TIGA BELAS
Ponselku berbunyi dan aku tersenyum semakin lebar melihat nama Bangkit di sana.
"Bagkit!" sapaku, agak terlalu bersemangat. Rasa sakit di seluruh tubuhku—akibat nyeri haid—terlupakan begitu aku menandakan sepotong ice cream cake. "Terima kasih kuenya. Aku suka pakai banget."
"Wow, ternyata ada yang menunggu teleponku sejak tadi ya?" Saat mengatakan ini, aku tahu Bangkit sedang tersenyum.
"Karena kamu kirim kue, kalau nggak ... ya...." Aku membersihkan sisa kue di sendok dengan lidahku. Kalau ibuku melihat, pasti aku sudah diomeli. Kebiasaan buruk seperti itu, ditakutkan ibuku, bisa terbawa saat aku makan bersama orang lain.
"Aku mau saja sering-sering mengirimi kamu kue. Tapi nanti kamu kesal, marah, karena aku membuat kamu makan melulu."
"Ya jangan sering, saat aku butuh aja. Maaf ya, tadi siang aku marah-marah padamu." Hari ini bukan salah satu hari terbaik dalam hidupku. Aku mendampingi salah satu brand ambassador produk sampo untuk melakukan promo di sebuah supermarket besar. Selebritas tersebut merajuk karena air mineral—merek impor, sesuai yang dia inginkan—yang disediakan tidak ada segel plastiknya. Luar biasa, acara sampai tertunda karena masalah sepele seperti itu. Pada saat itu aku menyesal kenapa dulu mengusulkan namanya untuk menjadi salah satu brand ambassador. Beberapa keinginannya, menurutku, sangat tidak penting dan merepotkan.
"Kalau aku bilang aku kangen sama kamu, mau ketemu kamu sekarang ... atau aku tidak akan bisa tidur, apa kamu mau menemuiku?"
"Gimana ya?" Aku pura-pura berpikir. Tentu saja aku akan menemuinya. Setelah tidak bertemu dengan Bangkit selama tiga hari, aku juga merindukannya. "Kamu boleh datang ke sini, asal kamu nggak minta ice cream cake-ku."
Bangkit tertawa. "Aku tidak terlalu suka makanan manis. Lagi pula aku sudah memberikan padamu, masa aku minta lagi. Apa kamu sudah makan? Aku belum makan dan mau membawa makanan ke tempatmu. Ada sesuatu yang kamu inginkan?"
"Gimana kalau aku masak untukmu?" tanyaku sambil memikirkan apa saja isi kulkasku. Berapa lama aku tidak pergi belanja? "Kamu belum pernah merasakan masakanku."
"Tidak usah. Kamu istirahat saja hari ini. Aku akan bawa makanan sendiri."
Aku mendesah lega. Betul, hari ini aku lelah secara fisik dan mental. Kenapa juga aku menawarkan memasak untuk Bangkit? "Untunglah. Aku cuma basa-basi aja tadi. Karena kamu mengirimi aku kue, akan impas kalau aku memasak untukmu."
"Aku tidak meminta balasan apa-apa, Ela. Semua yang kulakukan untukmu ... kamu tidak perlu terbebani, merasa harus membalasnya. Aku bahagia kalau bisa membuat harimu menjadi lebih baik. Jadi, sebelum aku ke sana, apa kamu ingin dibelikan sesuatu?"
Kurang sempurna bagaimana lagi laki-laki ini? Aku sangat bersyukur bisa mengenalnya dan punya kesempatan menjadi salah satu orang terdekatnya. "Kayaknya nggak usah bawain aku apa-apa lagi. Aku kenyang makan cake darimu. Itu sudah cukup untuk makan malamku."
***
"Kamu dari rumah? Kukira masih di kantor tadi pas telepon." Aku membuka pintu dan mendapati Bangkit mengenakan celana jeans pudar dan kaus berwarna putih dan jaket kulit berwarna cokelat. Rambutnya masih basah, seperti Bangkit mandi dulu sebelum ke sini.
Bangkit mengangguk dan duduk di dapur kecilku. Biasanya aku merasa tempat ini terlalu luas, terutama saat bersih-bersih. Tetapi sekarang dengan keberadaan Bangkit di sana, ruangan ini terkesan sempit sekali. Atau tubuh Bangkit yang terlalu besar. Bahkan kakinya tampak terlalu panjang di bawah meja.
"Aku sudah di rumah waktu mengirim kue untukmu tadi. Apa kamu ada rencana ke luar malam ini?" Bangkit menerima sendok yang kusodorkan dan membongkar barang bawaannya di meja makan. Satu kotak karton berwarna oranye—dengan aroma yang sangat menggoda—dan satu kantong apel Malang.
"Nggak. Sudah jam segini. Bagiku ini sudah malam. Percaya atau nggak, aku ini anak rumahan. Nggak terlalu suka di luar rumah, apalagi habis pulang kerja." Aku mencuci empat buah apel. Untukku dan Bangkit. "Aku heran dengan orang-orang yang punya banyak energi. Pulang lembur masih bisa bergaul ke mana, pulang lewat tengah malam, pagi-pagi sudah kerja lagi. Kamu beli makan apa?"
"Nasi goreng cumi. Dengan ekstra telur."
Penampilan dan aroma makanan yang dibawa Bangkit, membuat air liurku hampir menetes. aku menyesal kenapa tadi tidak mau saat ditawari untuk dibelikan.
"Aku juga anak rumahan. Duduk di rumah seperti ini lebih kusukai daripada nongkrong sampai larut malam. Mungkin karena aku sudah tua. Mau?" Bangkit mendekatkan satu sendok nasi goreng berwarna kehitaman ke bibirku.
Aku mengunyah dan menelan sebelum menanggapi. "Enak banget. Beli di mana?"
Saking enaknya, mataku sampai terpejam saat menikmatinya.
"Rahasia."
"Begini aja pakai rahasia. Itu ada tulisannya di kardus." Tanganku bergerak untuk memutar kotak tersebut, agar nama restoran dan nomor teleponnya bisa kubaca.
Bangkit menjauhkan kotak karton dari jangkauanku. "Kalau kamu mau makan ini, harus melalui aku."
"Hmmm ... aku bisa tanya Sali. Dia tahu banyak tempat makan enak."
Bangkit kembali menyuapkan satu sendok nasi goreng kepadaku. "Sali tidak tahu."
"Aku mau tahu itu karena aku nggak ingin merepotkan kamu. Kalau aku memintamu untuk membelikan sewaktu-waktu, apa kamu mau? Gimana kalau kamu di luar kota dan aku pingin banget makan nasi goreng ini?" Bahkan telur mata sapinya tidak mentah di tengah. Sesuai seleraku, yang tidak suka telur yang tidak matang sepenuhnya. Nasi goreng ini sempurna sekali.
"Betul juga ya." Bangkit mengangguk setuju.
"Jadi, kasih tahu aku. Biar aku gampang beli sendiri."
"No, tetap aku yang harus membelikan. Kalau aku di luar kota, kamu harus menunggu sampai aku pulang."
"Kamu jahat banget." Aku pura-pura cemberut dan Bangkit tertawa melihatku. "Aku bisa mati karena kelaparan kalau seperti itu."
Sepuluh suapan kemudian, aku baru merasa bersalah karena menghabiskan hampir separuh makan malam Bangkit. "Sorry, aku malah keterusan makan. Habis enak banget. Kamu ... nggak akan kenyang ya cuma makan separuh?"
Tetapi Bangkit tidak keberatan. "Aku bisa beli lagi nanti pulang dari sini."
"Oke, aku sudah kenyang." Aku bergerak untuk megambil air minum. "Kamu mau minum apa? Aku punya air putih. Dan soft drink."
"Air putih. Dingin, kalau ada. Thanks."
Seharusnya seperti inilah hidupku. Setiap aku pulang dari kantor, bukan udara kosong yang menyambutku. Melainkan seseorang, yang duduk makan malam bersamaku dan mengobrol denganku sampai kami sama-sama mengantuk. Wajahnyalah yang terakhir kulihat sebelum memejamkan mata. Kalimat cintanya yang mengantarku menuju mimpi indah. Pelukannya menghangatkan dan membebaskanku dari dingin dan kerasnya dunia. Saat membuka mata di pagi hari, aku langsung memandang seyumnya, yang meyakinkanku bahwa hari ini akan terlewati dengan penuh kebahagiaan.
Saat masih bersama Darwin dulu, aku membayangkan aku akan menikah pada usia dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Berati tahun ini atau tahun depan. Kami sudah bersama sangat lama—seandainya sekarang masih bersama—dan menikah sudah pasti menjadi langkah selanjutnya. But, we expected different things, looked at different places, and dreamed different dream. Yang baru kusadari, mungkin tidak bisa disamakan.
Bukankah sebelum menikah, semua masalah dan perbedaan harus sudah bisa dijembatani? Ditemukan jalan tengahnya? Tetapi dengan menghilangnya Darwin dari hidupku, tanpa alasan yang jelas, kesimpulan yang kudapatkan sudah jelas. Darwin tidak ingin menjalani masa depan bersamaku. Atau dia sudah bertemu wanita lain yang lebih baik dariku di sana. Saat memikirkan itu, aku tidak lagi merasa kesal. Jika memang benar, semoga Darwin bahagia. Sebagaimana aku bahagia bersama seseorang yang lebih baik dari Darwin.
***
Kalau kamu belum lengkap baca buku-bukuku yang terbit mayor--di-upload di Wattpad sebelumnya--kamu bisa membacanya hanya dengan Rp 24.500,- saja. Beli paket Premium Package di gramedia.com hari ini, 18 Maret 2023, dan selama sebulan ke depan kamu bisa membaca semuanya: My Bittersweet Marriage, When Love Is Not Enough, The Game of Love, A Wedding Come True, The Perfect Match, The Promise of Forever dan Right Time To Fall In Love. Hubungi aku di Instagram ikavihara kalau kamu menemui kesulitan :-)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top