SEMBILAN
Selamat berakhir pekan. Ada Bangkit dan Ela yang menemani akhir pekanmu :-)
Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, kalau kamu membaca cerita ini. Thank you.
***
"Aku mengurus radio frequency untuk wilayah Indonesia bagian timur. Semacam memastikan ... semua BTS yang sudah lama berdiri atau baru dibangun, bisa berkomunikasi dengan ponsel, tablet, modem, dan sejenisnya, dengan baik. Pembangunan menara komunikasi di Indonesia Timur menjadi prioritas kami saat ini, supaya penyedia jasa seluler segera bisa menyewa dan masyarakat bisa mengakses internet yang mudah dan murah."
"Jadi ... kita nggak tinggal satu kota? Yang dulu itu bukan rumahmu?"
"Lokasi kerjaku yang utama di sini. Aku duduk di kantor dan menganalisa speech quality, received signal quality, received signal level dan lain-lain. Tapi aku sering datang ke lapangan langsung, site visit, bertemu dengan teman-teman yang bekerja di sana dan memastikan sendiri seluruh bagian dari BTS berfungsi dengan baik. Seperti seminggu ini. Aku menyempatkan membeli hadiah untukmu di Sumba.
"Beberapa kali dalam setahun aku harus rapat di Jakarta atau Bali, ikut pelatihan di India, Cina, di kantor pusat perusahaan di Finlandia, atau di mana saja, kalau ada teknologi baru atau apa." Bangkit tersenyum geli melihatku diam berpikir. "See? Kamu akan berpikir tidak akan mungkin aku bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kekasih secara seimbang."
"Apa semua orang yang pernah berada di posisi yang sama denganmu nggak punya pasangan? Nggak ada satu pun di antara mereka yang menikah?" tanyaku setelah pelayan meletakkan minuman kami di meja.
"Mereka punya pasangan." Bangkit menuang gula ke dalam gelasnya. "Menikah. Berkeluarga juga."
"Kalau mereka bisa membagi waktu untuk pasangannya, kamu juga pasti bisa. Ya kecuali kamu adalah orang yang menggunakan kesibukan dan pekerjaan sebagai alasan untuk menghindari komunikasi dengan orang-orang yang mencintaimu." Seperti Darwin misalnya. Yang menganggapku dan hubungan kami sebagai pengganggu konsentrasinya dalam meraih gelar doktor.
"Aku tidak pernah menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk hidup soliter." Bangkit berhenti bicara ketika pelayan meletakkan piza superbesar, supertipis, superrenyah, dan superlezat di hadapan kami. "Bagaimana kalau seperti ini. Aku bisa menghubungimu setiap hari saat aku di luar kota atau di luar negeri, tapi waktu yang kumiliki sering tidak tepat. Pagi-pagi buta atau hampir tengah malam. Jam-jam segitu kamu masih ingin tidur atau kamu sudah lelah. Lalu kamu marah-marah karena aku mengganggu istirahatmu. Jadi aku memilih tidak menghubungimu untuk menghindari pertengkaran. Tapi ujungnya kita bertengkar juga, karena kamu merasa aku tidak pernah menghubungimu."
Aku batal menggigit pizaku. "Percaya atau nggak, aku putus dengan mantan pacarku karena masalah komunikasi. Jadwal komunikasi. Frekuensi berkomunikasi. Dia sedang kuliah di luar negeri. Aku nggak pernah berharap dia menghubungiku setiap hari. Seminggu sekali sudah cukup, asalkan kami bicara dalam waktu yang lama.
"Tapi dia seperti ... sudah malas bicara denganku. Ya, aku memang merepotkan karena menginginkan ini itu, begini begitu. Tapi itu bukan karena aku demanding. Aku ingin ... melakukan sesuatu untuk membuat kami merasa dekat meski berjauhan, ingin membuat hubungan kami nggak membosankan walau kami nggak bisa ketemu."
"Aku bisa menjamin komunikasi kita tidak akan separah itu. Aku masih tetap tinggal di sini dan kita bisa bertemu. Hanya kadang-kadang saja aku harus bepergian." Bangkit sudah menghabiskan tiga potong piza dan kalau aku tidak segera makan, aku tidak akan kebagian. "Saat bepergian itu aku tidak bisa rutin menghubungimu."
Setelah menyelesaikan dua potong piza, aku baru bicara lagi. "Kamu tahu, karena kamu nggak menghubungiku selama dua minggu, aku pikir pertemuan pertama kita nggak cukup berkesan untukmu. Aku menganggap kamu nggak menyukaiku. Setelah itu, aku membaca-baca tentang peraturan kencan pertama dan sepertinya aku melakukan banyak kesalahan." Salah satunya membahas hubungan yang telah berlalu. Baik hubunganku, maupun hubungan Bangkit.
"Pertemuan pertama kita di mobil Sali waktu itu sangat berkesan bagiku. Dalam hati aku berpikir Sali punya teman yang cantik sekali tapi tidak pernah mengenalkan padaku." Bangkit sedikit mengernyit ketika menyesap minumannya. "Kecut banget."
Aku tertawa. "Tadi kan aku sudah bilang jangan pesan air jeruk nipis campur mint."
"Yang kemarin, makan malam bersama Sali dan Hannes itu bukan kencan. Makan burger tidak bisa disebut kencan. Lagi pula, kenapa kamu tidak menghubungiku lebih dulu? Ini ada di dalam peraturan buatanmu? Setelah laki-laki harus minta maaf lebih dulu, dia juga harus menelepon lebih dulu?"
Aku memanggil pelayan dan meminta tambahan gula untuk Bangkit. "Aku berniat menelepon kamu. Tapi Sali bilang kamu datang ke resepsi pernikahan membawa teman wanita. Ya sudah, kan? Kupikir kamu memang nggak tertarik padaku dan aku bisa apa, kalau seperti itu. Aku nggak mau menjadi pengganggu hubunganmu. Ngomong-ngomong dia nggak marah kita makan berdua seperti ini?"
"Kenapa harus marah? Dia bukan siapa-siapa. Dia teman kantorku. Kebetulan kami sama-sama kenal dengan mempelai dan sama-sama diundang. Karena rumah kami searah, dia bertanya apa dia bisa ikut mobilku."
"Kata Sali dia cantik dan selalu ... menempel terus sama kamu."
Bangkit memasukkan seluruh gula ke dalam gelasnya dan mengaduk pelan. "Aku tidak memberinya tumpangan karena dia cantik, Ela. Tapi karena dia temanku. Seandainya aku datang bersamamu pun, dia akan tetap bertanya apa dia boleh menumpang mobilku dan aku akan tetap mengiakan. Kalau ada temanmu yang ingin nebeng, apa kamu akan menolak?"
"Aku hanya ingin memastikan ... kalau nggak ada wanita selain aku dalam hidupmu. Aku nggak suka bersaing dalam perkara seperti ini." Lebih baik aku memohon pada Darwin untuk menerimaku kembali daripada harus bersaing dengan wanita lain untuk menarik perhatian satu laki-laki.
"Aku tidak berteman dekat dengan siapa pun selama dua tahun ini," tegas Bangkit.
"Tapi bukan berarti nggak ada yang ingin mendekatimu," gumamku.
"Hanya kamu yang berbeda, Ela."
"Dalam artian baik atau buruk?"
"Dalam artian sempurna. Mulai hari ini, aku ingin lebih mengenalmu, kalau kamu tidak keberatan."
"Oke." Itu yang kuinginkan, teriakku dalam hati.
"Jadi, apa kamu mau kencan denganku hari Sabtu nanti?"
***
Kesempatan untuk jatuh cinta tidak hanya datang sekali dalam hidup setiap orang. Aku semakin memercayai itu. Meski seseorang belum berani mengambil kesempatan tersebut, mereka tetap bisa membuka mata dan hati, melihat bahwa seseorang yang lebih baik sedang menunggu mereka. The most important thing is to trust themselves, follow their hearts, and willing to take a risk, and they can find our second chance in love. Betapa konyolnya aku dulu, saat mengatakan—hampir bersumpah—aku tidak ingin mencintai lagi. Tidak akan jatuh cinta lagi. Karena ternyata tekada itu tidak ada gunanya. Mau membangun tembok beton paling kuat di sekeliling hatiku pun, cinta akan menemukan cara untuk menelusup ke dalam.
Hari ini aku sudah siap untuk kembali memercayai diriku, untuk membuat keputusan setelah mendengarkan keinginan hatiku. Menerima ajakan kencan Bangkit. Memberi kesempatan kepada Bangkit, dan kami berdua, untuk mengeksplorasi apa pun yang tengah kami rasakan saat ini. Segala risiko yang timbul karenanya, karena cinta, aku siap menanggungnya. Mungkin saja hari ini Bangkit akan menemukan sesuatu dalam diriku yang tidak dia sukai—karena aku tidak sempurna, meski Bangkit menganggapku demikian—lalu dia memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penjajakan kami. Penjajakan. Aku ingin tertawa. Kenapa aku terdengar tua sekali saat mengatakannya?
Pintu apartemenku diketuk tiga kali. Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan penampilanku, aku bergegas membuka pintu. Bangkit berdiri—dengan sangat tampan—di baliknya. Pukul sepuluh kurang lima menit. Apa ada laki-laki lain yang lebih sempurna? Tidak hanya seksi, Bangkit juga bisa menghargai waktu. Bangkit tidak menyengaja datang terlambat karena menganggap seorang wanita memerlukan waktu lama untuk bersiap-siap. Juga, Bangkit bersedia naik sampai ke depan pintu apartemenku, tidak hanya menunggu di lobi atau di mobil.
"Hei," sapanya sambil tersenyum. "You look ... beautiful."
"Thank you. Kamu juga."
Aku tidak tahu kenapa Sali pusing mencari bintang iklan untuk varian terbaru merek pasta gigi yang dikelolanya. Dia bisa memanfaatkan sepupunya. Senyum Bangkit sudah sangat memenuhi syarat dan akan bisa membuat banyak orang membeli pasta gigi tersebut. Apalagi senyum Bangkit dipasang di kemasan.
"Apa kamu sudah siap?" Bangkit bertanya saat aku membuka pintu lebar-lebar dan memintanya masuk. "Atau perlu ke kamar mandi dulu?"
"Aku cuma mau ambil tas." Siang ini aku memilih celana jeans biru dan blouse tanpa lengan berwarna putih, karena tadi malam, saat meneleponku, Bangkit mengatakan hari ini kami akan menghabiskan waktu di luar ruangan.
Bangkit memenuji janjinya. Selama bangkit tidak berada di luar pulau atau luar negeri, Bangkit rutin meneleponku. Saat kami sama-sama beristirahat sebelum tidur. Beberapa kali pembicaraan kami melewati jam tidur, karena kami berdua sama-sama tidak ingin mengakhir percakapan. Pernah sekali waktu aku sampai tertidur dengan ponsel masih tergenggam di tanganku. Aku tidak tahu bagaimana nanti kalau Bangkit harus bekerja agak lama di luar negeri, pasti aku akan merasa sangat kesepian. Karena ada satu rutinitas yang hilang.
Saat aku keluar dari kamar membawa tas dan kaca mata hitamku, Bangkit sedang duduk di sofa di depan televisi dan berbicara di telepon. Nada bicaranya serius sekali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top