SEMBILAN BELAS
Happy long weekend. Mood-ku agak membaik dibanding saat upload bab delapan belas. Walaupun masih kesal waktu lewat jalan yang berlubang-lubang dan lihat gedung sekolah yang sudah doyong. Aku tetap menyesalkan uang-uang yang dikemplang pihak-pihak rakus itu. Aku memang sensitifa dan cenderung overthinking--bawaan depresi dan anxiety disorder.
Kamu mau mudik ke mana nih, teman-teman? Kalau mudik jangan lupa bawa bukuku buat dibaca di perjalanan, sambil menunggu pesawat, duduk di kereta, di mobil. Nggak perlu bawa berat-berat dan mahal, kamu bisa membeli paket Fiction Premium untuk membaca di aplikasi Gramedia Digital. Sedang turun harga nih, Rp 34.300,- saja buat baca sebulan penuh :-) Atau kamu bisa baca beberapa di aplikasi Ipusnas gratis dan legal. Di Google Books juga ada.
Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, aku janji akan mulai balas huhuhu. Udah kangen sama kamu semua :-)
***
"Kaki kananmu patah, Elabear." Andrei menggenggam tanganku. "Saat kamu berjalan di trotoar dua hari yang lalu, ada mobil yang kehilangan kendali, naik ke trotoar dan...."
"No...." Aku tidak ingin Andrei melanjutkan ceritanya. Biarkan saja apa yang telah terjadi. Tidak perlu diingat. Sekarang, yang penting aku masih hidup dan berkesempatan untuk menjalaninya bersama orang-orang yang kucintai.
"Lama sekali kamu nggak sadarkan diri. Tapi dokter mengatakan nggak ada masalah apa-apa dengan kepalamu. Dengan otakmu. Semua akan baik-baik saja. Hanya setelah sadar, kamu lebih banyak tidur. Atau mereka memang membuatmu tidur. Kemarin kakimu sudah dioperasi. Nanti saat kamu bangun, kamu akan melihat luka di beberapa tempat. Dokter bilang akan sembuh perlahan-lahan. Kecuali kakimu, perlu waktu agak lama, terapi juga." Kakakku tersenyum menatapku. "Aku langsung mencari tiket ke sini begitu Sali mengabari kejadian itu. Beruntung aku bisa mendapatkan kursi. Kamu membuatku khawatir setengah mati, Ela. Aku nggak bisa membayangkan kalau harus ... Aku menyesal karena nggak pernah mengatakannya padamu. I love you, Elabear. Kamu adalah adik terbaik yang bisa kumiliki."
Karena seluruh permukaan kulitku terasa sakit setiap kali aku bergerak, luka-luka yang dimaksud Andrei pasti berada di sekujur tubuhku. Bahkan tersenyum saja aku tidak bisa. Hanya ringisan kesakitan yang keluar.
"Maaf...." bisikku.
"Kenapa kamu minta maaf? Kamu adikku satu-satunya dan aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan datang di mana pun kamu memerlukanku. Aku nggak akan membiarkanmu sendirian di sini, terutama pada saat seperti ini. Nanti, setelah Irina selesai kuliah, kami semua akan kembali ke sini, dekat denganmu."
"Bang ... kit?" Aku ingat siapa orang yang paling ingin kutemui selain keluargaku.
"Apa? Kamu mau bangun? Kamu nggak perlu bergerak ke mana-mana. Istirahat saja dulu. Aku tahu memang menyebalkan harus berbaring terus seperti ini, tapi kalau kamu...."
"Ketemu ... Bangkit ... mana?" Dalam hati aku menjerit frustrasi karena tidak semua kalimat bisa keluar dari mulutku.
"Kamu mau apa, Ela? Mau ke mana?" Andrei menatapku bingung.
"Bang... kit." Hanya ini yang bisa kukatakan.
"Istirahatlah dulu. Sebentar lagi dokter ke sini dan kita akan tanya apa kamu boleh bangun atau harus berbaring sampai kamu diizinkan pulang." Andrei menaikkan selimutku. "Kalau menurutku, sebaiknya kamu pulang saat sudah benar-benar pulih. Karena kamu pasien yang merepotkan kalau di rumah."
Benar. Aku menyebalkan saat sedang sakit. Ya Tuhan, aku ingin tertawa tapi kepalaku sakit sekali. Karena Andrei menyuruhku untuk istirahat, maka aku memejamkan mata. Kenapa Andrei tidak kenal dengan Bangkit? Kalau aku sudah dua hari di sini, seharusnya Andrei sudah bertemu Bangkit. Tidak mungkin bukan, ketika aku terbaring tak berdaya seperti ini, hampir mati bahkan, Bangkit tidak datang ke sini sama sekali? Kalau tidak untuk menungguiku, paling tidak dia menjengukku. Seingatku Bangkit tidak sedang berada di luar kota. Buktinya kami menjadwalkan makan malam di apartemenku, seandainya aku tidak tertabrak mobil. Tidakkah dia langsung berlari ke sini dan terus berada di sini ketika mendapat kabar aku kecelakaan?
***
Delapan orang meninggal dan tiga orang luka berat akibat kecelakaan tersebut, kata Sali saat menjengukku sepulang kerja. Seorang wanita mengendarai mobil dengan kecepatan sangat tinggi dan ditengarai sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Kemungkinan wanita itu untuk dipenjara kecil, apalagi dihukum mati, karena dia anak politisi ternama atau apa. Mungkin ada persidangan, tapi hanya untuk formalitas. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Terserah kalau wanita itu memilih untuk hidup dengan bebas setelah menghilangkan nyawa delapan orang. Mengonsumsi alkohol lalu memutuskan untuk menyetir jelas sudah menunjukkan niat bahwa dia sengaja ingin membunuh. Kalau dia tidak ingin mengakhiri hidupnya sendiri dan orang lain, dia akan naik taksi atau diam di tempat.
"Apa Bangkit sudah ke sini?" Sali memasukkan sebutir anggur ke mulutnya. Banyak sekali hadiah dan makanan yang kudapatkan selama tiga hari di rumah sakit. Tadi siang, atasanku dan belasan teman kantor datang ke sini, membawa bunga, buku dan makanan.
"Belum. Apa dia ke sini waktu aku tidur?" Selama aku sadar, Bangkit sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Aku tidak bisa menghubungi Bangkit karena ponselku hilang. Dompetku juga. Tega sekali kan orang-orang? Ada yang sedang kena musibah, masih juga dicuri harta bendanya.
Polisi mengetahui identitasku dari tanda pengenal pegawai yang kusimpan di saku blazerku. Mereka menghubungi kantor. Karena semua orang di kantor tahu bahwa aku bersahabat dekat dengan Sali, maka Sali adalah orang pertama yang dipanggil oleh atasanku, untuk mencari tahu bagaimana cara menghubungi keluargaku.
"Seingatku ... nggak. Setelah kakakmu, aku menelepon Bangkit tapi dia nggak bilang apa-apa. Kupikir dia shock. Karena ... well ... atasan kita yang nggak emotionally attached sama kamu saja sampai nangis ... apalagi Bangkit. Tapi ini sudah beberapa hari. Seharusnya dia sudah bisa mengendalikan diri. Coba kutelepon dia sekarang." Jemari Sali bergerak di layar ponselnya lalu menekan speaker supaya aku bisa ikut mendengar pembicaraan dengan Bangkit. "Nggak aktif HP-nya."
Aku sudah bertemu kedua orangtuaku. Begitu tahu aku sadar, mereka tidak meninggalkanku sama sekali. Tetapi setelah aku boleh pulang, ayahku akan kembali ke Selandia Baru karena harus kembali bertugas. Sedangkan ibuku akan tinggal di sini bersamaku, merawatku sampai aku benar-benar sembuh. Kepada Andrei aku mengatakan agar dia segera kembali ke Australia dan menemani Irina, istrinya, yang sedang hamil. Tetapi Andrei memutuskan akan di sini setidaknya seminggu lagi, karena dia masih kangen kepadaku dan orangtua kami. Kurasa kejadian itu juga membuat Andrei trauma.
Hanya Bangkit satu-satunya orang yang belum kutemui hingga hari ini dan aku sangat ingin melihat wajahnya. Aku merindukan suaranya, senyumnya, pelukannya, semuanya.
"Aneh banget," gumam Sali, matanya tidak lepas dari layar ponsel. "Eh, El, masa kata Tante Marisa, Bangkit lagi di Lombok, ada pekerjaan di sana. Kemarin pagi dia berangkat."
"Mungkin memang dia ada pekerjaan penting yang nggak bisa ditinggal."
"Lebih penting daripada menemanimu, yang kecelakaan di sini?" Sali mendengus tidak percaya. "Dia memang sepupuku. Tapi aku nggak setuju dengan sikapnya. Pacarnya di rumah sakit, nggak bisa jalan, masa nggak nengokin sama sekali. Malah milih kerja ke luar kota. Tante Marisa saja sampai malu ini karena anaknya kayak gitu. Aku haru bicara padanya nanti. Gimana mungkin dia bisa berbuat begitu? Setelah aku menangis meneleponnya, ketakutan karena nggak tahu apakah kamu hidup atau mati? Padahal dia pernah berada pada posisi seperti ini sebelumnya. Seharusnya dia lebih tegar menghadapinya daripada kita semua. Betul, kan?"
Aku tidak menanggapi, karena tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Sali. Bangkit pernah ada pada posisi ini? Kapan?
"Aku mau tidur bentar, Sal." Kepalaku mendadak pening ketika memikirkan orang yang mengaku mencintaiku, malah meninggalkanku di saat aku sangat membutuhkannya.
"Perlu kupanggilkan dokter?" Sali berdiri dari duduknya dan menatapku khawatir.
Aku menggeleng dan memejamkan mata. "Aku cuma capek aja."
"Ya udah, kamu istirahat dulu. Aku mau ngobrol sama mamamu. Kalau perlu apa-apa, panggil aja ya."
Dalam hati aku berharap ketika aku terbangun nanti, aku mendapati Bangkit duduk di sini menggenggam tanganku dan membisikkan kalimat cinta di telingaku.
***
Harapanku tidak terwujud. Ratusan kali aku tertidur dan terbangun, Bangkit tetap tidak datang untuk menemuiku. Di tengah rasa kecewaku akhirnya kabar baik datang. Hari ini dokter memperbolehkanku pulang. Seharusnya aku lega, karena bisa kembali tidur di kamarku sendiri, tanpa ada selang infus dan tidak ada perawat yang membangunkanku tengah malam. Semestinya aku bahagia bisa kembali berkumpul dengan keluargaku. Tetapi tidak. Alih-alih mensyukuri itu, aku justru masih menyesalkan ketidakhadiran Bangkit di sisiku.
Aku merindukannya dan sangat ingin bertemu dengannya. Tetapi aku bisa apa? Gerakku sangat terbatas. Dan Sali, yang sudah berusaha keras, tetap tidak bisa membawa Bangkit ke sini. Pernyataan cinta yang diucapkan Bangkit sebelum kejadian ini ... perlahan aku mulai meragukannya. Bangkit tidak mencintaiku sebagaimana aku mencintainya. Siapa pun yang masih punya hati, ketika diberitahu bahwa kekasihnya hampir mati, pasti akan langsung meninggalkan apa saja yang dikerjakan untuk melihat dengan kepala sendiri bagaimana kondisi kekasihnya. Bukan malah pergi jauh-jauh.
Untung saja aku belum menceritakan hubunganku dengan Bangkit kepada kedua orangtuaku. Jadi aku tidak malu. Betapa payahnya aku, selepas dicampakkan Darwin melalui pesan singkat, kini aku jatuh ke lubang yang sama. Atau lubang yang lebih gelap. Laki-laki yang kupikir lebih baik daripada Darwin mencampakkanku tanpa mengatakan apa-apa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top