DELAPAN - Superhero


"Gapapa nangis. Seorang superhero pun perlu nangis kalau dibutuhkan, jika itu yang buat dia kuat, right?"

***

Fay tidak suka menjadi pusat perhatian. Sangat, sangat tidak suka. Benar memang berita memang virus mematikan yang bisa menyebar dalam sekejap. Seketika saja nama Fay yang sebelumnya tidak terlalu dikenal mendadak tenar. Gadis yang sehari-hari tidak terlalu akrab dengan banyak orang bahkan mungkin tidak dikenal banyak orang mendadak disapa orang tak dikenal. Apalagi setelah ia muncul di televisi sebagai saksi pembunuhan tersebut. Namanya menjadi lebih sering disebut-sebut. Bahkan guru-guru yang sebelumnya tidak terlalu memperhatikan keberadaannya di kelas pun mendadak mengenalnya dan bersikap sok ramah.

Bahkan hubungannya dengan Kai yang sebelumnya hanya diketahui beberapa orang mendadak menjadi trending topic SMA Bintang. Namanya meroket seketika itu juga. Lebih-lebih Kai yang memang sebelumnya pun merupakan salah satu cowo populer.

Mendadak juga banyak yang memposting fotonya dan Kai di media sosial. Forum SMA Bintang yang dikelola ekskul jurnalis sekolah pun tiba-tiba saja di penuhi dengan artikelnya dan Kai yang berhasil menangkap pembunuh itu. Tetapi, dimana-mana semua orang sama saja. Dibandingkan dengan artikel tentang aksi heroiknya bersama Kai, masyarakat SMA Bintang lebih tertarik dengan artikel tentang hubungan Fay dan Kai.

"Hallo nyonya selebriti." ucap Vero sarkas sambil duduk di atas mejanya.

Hari masih pagi.

Fay mendongak. Menatap sebal Vero yang duduk di mejanya sambil menatapnya dengan tatapan yang membuat orang yang melihatnya ingin menampol wajah cowo itu.

"Pacar Superman lo mana?"

Mengabaikan pertanyaan bodoh Vero, ia menjejalkan headset ke telinganya. Bersikap seolah sedang mendengarkan musik, padahal tidak.

Ia harap Vero jengah dan pergi. Ia tidak ingin paginya berantakkan hanya karena Vero yang sudah mengganggunya pagi-pagi seperti ini.

Cowo itu sempat terlihat kesal saat Fay mengabaikannya. Turun dari meja dan berjalan menuju mejanya. Ternyata ia salah. Vero berjalan ke sampingnya dan mendekatkan telinganya pada telinga Fay. Penasaran dengan apa yang sedang Fay dengar.

"Kok gue gak denger musik apapun?"

Fay melompat ke bangku di sebelahnya. Apa yang Vero lakukan barusan sungguh konyol dan mengejutkan.

Sambil menatap Vero dengan tatapan kesal ia memegangi dadanya yang berdebar tidak beraturan. Orang sinting ini ternyata ingin membuat Fay mati muda karena jantungan.

"Mau lo apaan sih!" Fay meledak seketika itu juga.

"Waw waw waw... jangan marah-marah. Ini masih pagi, sebagai siswa yang mendadak jadi selebriti sekolahan lo harus tetep sehat."

"Upil lo kali selebriti."

Vero malah tertawa renyah melihat reaksi Fay padanya. Pria itu kembali duduk di meja Fay, mengeluarkan gunting kuku dari saku seragamnya lalu memotong kukunya dihadapan Fay. Jorok sekali.

"Mau lo apaan sih!" suara Fay meninggi. Menatap Vero yang tampak terkejut dengan suaranya namun tak sampai tiga detik pria itu kembali fokus pada aktivitasnya.

Fay menggigit bibir bawahnya lalu menghembuskan napasnya keras-keras berusaha meredam emosinya. Orang gila seperti Vero memang menguras banyak sekali kesabaran. Spesies seperti Vero yang memiliki otak di setara homo sapiens seharusnya di ajak bicara secara halus biar mengerti.

Setelah dirasa cukup meredam emosinya, Fay pun berkata dengan intonasi yang lebih pelan. "Tuan Jevero Ardano yang mukanya pas-pasan tapi songongnya setengah mampus, boleh saya menanyakan sesuatu?"

"Tentu." jawabnya cepat menatap sekilas Fay lalu kembali fokus pada kukunya. "Apapun yang selebriti tanyakan akan gue jawab."

"Kenapa Tuan Vero sangat suka sekali mengganggu ketenangan siswa yang mendadak jadi selebriti seperti saya? Apakah saya pernah melakukan hal yang sama pada Tuan?"

Vero mencebik, kedua bola matanya berpendar ke kiri dan ke kanan seperti sedang mengingat-ngingat sesuatu.

"Kenapa ya mmm..." Vero nyengir. "Gue gak tahu."

"Jak, menurut lo kenapa gue suka banget ganggu Fay?"

Vero melempar tasnya pada Jaka yang duduk dua bangku di belakang Fay. Jaka yang sedang bermain game online kaget saat tiba-tiba saja tas Vero menghantam kepalanya. Saking kagetnya ponselnya sampai jatuh.

"Sialan lo!" Jaka melempar kembali tas yang seperti tak berisi apapun itu kepada pemiliknya. "Gue jadi mampus tau."

"Makanya kalau gue nanya di jawab."

"Au ah."

"Kenapa yah?" jawab Vero acuh tak acuh. Meniupi kukunya yang baru saja ia potong itu. "Lo punya salah sama gue. Banyak. Gangguin lo itu buat gue merasakan sensasi yang berbeda. Bikin gue semangat banget."

"Setan!" desis Fay.

"Eh, eh mulutnya tuh." Vero memperingatkan dengan gaya menyebalkan. "Jadi cewek itu harusnya lemah lembut tuh kaya Lara."

Lara yang sejak tadi diam di bangkunya sambil bermain ponsel menoleh.

"Apa gue harus mati dulu biar lo berhenti gangguin gue?" tanya Fay lemah. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menghadapi pria aneh seperti Vero.

"Bisa jadi."

Fay tersenyum miring. Dengan gerakan cepat ia merebut gunting kuku di tangan Vero dan mengarahkannya ke lehernya. "Lihat! Sekarang gue bakalan mati di depan lo."

"Wahhh...lo gak serius 'kan?" Vero berdiri dan berusaha meraih gunting kuku di tangan Fay.

"Gue serius. Serius banget." Teriaknya sambil meringsut menjauh dari jangkauan Vero.

Ia sebelumnya kaget dengan apa yang ia lakukan tetapi karena ia sudah tanggung menakut-nakuti Vero ia pun melanjutkannya. Ternyata menyenangkan juga melihat Vero terlihat ketakutan seperti itu.

"Gue bakalan mati disini sekarang juga dan semua orang bakalan tahu gimana menderitanya gue karena elo." Teriaknya sambil berusaha menjauh dari Vero.

Tak lama terdengat teriakan melengking dari pintu kelas. Vita yang baru akan masuk langsung mundur lagi melihat apa yang sedang aku lakukan. Tas totebagnya langsung terjatuh. Fay dan Vero sempat terdiam beberapa detik menatap Vita sebelum gadis itu berlari ketakutan.

"Fay Fay Fay jangan gila."

"Kenapa? Lo takut jadi tersangka?"

"Fay jangan bercanda. Gue beneran takut Fay."

"Janji dulu kalau lo gak bakalan gangguin gue lagi." Fay berlari menjauh dari Vero.

"Fay Fay bahaya." teriak Vero sambil mengejar Fay.

"Janji dulu kalau lo gak bakalan gangguin gue." Fay menghentikan langkahnya di sudut paling belakang di kelas.

Vero secara naluriah melangkah perlahan mendekati Fay. "Iya gue janji."

"Bilang sekali lagi!" tuntut Fay. Ia masih belum puas jika belum mendengar pria menyebalkan seperti Vero berjanji tidak lebih dari dua kali.

"Gue janji Fay!"

"Sekali lagi!" Fay mundur lagi sampai akhirnya ia terpojok pada dinding di belakangnya.

Vero berhasil mendekatinya. Masih terlihat berhati-hati dan penuh antisipasi. Melangkah perlahan. Ia masih berusaha melarikan diri. "Bilang sekali lagi bego!"

"Iya gue janji gak bakalan gangguin lo Fayina."

Mendengar janji Vero barusan Fay pun tersenyum puas. Ia menurunkan gunting kuku itu dari lehernya. Lalu menghembuskan napasnya. "Inget lo udah janji gak bakalan gangguin gue lagi." ia mengingatkan sambil menyerahkan gunting kuku itu ke tangan Vero.

Saat ia hendak melewati Vero, pria itu lebih dulu menarik tangan Fay dan memojokkannya ke dinding. Lengkap juga dengan mengunci dengan kedua tangannya membuat Fay tidak bisa bergerak kemana-mana.

Ia dibuat heran lagi dengan sikap Vero. "Lo udah janji kan?"

"Tapi gue janjinya barusan bukan sekarang. Waktu udah berjalan dan janji itu udah menguap."

"Bangsat!" Fay menendang tulang kering Vero keras-keras lalu meninggalkan Vero. Tak peduli dengan Vero yang sedang mengaduh kesakitan dan memaki-makinya dari dalam kelas.

***

"Lo kenapa?" tanya Kara saat melihat mata Hana yang tampak bengkak pagi ini.

Hana berusaha untuk menutupi matanya dengan sebelah tangannya. "Gapapa. Mungkin semut." kilahnya.

Kara yang tidak percaya dengan apa yang Hana katakan menyingkirkan tangan Hana dan menelitinya lebih dekat. Jarah wajah Kara saat ini hanya berjarak beberapa centi saja dari wajahnya. Jantungnya pun berdebar secara brutal membuat seluruh tubuhnya serasa mati rasa dalam sekejap. Mendadak ribuan kupu-kupu berterbangan diperutnya lalu naik ke dadanya membuat debaran jantungnya semakin membabi buta.

Hana yang khawatir debaran jantungnya di dengar oleh Kara sedikit menjaga jarak.

"Lo nangis 'kan semalem?" tebak Kara.

Tebakannya 100 persen benar. Akan tetapi ia tidak mau terlihat sangat lemah di mata Kara.

"Enggak." ia selalu berbohong untuk menutupi kelemahannya dihadapan Kara.

"Kenapa lo gak jujur aja sih kalau lo ada masalah. Kita ini sahabatan, Na."

Tidak, Hana merasa belum saatnya menceritakan masalah yang menimpanya beberapa bulan ini. Ia tidak bisa menceritakan tentang kehancuran keluarganya kepada Kara yang ia tahu mempunyai keluarga yang bahagia. Dengan mama dan papa yang selalu memperhatikannya setiap saat. Ia juga terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa ia menangis.

Karena Kara mungkin tidak akan mengerti bagaimana hancurnnya dirinya. Sejatinya penderitaan itu hanya akan bisa dimengerti oleh orang yang sama-sama menderita.

"Siapa?" tanya Kara tiba-tiba membuat Hana membelalakkan matanya.

"Cowo mana yang buat lo patah hati?" tanya Kara dengan cengiran khasnya.

"Bukan urusan lo." Hana mempercepat langkahnya. Tidak mau Kara lebih-lebih memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh seputar percintaan yang sama sekali bukan permasalahannya.

Selalu. Kara menjadi orang paling idiot yang selalu salah menebak sesuatu.

"Sejak kapan urusan lo bukan urusan gue?" Kara mengejarnya dan berhasil menyenyajarkan langkahnya.

"Sejak sekarang." tegas Hana lalu mempercepat langkahnya lagi berharap Kara mengerti dan tidak berusaha mengganggunya.

Namun rupanya pria itu belum menyerah mengikutinya bahkan menyenyajarkan langkahnya lagi.

"Lo bisa biarin gue sendiri dulu 'kan?"

Pria di hadapannya ini tampak terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan. Ini bukan Kara, bukan Kara lagi. Tapi pria yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya di belakang sekolah. Hana mengernyitkan keningnya berusaha mengingat nama pria dihadapannya.

Hana menoleh kearah belakang pria itu. Tidak ada Kara. Entah pada detik ke berapa pria itu tidak ada sampai-sampai Hana tidak menyadari posisinya sudah diganti orang lain. Pria ini.

"Alvin. Inget?" ucap Alvin seolah mengerti apa yang Hana pikirkan.

Hana mengangguk-angguk. Tatapannya ia arahkan ke sekeliling mencari keberadaan Kara. Sampai kemudian ia menemukan pria itu sedang berjalan di belakang Aruna yang berjalan dengan headset berjejal di telinganya.

"Lo nangis?" tanya Alvin.

Hana mendesah keras. "Harus berapa kali sih gue bilang sama orang yang ketemu sama gue pagi ini kalau gue gak nangis." Ia sangat geram. Lebih tepatnya tidak ingin terlihat lemah.

"Yayaya gue ngerti dengan gengsi lo itu." ucap Alvin tanpa disangka. "Gapapa nangis. Seorang superhero pun perlu nangis kalau dibutuhin jika itu yang buat dia kuat, right?"

Hanya hanya menoleh memandangi wajah pria bernama Alvin yang memiliki tubuh lebih tinggi darinya.

Seorang superhero pun perlu nangis kalau dibutuhin jika itu yang buat dia kuat. Hana mengulang apa yang Alvin katakan barusan.

Perlahan tatapan jengkel dan kegeramannya melunak.

***

Jika kamu adalah bulan, aku siap menjadi malam yang menaungimu

Jika kamu adalah hujan, aku siap menjadi tanah yang menyerapmu

Jika kamu adalah air, aku siap menjadi wadah menampungmu

Kara tersenyum sendiri dengan rentetan puisi abal-abal yang baru saja melintas di kepalanya itu. Sosok yang ia kagumi di hadapannya ini sungguh sangat-sangat membuatnya bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ia tidak pernah mengira bahwa ia akan setergila-gila ini kepada Aruna. Sampai berubah menjadi pria lebay. Mengarang pusisi? Sejak kapan Kara bisa berpuisi. Hal itu membuat dia geli sendiri.

Dia mungkin tidak menyadari kehadirannya. Tetapi akan ia pastikan bahwa Aruna terjaga dari apapun selama ada dirinya di belakangnya.

Hanya melihat gadir itu dari belakang seperti ini saja sudah membuat Kara bahagia setengah mati. Apalagi jika Aruna berbalik...

Baru saja hal itu terlintas di kepalanya Aruna sudah berbalik menghadapnya.

"Lo gak ada kerjaan yah ngikutin gue terus." Aruna melepas sebelah headsetnya dan berkacang pinggang.

Kara kaget setengah mati. Wajahnya mungkin sudah pucat sekarang. Merasa seperti seorang pencuri yang dipergoki sedang mencuri.

"Siapa juga yang ngikutin lo." tukas Kara. Jelas-jelas terlihat sangat gugup dan kikuk.

"Orang gue mau ke kelas." walaupun sudah tertangkap basah ia masih saja menyangkal.

Mata Aruna menyipit. "Lo suka sama gue 'kan?" tanya Aruna sekenanya.

Dan pertanyaan itu berhasil membuat Kara mati kutu saat itu juga. Matanya membulat seketika. Tidak tahu harus mengatakan apa.

Tebakan Aruna benar. Sangat benar 100%.

Apa yang harus Kara lakukan sekarang? Apa yang harus ia katakan? Ia bingung dan gugup sekali.

"Sikap lo yang diem itu udah jelas. Lo suka sama gue." Kali ini tangan Aruna berpindah, melipat didepan dadanya.

"Apa sejelas itu?" tanya Kara.

Ia mengutuk dirinya sendiri karena melontarkan pertanyaan konyol seperti itu. Seharunya ia mempertahankan harga dirinya di level paling tinggi dengan cara menyangkalnya. Namun, ia malah membuat semuanya terlihat sangat jelas.

"Sikap lo yang aneh kalau deket sama gue. Lo yang tiba-tiba telpon dan ngajak gue nonton. Lo yang suka gelagapan kalau lagi sama gue. Kayak sekarang. Apa belum cukup buat jadi bukti kalau lo suka sama gue?" Aruna menatapnya dengan tatapan tajam.

Kara dipojokan. Tidak tahu kemana ia harus sembunyi. Rasanya ia ingin membuat lubang dan bersembunyi saat ini juga.

"Sikap lo itu kentara banget."

"Kalau elo sendiri?" tanya Kara memberanikan diri.

Sekali lagi mengutuk dirinya sendiri. Mengatakan bukan saatnya ia menyatakan perasaannya sefrontal ini dihadapan Aruna. Mengingat ia belum melakukan banyak pendekatan kepadanya.

"Perasaan gue sama lo?" Aruna menunjuk Kara dengan gaya angkuh.

Kara mengangguk.

Aruna menggeleng. Seketika saja kekecewaan menyelimuti Kara. Rasanya hatinya jatuh ke dasar palung laut terdalam di dunia lalu hancur berkeping-keping sampai menjadi butiran debu kemudian tertiup angin.

"Tapi gue bisa ngasih lo kesempatan." seketika saja ada secercah cahaya menyinari Kara. Merasa bahwa memiliki kesempatan yang banyak untuk memiliki gadis pujaan hatinya ini.

"Gak bercanda 'kan?" Kara mencoba untuk memastikan.

Aruna menangguk mantap. "Oke, lo mau mulai dari mana?"

"Gimana kalau kita nonton besok malem?" tanya Kara spontan.

"Besok malem?" Aruna tampak sedang mengingat-ngingat sesuatu. "Oke. Jemput gue yah."

***



wkwk geli juga gue akhir-akhir ini update rutin sesuatu jadwal yang gue buat. Padahal sebelumnya gue suka ngaret banget. Alhamdulillah



jangan lupa vote sama komentarnya ya


makasih


Flower Flo

190918

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top