TUJUH

"You are good to my ego," katanya sambil tersenyum.

Sepanjang sore ini, baru sekarang Bangkit betu-betul tersenyum. Sepasang ikut pula tersenyum. Raut wajahnya juga sama. Memang tadi Bangkit tertawa bersamaku, Sali dan Hannes, tapi aku tahu dia hanya berpura-pura. Kalau tidak ikut tertawa dia akan dinilai tidak sopan. Tidak tahu kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang menahan Bangkit untuk melepaskan tawa. Bangkit seperti menghalangi dirinya sendiri untuk bahagia. Aku ingin tahu apa, atau siapa, yang menjadi penghalang itu. Dan, aku bertekad, suatu hari nanti aku pasti akan mendapatkan jawaban. Langsung dari Bangkit.

"What did I do to you?" Aku mengerutkan kening.

Kami duduk di sebuah burger joint yang baru buka dua bulan lalu, sambil menunggu Sali dan Hannes yang seperti pergi membeli sepatu di London, bukan seberang jalan. Selain kami, hanya ada lima orang yang duduk di sini. Lampu kuning redup, suara musik yang lembut, dan rintik hujan di luar membuat suasana semakin syahdu. Tidak ada satu orang pun yang ingin beranjak dari sini.

"Belum pernah ada orang yang menatapku penuh kekaguman sepertimu."

"Mata mereka pasti bermasalah," gumamku. "Atau otak mereka. Tapi aku nggak sedang mengagumimu." Jeez, Ela, apa nggak bisa kamu memperhatikan Bangkit tanpa ketahuan? Memalukan sekali, seperti nggak pernah melihat laki-laki ganteng, aku mengomeli diriku sendiri di dalam hati.

Bangkit tertawa lagi. "Aku menyesal kenapa kita baru kenal sekarang."

"Karena aku baru meminta Sali untuk mengenalkan kita ... mengenalkan lagi ... lewat pertemuan ini ... setelah bertemu denganmu di mobil waktu itu. Walaupun dia menolak awalnya. Kata Sali kamu laki-laki yang sangat baik dan kamu berhak mendapatkan wanita terbaik." Persahabatanku dengan Sali teramat berharga, wajar kalau Sali tidak ingin ada satu hal pun yang akan merusaknya. Jika aku dan Bangkit berhubungan serius lalu kami harus mengakhirinya, tentu persahabatanku dan Sali akan terkena dampaknya.

"Kamu bukan yang terbaik untukku?"

"Menurut Sali." Aku menyesap sodaku.

"Kenapa Sali berpikir begitu? Karena kamu sering membuat laki-laki patah hati?"

Aku tertawa hambar. "Seandainya saja seperti itu. Aku selalu dibuat patah hati."

"Kurasa ... laki-laki yang meninggalkanmu tidak waras." Bangkit mengamati wajahku dengan teliti.

Aku menurunkan pandangan, menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk minuman. Mataku selalu berbicara dan aku tidak ingin Bangkit membaca apa pun dari sana.

"Kenapa kamu menyimpulkan ada laki-laki yang meninggalkanku?" Kalau Sali sampai lancang menceritakan masalah Darwin kepada Bangkit tanpa seizinku, aku akan merusak sepatu kesayangannya. Sepasang sepatu yang paling mahal. Sampai dia mengiba-iba memohon ampun padaku. Hanya aku yang bisa memutuskan apakah aku akan menceritakan masa laluku kepada orang lain atau tidak.

"Aku bisa membaca tanda-tandanya, Elaisa. Ada seseorang yang meninggalkanmu dan kamu tidak bisa mendapatkannya kembali, meski kamu sangat menginginkannya. Kurasa ... kamu masih menunggunya. Masih berharap dia kembali padamu."

"Kenapa semua orang berpikir aku masih menunggunya?" tanyaku dengan berapi-api. Kesimpulan banyak orang, yang sembarangan dibuat padahal mereka tidak tahu isi hatiku benar-benar membuatku meradang. "Berapa kali aku harus mengulang kepada mereka, itu semua hanya masa lalu. Aku nggak menginginkan dia kembali. Kalau aku masih menunggunya, masih mengharapkannya, aku nggak akan duduk di sini bersamamu. Nggak akan meminta Sali untuk mengenalkanku padamu."

Bangkit diam menatapku. Mungkin heran kenapa aku marah tiba-tiba.

"Sorry, kalau aku salah menilai."

"Apology accepted. Gimana denganmu? Saat kamu menuduhku tadi, aku merasa kamu sedang bicara mewakili dirimu sendiri. Kamu sedang menceritakan penderitaanmu."

"Aku selalu menginginkannya kembali." Senyum dan tawa yang tadi sempat menghiasi wajahnya, sekarang sempurna menghilang.

"Kalau kamu mengharapkannya, kenapa kamu kamu masih di sini? Lebih baik kamu menemuinya, meminta maaf, menyatakan cinta, atau apa, daripada membuang waktu bersamaku." Memang Sali pernah berkata Bangkit memiliki masalah yang sama denganku. Pernah disakiti dan sulit untuk keluar dari neraka bernama patah hati. Tetapi karena dia setuju untuk berkencan denganku, kupikir dia sudah siap untuk melangkah maju.

"Kamu nggak harus menunggu dia menghubungimu lebih dulu. Setelah sebuah hubungan berakhir, kami, para wanita, sering merasa nggak berguna dan nggak berharga. Harga diri kami sudah terluka dan kami nggak ingin menghancurkannya dengan menghubungi mantan pacar. Membayangkan penolakan ... kami nggak sanggup. Jadi kami memilih diam dan berharap ... orang yang kami cintai akan kembali. Kalau kamu berusaha sungguh-sungguh, dia pasti akan memaafkanmu." Apa yang kurasakan memang tidak mewakili perasaan seluruh wanita di dunia. Ini hanya pengalaman pribadiku dan mungkin mantan pacar Bangkit merasakan hal yang sama. "Kalau kamu mendapat kesempatan kedua darinya, tolong jangan menyia-nyiakan. Jangan saling menyakiti untuk kedua kali."

"So, the man always has to say sorry first? Is it a law or something?"

"Kamu mengganti topik pembicaraan." Aku sedang tidak ingin membahas hak dan kewajiban laki-laki saat ini.

"Dia tidak akan memaafkanku. Sampai kapan pun tidak akan pernah memaafkanku." Setelah mengatakan ini, Bangkit memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Apa kamu mau jalan-jalan sebentar? Sepertinya Sali tidak akan kembali ke sini."

"Kenapa dia nggak mau memaafkanmu? Kesalahan apa yang sudah kamu lakukan?" Kecuali karena alasan ketidakjujuran dan perselingkuhan, kurasa setiap orang boleh mendapatkan kesempatan kedua dalam setiap hubungan. "Apa kamu ... mengkhianati kepercayaannya?"

Bangkit menarik napas sebelum menjawab. "Dia sudah meninggal."

***

Hingga dua minggu setelah kencan pertama kami, Bangkit tidak menghubungiku sama sekali. Padahal kami sempat bertukar nomor ponsel. Ketika aku bertanya kepada Sali apakah Bangkit tidak menyukaiku, jawaban yang kuterima tidak memuaskan. Sali tidak tahu. Pun saat aku bertanya apakah Bangkit tidak berada di Indonesia. Siapa tahu kan, Bangkit melakukan perjalanan ke luar negeri untuk urusan pekerjaan dan tidak sempat meneleponku. Tetapi Sali mengatakan dia sempat bertemu Bangkit pada acara pernikahan salah satu kerabat mereka. Karena Bangkit tidak datang sendiri, maka Sali tidak punya kesempatan untuk bicara dan mencari tahu kenapa Bangkit memutuskan untuk melupakan pertemuannya denganku.

"Aku nggak tahu gimana cara ngomongnya ke kamu, Ela. Tapi waktu itu ... Bangkit nggak datang sendiri. Dia bawa pasangan. Bangkit cuma bilang itu temannya," kata Sali dengan penuh penyesalan. "Mungkin memang benar mereka cuma teman. Meskipun ... agak mencurigakan kalau teman laki-laki dan perempuan datang ke kondangan berdua. Karena di kondangan itu banyak keluarga kami yang datang. Bangkit pasti sudah tahu apa risikonya membawa 'teman' ke sana."

Tentu saja. Laki-laki tampan dan mapan seperti Bangkit tidak akan single terlalu lama. Pasti banyak wanita yang sudah mengantre untuk menjadi pasangannya. Kalaupun memang Bangkit memilih tidak berhubungan serius dengan seorang wanita—karena beban dari masa lalunya yang berat itu—pasti akan tetap ada seorang wanita yang dengan senang hati menghabiskan waktu bersamanya. Sebagai teman. Atau sekadar gandengan ke kondangan.

Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menyalahkan mulutku, yang selalu saja bicara lebih dulu, sebelum otakku sempat menyaringnya. Siapalah aku, berani menceramahi Bangkit agar diam au mengalah dan meminta maaf lebih dulu kepada wanita yang dia cintai, yang tidak kuketahui telah meninggal. Seharusnya aku meminta maaf pada Bangkit karena sudah lancang seperti itu. Segera setelah Bangkit memberi tahu—dengan pedih—bahwa wanita yang dicintainya telah tiada. Tetapi sampai dua jam kemudian—saat Bangkit mengantarku sampai depan pintu apartemen—aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk mendapatkan maafnya. Kesempatan untuk meminta maafjuga tidak ada. Karena Bangkit dengan halus membelokkan arah pembicaraan. Kami tidak lagi membahas masalah mantan kekasih setelah keluar dari kedai kopi. Hanya membicarakan hal-hal umum, seperti hobi dan pekerjaan.

Ponsel yang sedang kupandangi—berharap Bangkit mengirim pesan—tiba-tiba berbunyi dan aku menjatuhkannya ke meja karena kaget. Ini akibatnya kalau kebanyakan melamun. Aku mematikan komputer sebelum mengambil ponselku yang sudah berhenti berbunyi. Yang menghubungiku di luar jam kerja biasanya hanya keluarga. Nanti saat sudah di apartemen aku akan menelepon balik mereka.

Aku terbelalak saat menatap layar. Berkali-kali aku mengerjapkan mata. Takut salah lihat. Benarkah nama yang tertera di layar itu nyata? Atau hanya imajinasiku saja? Karena terlalu berharap Bangkit akan menyambung pertemanan kami, aku jadimem bayangkan Bangkit menghubungiku.

Tetapi ... tidak salah. Ada panggilan tak terjawab dari Bangkit. Aku batal berdiri dan memilih duduk di kursiku lebih lama. Jadwal pulangku bisa ditunda lima atau sepuluh menit. Sudah pukul tujuh malam sekarang dan tinggal aku bersama dua orang pegawai yang masih duduk di ruangan kami. Masih sambil memandangi nama Bangkit di layar, aku menimbang-nimbang apakah aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Untuk terus berteman dengan Bangkit, walaupun Bangkit punya teman dekat lain. Yang pergi menghadiri resepsi pernikahan dengannya.

***

Dua kali. Semoga minggu depan aku nggak lupa. Jangan lupa buat baca cerita Savara supaya nggak kesal-kesal amat sama Darwin hehehe. Darwin baik kok, cuma di sini dia masih muda jadi dia bikin kesalahan hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top