue?" tanya Aruna.

Pertanyaan darinya itu membuat Kara seketika menatapnya dengan ekspresi terkejut yang terlihat samar.

Kenapa samar? Karena emosi lain yang dirasakannya lebih besar.

Sudut bibir Aruna terangkat. "Bahkan kata putus aja gak buat lo kaget banget." Ucapnya sambil tertawa kecil. "Karena Hana lagi?"

Kara menunduk. Bibirnya tersenyum miris. "Selama ini gue dianggap apa sama Hana. Gue gak tahu dia anggap gue apa selama ini. Kita udah sahabatan dari SMP. Gue pikir dengan bersahabat dia mau terbuka, gue gak ngambil pusing waktu dia nolak gue dengan bilang gak mau hubungan lebih sahabat karena itu pasti gak nyaman buat dia. Oke, gue gak masalah. Toh, sebagai sahabat gue bisa lebih deket sama dia daripada sebagai pacar."

Kara menatap Aruna, meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Gue ngerasa egois tahu gak?"

Aruna hanya mengangkat sebeah alis, sebagai pertanda bahwa Kara bisa melanjutkan apa yang ingin ia katakan.

"Gue selalu ceritakan apapun sama dia, tentang gimana harmonisnya keluarga gue sama orang yang keluarganya berantakan. Gue selalu cerita tentang diri gue sendiri, kebanggaan gue, prestasi gue, apapun gue ceritakan bahkan pada hal kecil semisal pas berangkat sekolah di lampu merah ada ibu-ibu pake bayung pelangi padahal gak hujan. Dia cuma selalu ketawa, senyum, dan teriak kalau gue cerita. Dan setelah gue pikir-pikir selama ini Cuma gue yang selalu cerita, dia gak pernah sama sekali. Gue egois kan?"

Aruna meletakan tangannya pada pundak Kara. Pertama pada pundak kemudian bergerak memeluk leher Kara.

"Ini juga pasti berat buat Hana." Bisik Aruna. "Jangan nambahin beban dia dengan lo gak peduliin dia kayak gini."

Kara membalas pelukan Aruna.

***

Alvin melangkah mendekat perlahan. Di tangannya ada sebotol air mineral dan sebungkus nasi kuning yang barusan di belinya dari kantin. Hana sedang duduk sendirian di taman belakang sekolah. Beberapa orang tampak berkeliaran di sekitarnya. Namun menganggap Hana seolah tidak ada.

Hana mendongak begitu menyadari sepasang sepatu Alvin menyentuh ujung sepatunya.

Alvin tersenyum canggung.

"Nama lo Alvin kan?" tanya Hana lupa-lupa ingat.

Alvin tersenyum lebih lebar. "Seneng lo bisa inget nama gue." Ujar Alvin kemudian duduk di samping Hana.

Alvin menyadari kehadirannya di kehidupan Hana mungkin hanya setitik debu diantara yang lainnya. Dari yang ia tahu dari Kai, bahwa Hana tidak pernah repot-repot berurusan dengan banyak orang kecuali Kara. Dan Alvin merasa bangga sekali Hana mengingat dirinya yang hanya butiran debu ini.

"Kenapa?" tanya Hana dingin. Tanpa basa-basi menyuruh Alvin segera kepada inti kenapa ia menghampiri Hana.

Alvin sebenarnya tidak ada maksud apapun. Ia hanya khawatir. Melihat Hana yang selama tiga hari ini selalu sendiri, kemana-mana sendiri tanpa Kara membuat hatinya tergerak.

Jangan tanya Alvin tahu dari mana. Karena jawabannya jelas Kai. Sahabat sekaligus mata-mata yang dia simpan di kelas yang Hana tempati.

"Belum makan kan?" Alvin menyodorkan bungkusan nasi kuning dan air mineral di tangannya pada Hana.

Hana mengalihkan sejenak pandangannya dari buku yang sedang dibacanya. Sebelah alisnya naik. Detik berikutnya menghela napas lalu kembali terpusat pada buku di tangannya.

"Gue gak laper."

Alvin menghela napas gusar. Seperti yang Kai bilang, Hana memang menyebalkan. Tidak mau dibantu orang lain, tidak ingin dipedulikan orang lain. Selalu sendiri seolah kuat padahal sering menjadi sasaran bully teman sekelasnya. Seperti saat ia pertama kali bertemu dengan Hana, dimana waktu itu Hana sedang mencari sepatunya yang disembunyikan di sekitar taman ini oleh teman sekelasnya.

Alvin merebut buku di tangan Hana, menutup dan meletakannya di sisi kiri tubuhnya supaya Hana tidak bisa mengambilnya. Mengganti apa yang ada di tangan Hana dengan bungkusan nasi kuning yang dibelinya.

Sejenak Hana terlihat protes atas tindakannya. Namun berubah setelah Alvin mengatakan, "Makan, lo bisa sakit kalau terus nunda makan."

"Beneran gue gak laper."

Alvin mengambil bungkusan itu, membuka karet yang mengikatnya. Kemudian mengembalikannya ke pangkuan Hana. "Paksain." Kekeuhnya. "Istirahat pertama lo gak ke kantin dan istirahat kedua lo duduk di sini."

"Darimana lo tahu?"

"Gue punya banyak mata dan telinga di sekitar lo."

Hana terdiam sejenak. Seolah sedang memikirkan apa yang Alvin katakan padanya.

"Lo mata-matain gue?" tanya Hana sedetik setelah wajahnya kembali terlihat normal.

"Bisa dibilang seperti itu." Jawab Alvin tidak mengelak sama sekali.

"Kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa."

Hana tidak lanjut bertanya. Entah karena dia sudah menduga jawabannya kenapa Alvin melakukan hal itu padanya atau karena memang tidak mau memperpanjang karena mengira tidak perlu. Alvin tidak tahu kenapa. Akan tetapi ia senang melihat Hana yang mulai menyuapkan sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya.

"Makasih." Ucap singkat Hana.

"Habisin."

Hana mengangguk.

"Masih marahan sama Kara?"

"Tahu dari mana?"

"Kan gue udah bilang, gue punya banyak mata sama telinga di sekitar lo. Jadi apapun gue bisa tahu."

Hana menghela napas.

"Masih marahan sama dia?"

"Masih."

"Gak nyoba ngajak dia ngobrol atau apa gitu?"

"Percuma, dia menghindar terus."

"Masalah gak bakalan selesai kalau gak ada komunikasi. Kalau dibiarkan terus menerus, nanti mengendap terus jadi kerak, abadi di bawah sana."

"Sok bijak lo." Dengus Hana. Baru kali ini Alvin melihat lengkungan lebar di wajah Hana.

"Cantik." Gumam Alvin.

Namun ternyata masih bisa Hana dengar. "Apa?"

Alvin buru-buru menggeleng. "Eng...enggak."

"Tapi beneran, lo harus ngomong sama Kara soal masalah itu. Gue bisa ngerti kenapa lo gak cerita tentang perpisahan orang tua lo. Itu pasti berat, lebih berat dari rindunya Dilan." Wejangan Alvin selalu saja diakhiri dengan kebanyolan. Lagi-lagi Hana tersenyum.

"Sebenernya gue pernah sempet mau cerita sama Kara, tapi itu bertepatan dengan Ayah ngenalin keluarga barunya sama gue. Lo tahu lah kenapa."

"Lo ngerasa hancur untuk yang kedua kalinya. Lalu lo memutuskan untuk gak cerita karena lo rasa itu makin berat kalau lo ceritakan?"

Hana mengangguk. "Hancur untuk yang kedua kalinya serasa kiamat."

"Tapi, gue bakalan coba ngobrol sama Kara." Sambung Hana."Seperti yang lo bilang, kemarahan jangan terus dibiarkan nanti mengendap jadi kerak di bawah sana."

Alvin tersenyum. Begitu juga dengan Hana. Tatapan mata mereka bertemu. Alvin terpaku pada wajah yang saat ini tersenyum padanya.

***


Sampai jumpat hari Sabtu dengan bab baru Unfairness

Jangan lupa besok aku update bab baru dari Craziest Sweet Couple, stay tune yaa


Follow

Ig: iistazkiati

Fb: Iis Tazkiati N

Wa: 085314206455


Terimakasih sudah membaca


110419

Iis Tazkiati Nupus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top