TUJUH BELAS

Eh, ceritanya tinggal dikit lagi udah tamat :-) Terima kasih ya, kamu masih baca sampai hari ini. Dulu aku menulis cerita ini untuk bonus preorder novel Savara: You Belong With Me di tahun 2018. Aku memperbaikinya di tahun 2022 dan mengunggah di sini. Semoga bikin kamu bahagia.

Oh iya, kalau kamu ingin mengoleksi bukuku, malam ini terakhir diskon 25% sd 40% di gramedia.com yah. Kamu bisa pilih toko bukunya yang dekat sama rumahmu. Kalau ada pertanyaan, kamu bisa WA aku di 083155961228 atau DM IG ikavihara.

Selamat menunaikan ibadah puasa :-)

***

Di atas meja, Bangkit meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku sudah tidak sabar ingin mengenalkanmu kepada keluargaku. Aku ingin mereka tahu dan mengenal wanita luar biasa yang membuatku jatuh cinta. Tapi, kalau kamu belum siap, atau kamu keberatan, aku akan menghormatinya. Kita bisa melakukannya lain kali."

"Jatuh cinta?" Mataku terbelalak tidak percaya. Benarkah apa yang kudengar. "Kamu tadi bilang aku ... membuatmu jatuh cinta?"

***

"Apa kamu mau masuk dulu?" Aku membuka pintu apartemen. Setelah makan malam, aku meminta langsung pulang dengan lelah.

"Yes. I could use snuggle time." Bangkit mengikutiku masuk.

"Aku ke kamar mandi dulu, kalau kamu perlu minum atau apa, ada di dapur," kataku saat memperhatikan Bangkit yang sedang melepaskan dasi dan lalu jasnya lalu menyampirkan di bagian belakang kursi di samping sofa. Setelah beberapa kali ke sini, Bangkit sudah tidak tampak seperti tamu lagi. Melainkan penghuni tetap rumahku.

Setelah Bangkit berlalu ke dapur, aku bergegas masuk ke kamar mandi. Aku sudah menahan sejak di restoran tadi. Tidak tahu kenapa, aku merasa lebih nyaman menyelesaikan urusan buang air di kamar mandi sendiri. Snuggle time kata Bangkit. Aku tersenyum sendiri saat mencuci tangan di wastafel. Siapa yang keberatan meringkuk dan bergelung bersama Bangkit di sofa? Yang jelas bukan aku. Sekarang saja aku sudah bisa membayangkan pasti nyaman dan hangat sekali berada di pelukannya. Kalau bisa acara kencan kami singkat-singkat saja. Makan di luar, lalu pulang ke sini. Berduaan. Snuggling.

Cepat-cepat aku mengelap tanganku dan kembali ke ruang tengah. Supaya bisa merasakan pelukan Bangkit. Bangkit menyerahkan satu gelas air dingin padaku dan memintaku untuk duduk bersamanya di sofa. Aku meletakkan gelasku di meja dan duduk merapat kepadanya.

"Aku nggak nyangka kamu tipe orang yang suka snuggling." Setiap mendengar kata ini di novel yang kubaca, aku membayangkan kucing yang kecil dan lucu yang melakukannya. Bergelung di pelukan pemilihnya. Bukan laki-laki tinggi, besar, gagah, dan perkasa seperti Bangkit. "Kebanyakan cowok nggak suka snuggling."

"Aku tidak suka, kecuali denganmu. Aku suka melakukan apa saja denganmu." Bangkit mengeratkan pelukannya saat aku mendapatkan posisi nyaman untuk menyandarkan tubuhku di bagian depan tubuhnya.

"Apa saja? Apa kamu punya kegiatan favorit? Kegiatan bersamaku?" Aku mengangkat kepala, ingin menatap wajah tampannya.

"Menciummu." Dengan serius Bangkit menjawab.

Aku tertawa pelan. "Kalau begitu, kenapa nggak kamu lakukan? Malam ini kamu nggak menciumku sama sekali lho."

Mendengar tawaranku, Bangkit tidak membuang waktu. Bibirnya langsung menguasai bibirku. Aku bisa merasakan Bangkit tersenyum saat aku menciumku. When I feel him smiling while kissing me, it is another sign he is enjoying this kiss as much as me. Bangkit mengangkat kepalanya saat menyadari aku hampir kehabisan napas. Sambil tersenyum, Bangkit menatapku dengan sangat intense. Bukankah tadi saat di restoran, Bangkit mengatakan dia jatuh cinta padaku? Kalau aku sempat meragukan pendengaranku tadi, saat ini aku tidak memiliki keraguan sama sekali. Aku bisa membaca cinta itu di matanya.

"Kamu bilang kamu jatuh cinta padaku." Meski begitu aku ingin mendengar penyataan cintanya. Seribu kali lagi.

"Yes. I love you, Ela. So much it hurts." Ibu jari Bangkit mengelus bibir bawahku.

Mataku kembali terpejam karena aku tahu Bangkit akan menciumku sekali lagi.

Namun suara ponsel di dalam clutch-ku di meja merusak suasana. Bangkit melepaskan pandangannya dari bibirku dan aku menggumam, "Abaikan saja."

"Malam-malam begini siapa tahu penting, Sayang. Mungkin dari keluargamu atau dari temanmu. Atau Sali." Bangkit mencium keningku sesaat.

"Sudah dua kali kamu panggil aku 'sayang'." Meski Bangkit memberiku alasan masuk akal untuk memeriksa ponsel, aku tidak juga melepaskan diri dari pelukannya.

"Kamu tidak suka? Aku memang menyayangimu. Sangat menyayangimu."

"Aku menyukainya," kataku sambil meraih clutch-ku. Jarang sekali aku menerima telepon jam segini, kecuali dari Bangkit, yang ingin mendengar suaraku sebelum tidur. "Apa kubilang. Kan nggak penting."

"Dari siapa?" tanya Bangkit ketika aku kembali ke pelukannya.

"Nggak ada namanya, cuma nomor. Nanti kalau penting dia akan kirim pesan kok." Belum selesai aku mengucapkan kalimat ini, ponselku berbunyi pendek. "Betul, kan? Ah, dari ... Darwin."

"Darwin siapa?" Bangkit ikut membaca layar ponselku. "Kok dia ingin ketemu sama kamu?"

"Mantan pacarku. Dia ingin bertemu denganku setelah ... mencampakkanku dengan brutal? Dan ghosting aku sekian lama? No way!" Aku meletakkan ponselku di meja rendah di depanku dan tidak tertarik untuk menanggapi pesan dari Darwin. Apa perlunya? Ada laki-laki yang sedang memelukku seperti ini, laki-laki yang mencintaiku, kenapa aku harus memikirkan laki-laki yang tidak memperlakukanku dengan baik?

"Apakah dia pacar pertamamu? Kenapa hubungan kalian bisa berakhir?" Dengan satu tangannya Bangkit menyelipkan rambutku ke balik telingaku.

"Ya, pacar pertama, cinta pertama. Hubungan kami berakhir karena dia pergi kuliah ke Amerika. Kami nggak berkomunikasi dengan baik. Aku masih kekanak-kanakan dan banyak menuntut. Dia risih dan mengusulkan untuk mengakhiri hubungan sementara...."

"Sementara? Bagaimana bisa kamu...."

Aku meletakkan telunjukku di bibir Bangkit. "Dengar dulu sampai selesai, Sayang. Dia nggak mendefinisikan berapa lama 'sementara' yang dia maksud. Dia memintaku untuk menunggu dan nggak menyebutkan berapa lama aku harus menunggu. Kalau kamu ada di posisiku, apa kamu akan mau menunggu orang seperti itu? Menunggu tanpa kepastian?"

"Wel, no. But...."

"Dalam kamusku nggak ada istilah mem-pause sebuah hubungan." Aku memotong. "Ya mungkin selama kami LDR, aku kekanak-kanakan. Demanding. Tapi kalau dia nggak mau menerimaku yang kekanak-kanakan, berarti dia nggak berhak bersamaku saat aku sudah bisa bersikap dewasa seperti sekarang. Aku nggak sempurna. Aku tahu banyak bagian dari diriku yang harus diperbaiki. Seharusnya dia menemaniku, atau bahkan mendorongkuku, untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pasangan yang lebih baik. Bukan meninggalkanku dan menginginkan aku kembali saat aku sudah menjadi orang yang berbeda."

"Apa kamu masih mencintainya?"

"Kalau aku masih mencintainya, aku nggak akan bersamamu sekarang. Selingkuh itu perbuatan tak termaafkan bagiku. Bukan hanya secara fisik, tapi selingkuh perasaan juga."

"Apa kamu akan menemuinya?"

"Nggak. Buat apa? Seandainya aku nggak kenal sama kamu, nggak bersamamu seperti ini, aku tetap nggak akan menemui Darwin. Karena bagiku hubungan kami sudah berakhir dan nggak mungkin untuk dibangun kembali." Sudah terlalu jauh jarak di antara diriku dan Darwin. Sulit untuk dijembatani. Kami sudah tidak lagi mengenal satu sama lain. Bahkan sejak masih bersama. "Aku dan dia tumbuh menjadi dua manusia yang berbeda. Akan sangat sulit untuk kembali membangun hubungan yang sama."

Bangkit tampak berpikir keras. "Kalau dia sudah kembali ke sini, permanen, dia bisa melakukan apa saja untuk mengubah keyakinanmu. Untuk memenangkan hatimu lagi. Semua akan lebih mudah baginya, sebab kalian pernah memiliki sesuatu bersama."

"Keputusanku sudah final. Aku nggak akan kembali kepadanya. Kalau kamu khawatir kehilangan diriku, ada yang bisa kamu lakukan. Cintai aku. Tunjukkan padaku bahwa nggak akan pernah ada laki-laki lain yang bisa mencintaiku seperti kamu mencintaiku. Apa kamu bisa melakukannya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top