DELAPAN BELAS - Tahu Posisi
Pagi, ketemu lagi sama hari Senin yang mengesalkan wkwk
Jangan lupa vote sama komen ya ;)
"Seenggaknya dia harus tahu diri, tahu posisi. Disini, di kelas ini, ada elo. Pacarnya Kai. Pacar sepupunya."
***
"Kenapa muka adek gue tiba-tiba murung kayak gini?"
Arbani yang sedang mengepel lantai melempar begitu saja alat pel begitu mendapati Fay pulang dengan wajah ditekuk. Arbani menghampiri Fay yang sedang melepaskan sepatunya.
"Gak kenapa-napa." jawab Fay lesu. Berjalan melewati abangnya dan menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tamu dan menyalakan televisi.
Ikatan batin antara kakak adik itu cukup kuat. Arbani tahu ada sesuatu yang membuat adeknya yang keras kepala dan pemberontak ini terlihat murung.
Pemuda 24 tahun itu melepaskan celemek hello kitty yang dipakainya, melemparnya ke sembarang arah. Lalu ia menjatuhkan tubuhnya di samping adik perempuannya.
Mata Arbani memicing. Menatap penuh selidik adik perempuannya layaknya seorang detektif yang sedang menyelidiki tempat kejadian perkara.
"Lo putus kan sama pacar lo yang garang itu."
"Pacar? Garang?"
"Pacar lo yang mukanya mirip preman yang sering nganter lo pulang itu. Yang barusan juga nganter lo pulang."
"Alvin bukan pacar gue, bang!!!"
"Oh jadi namanya Alvin." Arbani mengangguk-angguk.
Arbani tersenyum senang karena sudah berhasil mengetahui siapa nama cowok yang sering mengantar pulang adiknya ini. Cowok bermuka sangar yang mengendarai motor CB. Cowok yang kata mamanya sangat sopan itu.
"Alvin bukan pacar gue, bang!" tegas Fay lagi.
Heran juga kenapa mamanya dan abangnya mengira bahwa Alvin pacarnya. Padahal bukan Alvin.
"Kalau bukan pacar kenapa kok dia sering banget anter lo pulang?"
"Emang kalau bukan pacar gak boleh nganter pulang." ucap Fay sewot.
"Pacar aku sahabatnya Alvin!!"
"Yang mana? Kok gue gak pernah lihat." Arbani seperti terkejut.
"Lo gak lagi ngarang bebas kan? Orang yang selalu nganter lo pulang cuma dia. Ngaku aja lo!" desak Arbani.
"Bukan, Bang!!! Bukan!!! Dibilangin bukan juga!!!" Fay ngegas.
Emosinya sejak pulang sekolah sudah down dan ditambah interogasi dan abangnya membuat Fay semakin kesal.
"Gapapa kali ngaku dia pacar lo, orang mama sama gue udah tahu sama dia. Lo juga udah gede, papa sama mama gak bakalan marah tahu lo punya pacar."
Fay berdecak. "Bukan dia, Bang. Bukan Alvin!!"
"Terus siapa kalau bukan dia?" tanya Arbani yang masih belum puas membuat Fay kesal.
Fay mengerang. Mengacak-ngacak rambutnya sendiri sampai berantakan saking frustasinya menghadapi interogasi abangnya yang memiliki tingkat kekepoan hampir menyerupai Alvin dan memiliki tingkap kekepoan mirip dengan Dora.
Dengan kasar Fay membuka tas dan mengeluarkan ponselnya. Beberapa saat kemudian dia menunjukan foto Kai dan dirinya dalam frame yang sama dengan background café yang biasa mereka datangi berdua.
"Namanya Kairo. Pacar aku. Bukan Alvin!" ucap Kai penuh penegasan.
"Beneran dia?" tanya Arbani seperti tidak percaya. Sebelah alisnya terangkat.
"Beneran lah!"
"Tapi kok cowok ganteng kayak dia mau sama lo yang buluk nya ngalahin penulis flower flo itu? Lo gak maen pelet online kan?"
Fay menggaruk kepalanya. Membuat rambutnya semakin berantakan. "Ngaco banget sih lo kalau ngomong. Musti dikuliahin tuh mulut. Makanya bang jangan cuti kuliah kayak orang sibuk aja. Tuh mulut belum selesai dikuliahin udah cuti aja."
"Itu mulutnya itu...." Arbani menjepit bibir Fay dengan jarinya.
"Siapa yang ngajarin ngomong kurang ajar sama abang sendiri ha?"
Fay meneplak tangan abangnya. "Habisnya nuduh sembarangan. Pantesan gak lulus masuk Akpol. Polisi kalau salah nuduh orang bahaya."
"Lo yah."
Arbani menarik tubuh Fay dan menguncinya dengan kaki dan tangannya. Membuat Fay tidak bisa bergerak sama sekali.
"Habisnya lo nuduh gue maen pelet." bantah Fay sedikit kesusahan akibat kuncian abangnya. Masih tidak terima dengan tuduhan abangnya yang kelewatan itu.
"Bang sakit." Fay merintih.
"Biarin, biar tahu rasa."
"Bang ih!"
"Ih, ih, ih, apaan ha?"
"Bang kalau nyari lawan yang sepadan kenapa?" ucap Fay kesusahan karena kuncian abangnya.
Arbani malah tertawa keras.
"MAMA!!!!" dengan sisa kekuatannya Fay berteriak keras mengadukan perbuatan abangnya pada mamanya yang entah di sudut mana di rumah ini.
"Dasar tukang ngadu." Arbani melepaskan kunciannya begitu saja.
"Tapi, beneran cowok yang namanya Kairo itu pacar lo?" tanya Arbani lagi. Kakak laki-lakinya ini masih belum percaya rupanya.
"Iyalah." dengus Fay. "Kenapa? Gak percaya?"
"Bukan gak percaya, belum percaya."
"Yaudah."
"Kok dia malah biarin sahabatnya nganter lo terus sih? Gue sama mama jadi salah sangka kan?"
***
"Beneran gak mau ke UKS aja?" tanya Tina sambil menatap khawatir teman sebangkunya.
Fay meringis menahan rasa sakit di perut bagian bawahnya. Periode bulanannya baru saja di mulai. Sejak tadi pagi, Fay merasa perutnya sangat perih. Terasa panas menjalar di punggungnya. Dua jam pelajaran dia habiskan dengan tidur di bangku dan menolak setiap kali teman sebangkunya untuk mengantarnya ke UKS. Beruntung guru Bahasa Indonesia yang mengajar sebelumnya penuh pengertian. Jika guru lain mungkin akan murka saat melihat siswanya tidur saat jam mengajarnya.
"Lo biasanya makan obat gak kalau lagi PMS?" tanya Tina.
Fay menggeleng.
"Ke UKS aja ya. Rebahan disana lebih enak daripada disini." bujuk Tina.
Fay menggeleng. "Gak mau."
"Mau gue beliin sesuatu? Gue mau ke kantin bentar soalnya."
Lagi-lagi Fay menggeleng.
"Kalau mau ke kantin ke kantin aja. Kasian juga kalau harus buat lo kepalaran cuma gara-gara gue." Fay tersenyum tipis lalu meringis.
"Sakit banget yah?" Tina meringis melihatnya.
Tak kuat dengan sakit perutnya, Fay menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Merasa posisi tersebut bisa membuat rasa nyerinya sedikit berkurang.
"Yakin gak mau gue beliin sesuatu?" tanya Tina lagi memastikan. Melihat teman sebangkunya kesakitan seperti itu membuat dia tidak tega. Tina tidak tahu seperti apa sakitnya, karena jika ia mendapat periode bulanan ia tidak pernah merasa sakit seperti itu.
Setelah melihat teman sebangkunya lagi-lagi menggeleng. Tidak ada pilihan lain. Tina akan pergi ke kantin. Perutnya sudah keroncongan memberi alarm tanda bahaya sejak tadi.
"Yaudah gue ke kantin." Tina menepuk pundak Fay. "Telpon gue kalau sakitnya makin parah. Gue siap banget nganter lo pulang."
"Itumah sih elo yang mau bolos."
Tina tertawa.
Setengah tidak tega meninggalkan Fay, Tina akhirnya melangkahkan kakinya ke luar kelas. Tepat di depan kelas sebelahnya—XI IPA 1—ia berpapasan dengan Kai dengan telinga tersumpal earphone dan ponsel di tangannya.
"Fay mana?" tanya Kai.
"Di kelas."
"Gak ke kantin bareng lo?"
Tina menggeleng. "Sakit dia. Gak bisa gue bujuk."
Mata Kai sontak membulat. Melepaskan earphone dari telinganya. "Dia sakit? sakit apa?"
Tina tertawa kecil. Menunjuk singkat kelasnya. "Biasa penyakit bulanan cewek." jawabnya kemudian berlalu dari hadapan Kai.
***
Langkah kaki itu terdengar mendekat. Mejanya sedikit bergetar karena seseorang meletakan sesuatu di atasnya.
"Lo gak jadi ke kantin?" tanya Fay mengira bahwa orang itu Tina, teman sebangkunya yang kembali lagi ke kelas.
"Ini gue." Mendengar suara cowok itu Fay mendongak sekilas untuk memastikan.
Memang Kai. Cowok yang dia hindari dua hari ini.
"Masih males ketemu sama gue?" tanpa dipersilahkan Kai menjatuhkan tubuhnya di kursi kosong tempat duduk Tina.
Fay menggeleng singkat.
"Sakit banget?" tanya Kai meringis.
Dalam keadaan masih menelungkupkan kepalanya Fay mengangguk samar.
"Bawa kayu putih kan?"
Jarinya menunjuk sekilas tas di belakangnya. "Di tas."
Kai membuka satu persatu resleting tas navy milik pacarnya. Dan menemukan benda yang ia tanyakan di saku samping tas Fay.
"Tau dari mana gue sakit?"
"Tina."
Fay mengangguk-angguk.
"Aruna kalau lagi dapet biasanya dia nyuruh gue ngolesin minyak angin ke lehernya." Fay tidak memberontak saat Kai menyingkirkan rambutnya ke samping kanan. Mengeluarkan beberapa tetes minyak kayu putih ke tangannya lalu mengoleskannya ke belakang leher Fay.
Rasa sakitnya sedikit mendingan begitu Kai memijat pelan belakang lehernya.
"Terus gue selalu pukul-pukul punggungnya kayak gini." ucap Kai sambil memukul pelan punggung Fay menggunakan kepalan tangannya.
"Masih sakit?" tanya Kai.
"Masih." Jawab Fay parau. "Tapi gak kayak tadi."
Kai tersenyum senang mendengarnya.
"Masih males ketemu sama gue?" tanya Kai.
Fay menggeleng.
Melihat hal itu Kai tersenyum lega. Jadi hari ini ia tidak akan menjaga jarak dari pacarnya karena hal itu. Sungguh, dua hari ini saat ia tahu bahwa Fay masih malas bertemu dengannya itu adalah keadaan yang paling menyiksa untuknya.
Mereka bertemu di koridor, Fay melengos seolah tidak melihatnya. Saat mereka tak sengaja berpapasan saat keluar kelas, cewek ini langsung masuk kelas. Tidak ada satu pesan pun darinya yang dibalas. Hanya dibaca. Apalagi panggilan darinya, Fay langsung merejectnya.
"Kalau PMS lo suka aneh kayak gini ya?"
"Enggak."
"Tapi kenapa kemaren kok lo males banget ketemu sama gue?"
"Gak tahu." Fay menegakan posisinya. Membuat pijatan kecil di punggungnya berhenti.
"Maaf kemaren gue nyebelin."
Fay merasa bersalah. Kai tidak bersalah. Ia saja yang sensitif dan marah dengan kenyataan yang Aruna katakan padanya. Seharusnya ia tidak boleh menghindari Kai seperti kemarin.
Kai tidak akan pergi darinya. Fay mencoba mempercayai hal itu.
"Diminum." Kai menatap sekilas segelas teh panas di atas meja.
Ternyata ini yang cowok ini letakan tadi. Pantas saja tadi Fay mencium aroma-aroma yang menenangkan.
Fay menurut. Namun saat bibirnya menyentuh air teh ia langsung menjauhkannya lagi. "Panas."
Kai tersenyum menenangkan. "Makanya pelan-pelan."
***
"Lo pulang sama Kai?" tanya Tina yang masih sibuk menyalin tulisan di papan tulis. Kecepatan menulisnya yang lambat membuat dia selalu menjadi orang terakhir yang menyalin catatan. Walaupun begitu, Tina adalah orang yang memiliki tulisan paling rapi sekelas.
Baru saja teman sebangkunya bertanya Kai sudah muncul di pintu sambil tersenyum. Melambaikan tangan padanya.
"Baru aja gue tanyain." Tina nyengir lalu mendongak untuk melihat papan tulis.
"Kai!!" seorang cewek berseru lalu berlari kecil menghampiri Kai.
"Gue baru nyadar kalau satpamnya sekelas sama kita." dengusan itu keluar dari mulut Tina.
Fay hanya hanya memperhatikan saat Aruna mengamit lengan Kai, kemudian cowok itu mengacak-ngacak rambut Aruna. Membuat Aruna memukul punggungnya Kai. Bibir Aruna mengerucut.
"Lo gak pernah cemburu lihat mereka?"
Tina menghentikan sejenak aktifitasnya. Menatap Fay yang sedang menatap lurus Kai dan Aruna di pintu kelas. Menoleh sekilas pada Kai yang sedang membawa Aruna keluar dari kelas lalu kembali menatap teman sebangkunya.
"Kadang apa yang mereka lakuin itu kayak orang pacaran, bukannya sepupuan. Gue ngomong ini karena gue peduli sama lo yah Fay, bukan karena gue ikut campur atau apa ya."
Setelah melihat Kai dan Fay keluar dari kelas. Fay menatap Tina yang saat ini terlihat sangat serius. Tina terkadang memang acuh padanya seperti yang lainnya. Tapi diantara semuanya, bisa dikatakan Tina lah orang yang paling dekat dengannya di kelas ini.
"Disini lo pacarnya Kai." Tina menegaskan sambil menunjuk Fay. "Dan Aruna cuma sepupunya. Gak pantes dia ngerecokin hubungan lo sama Kai terus."
"Jangan jelek-jelekin Aruna. Dia temen lo. Lupa?"
Dibandingkan dengannya, Tina lebih dekat dengan Aruna.Mereka berteman baik. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah best friend yang sering disangka kembaran sama Aruna.
"Lo juga temen gue, Fay." Tina mendengus.
"Gini yah. Aruna emang temen gue, temen deket malah. Tapi untuk hal ini gue gak bisa membenarkan apa yang dia lakuin. Seenggaknya dia harus tahu diri, tahu posisi. Disini, di kelas ini, ada elo. Pacarnya Kai. Pacar sepupunya." jelas Tina.
Fay terkekeh. "Yaudahlah gapapa juga."
"Susah emang ngomong sama lo." Tina menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian menlanjutkan menulis.
Sebisa mungkin tidak menunjukan rasa sakitnya. Jujur, jika ia dilahirkan dengan watak tak tahu malu ia akan melakukannya. Merasa cemburu, marah, dan kesal setiap kali Kai lebih mengutamakan Aruna, sepupunya.
Tapi, lagi-lagi mengingat alasan ia dan Kai bisa sampai sekarang karena apa dan kenyataan bahwa hubungan Kai dan Aruna tidak seperti itu. Membuat dia mau tidak mau harus tahu posisinya.
Jika, kalian berpikir bahwa Fay terlalu pengecut karena secara tidak langsung tidak memperjuangkan perasaannya untuk Kai, kalian salah.
Fay hanya tidak ingin pada akhirnya karena sikapnya itu membuat Kai membencinya lalu pergi. Seperti orang-orang sebelumnya.
Maka dari itu, ia lebih memilih untuk diam saja. walaupun tak bisa dipungkiri rasa sakit dan cemburu itu begitu besar. Ia hanya harus menimbunnya dalam-dalam di hatinya.
"Cowok itu yah Fay, kadang kalau dibiarin terus nantinya malah keenakan. Makan hati tahu rasa." Pungkas Tina yang baru saja menyelesaikan menyalin. "Sesekali jadi cewek jangan terlalu sabar, kalaupun Aruna sepupunya dia harus tahu batasan dan hargain lo sebagai pacarnya Kai."
***
191118
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top