LIMA
Teman-teman, kalau di antara kamu ada yang ingin ikut webinar tentang menulis baik cerpen atau novel, aku akan hadir menjadi narasumber/pemateri dalam 2 webinar tanggal 18 Februari dan 25 Februari 2023. Kamu bisa daftarkan dirimu ya, supaya bisa dapat link ruang zoom-nya. Cek informasinya di Instagram ikavihara. Postingan yang ada fotoku berkerudung kuning hehehe. Nanti kamu bisa tanya-tanya langsung padaku. Yuk, ikut, jangan sampai ketinggalan :-)
***
"Sebelum itu, Ela, ada pertanyaan penting yang harus jawab. Apa kamu masih mencintai Darwin?"
"Cinta?" Giliranku ingin tertawa. "Sudah lama banget aku nggak bicara sama dia. Kamu tahu sendiri kan, aku mati-matian melupakannya."
"Tapi dia janji akan menjemputmu ke sini nanti. Kalau dia sudah tamat kuliah. Mau melamarmu. Aku nggak akan berkomentar apa-apa, Ela, seandainya kamu jujur kalau kamu menunggu Darwin menepati janjinya." Sali melirik sekilas ke arahku.
"Nggak ada yang salah juga kalau kamu masih mencintai Darwin, Ela. Yang salah adalah, kamu mencari seseorang untuk mengisi kekosongan sembari menunggu Darwin pulang. Kalau kamu mau memulai sebuah hubungan, apalagi dengan sepupuku yang tersayang, aku berharap kamu sudah ... siap menyerahkan seluruh hatimu. Bukan separuh kamu berikan, separuhnya lagi masih tertawan di masa lalu."
Seringnya, faktor yang membuat seseorang sulit berhenti mencintai adalah kenangan yang dimiliki bersama, janji yang pernah dibuat bersama, dan waktu yang telah dilalui bersama. Ketiganya ada dalam diriku. Setelah Darwin mencampakkanku, aku mengakui aku masih sering memandangi fotoku bersama Darwin, membaca ulang janji yang disampaikan Darwin melalui pesan-pesan singkat yang sampai hari ini masih kusimpan, dan merasa bahwa empat tahun hubungan kami harus berakhir dengan pernikahan.
"Melupakan seseorang perlu waktu," kataku saat Sali memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel bintang lima. Di restoran terbuka di dalam sebuah hotel, kami akan makan siang bersama teman-teman. "It can' t be cured for just an hour or in just one night. Sometimes it takes months or a years. Sampai hari ini, aku nggak bisa bilang ... aku sudah seratus persen melupakan Darwin. Mungkin sampai kapan pun aku nggak akan pernah melupakan Darwin sepenuhnya, sebab dia adalah bagian dari hidupku, dia salah satu orang yang mendewasakanku. Yang mengajariku mengenai cinta.
"Tapi lambat-laun, aku nggak akan lagi mencintai Darwin sebagai kekasih. Tapi sebagai ... aku nggak tahu apa. Yang jelas bukan cinta seperti saat kami bersama dulu. Aku ngerti, Sal, kalau kamu nggak mau ngenalin sepupumu padaku. That's okay. Mungkin kamu berpikir ... aku akan memanfaatkan sepupumu untuk menyembuhkan patah hatiku. Meskipun aku nggak akan melakukannya.
"The thing is, Sal, I don't need any man ... anyone ... to heal me. The pain in my heart is healed by time and the people who love me, including you, my sibling, my parents, our friends. Kalau aku ingin jalan sama Bangkit, niatku hanya ... oke, apa salahnya aku dan Bangkit kenalan lebih jauh? Kalau memang nggak ada prospek asmara, kami tetap bisa berteman, iya kan? Nggak ada ruginya?" Kami sama-sama diam, tidak bergegas keluar dari mobil meski kami sudah terlambat lima belas menit dari waktu janjian.
"Sekarang aku justru mengkhawatirkan Bangkit. Khawatir kalau Bangkit akan memanfaatkanmu. Dia laki-laki yang baik, tapi ... dia belum sembuh betul. Atau nggak akan pernah sembuh. Kamu bukan satu-satunya orang yang terluka karena cinta, Ela. Juga, dia susah sekali ditebak. Satu hari dia bersosialisasi dengan baik, seminggu kemudian dia menghilang tanpa kabar." Jawaban Sali ini di luar dugaanku. "Hubungan kalian nggak akan jauh beda dengan hubunganmu dan Darwin dulu. Sulit berkomunikasi."
"Memangnya dia habis kenapa? Putus juga?"
"Aku nggak bisa menceritakan padamu, Ela. Itu ... hak Bangkit mau menceritakan pada siapa. Mungkin kalau kamu dan Bangkit bisa berteman, dia akan menceritakan padamu." Sali tersenyum kepadaku sebelum membuka pintu mobil. "Ya sudah, aku akan mempertemukan kalian. Mungkin kamu betul, siapa tahu kalian bisa sama-sama saling memanfaatkan. Saling menyembuhkan. Dan kamu juga betul, nggak ada yang salah dengan menambah teman baru."
***
Sepertinya hanya aku satu-satunya orang di dunia yang memperlakukan kencan pertama sama dengan wawancara kerja. Selama seminggu aku rajin mencari tahu mengenai Bangkit melalui Sali. Supaya ada bahan obrolan saat kami bertemu nanti. Kecuali mengenai masa lalu sepupunya, Sali menjawab semua pertanyaanku. Siapa nama lengkapnya—Bangkit Aksha Atmaja, di mana Bangkit bekerja dan sebagai apa, apa hobinya, berapa bersaudara, dan sebagainya sudah kupelajari dengan baik. Aku juga sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuk Bangkit, siapa tahu dia adalah orang yang tidak mau bicara kalau tidak ditanya lebih dulu. Susunan acara juga sudah selesai kubuat. Tidak mungkin kami hanya akan duduk di restoran selama tiga atau empat jam dan mengobrol saja. Kami perlu menggerakkan badan dan menurunkan makanan di perut.
I always take it as my responsibility to plan the date. Sejak masih pacaran dengan Darwin dulu, aku selalu merencanakan setiap kencan kami dengan baik. Karena aku paling tidak suka pergi keluar rumah, lalu di jalan bingung akan ke mana atau melakukan apa. Meminta Darwin memilih kegiatan juga tidak ada gunanya. Dia selalu menjawab terserah. Untungnya, Darwin bukan tipe pengeluh. Meskipun Darwin tidak suka dengan tempat atau kegiatan yang kupilih, dia tidak pernah menunjukkan ketidaksukaannya. Tidak pernah protes dan selalu menjalani kencan kami dengan penuh tawa.
"Apa saja yang membuatmu bahagia, aku menyukainya," kata Darwin saat aku memutuskan kencan kami hari itu adalah menyaksikan chef terkenal melakukan demo masak di mal.
Aku sengaja memilih kegiatan itu, hanya karena aku kesal mendapat jawaban 'terserah' setiap kali bertanya besok kami ma uke mana. Siapa pun tahu Darwin tidak nyaman duduk bersamaku dan banyak wanita-wanita seusiaku—yang datang hanya untuk melihat chef tampan—yang menjerit-jerit hanya karena melihat seseorang memasak nasi goreng buah naga. Yang terlihat tidak menyelerakan.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Bagaimana mungkin saat aku sedang bersiap-siap untuk kencan pertamaku yang kedua—double date dengan Sali dan teman laki-lakinya—setelah sangat lama tidak berkencan, aku justru sibuk memikirkan Darwin? Buang-buang waktu saja. Tetap tidak ada komunikasi sama sekali di antara aku dan Darwin. Sesuatu yang harus kusyukuri, dengan begitu tidak ada ikatan di antara kami dan aku tidak didera perasaan bersalah ketika aku ingin mengenal dan dekat laki-laki lain. Dengan begini keyakinan Sali terbantahkan. Berakhirnya hubunganku dengan Bangkit bukan untuk sementara. Tetapi selama-lamanya.
Karena waktu yang kumiliki tidak banyak, aku mempercepat persiapanku. Sudah tidak ada yang salah dengan eyeliner mataku. Meskipun gugup, aku masih bisa menjaga tanganku tidak gemetar dan menghindari risiko mataku tercolok eyeliner.
Di atas meja rias, ponselku berbunyi dan aku segera memeriksanya. Pesan dari Sali.
Aku sudah di bawah. Males ke atas, capek.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Ini saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada semua angan-anganku tentang masa depan bersama Darwin. Tentang kebahagiaan abadi bersamanya selama-lamanya. Mulai dari sini, aku akan memulai hidup baru. Dengan orang baru dan pandangan yang baru. Memang tidak ada jaminan bahwa pertemuan pertamaku dengan Bangkit—secara resmi—sore ini akan berkembang ke arah yang lebih serius. Tetapi ini kuanggap sebagai sebuah kemajuan. Setelah berbulan-bulan merasa tidak berharga, karena dicampakkan oleh seseorang yang sangat kucintai, akhirnya aku memiliki keberanian untuk membuka hati lagi. Sekarag aku merasa pantas untuk dicintai lagi.
Mungkin aku terlalu percaya pada kutipan murahan yang beredar di media sosial. Hati yang patah ibarat kaca yang pecah, katanya. Meskipun bisa disusun ulang, disatukan kembali, bentuknya tidak akan sama lagi. Padahal kalau orang tidak malas berpikir, mereka pasti tahu bahwa pecahan kaca tersebut bisa dilebur kembali dan dibentuk menjadi benda baru, yang lebih indah daripada sebelumnya.
Cepat-cepat aku keluar dan mengunci pintu, sambil membaca pesan baru dari Sali.
Kita naik mobilnya gebetanku. Nggak jadi bawa mobilku dan ketemu mereka di sana. Karena aku malas nyetir, susah cari parkir nanti.
Aku mengeluh dalam hati, menyesalkan kenapa Sali tidak membawa mobil sendiri, sehingga kami ada waktu untuk bicara berdua. Sebelum aku berhadapan dengan Bangkit. Aku memerlukan seseorang untuk meyakinkanku bahwa kencan ini akan berjalan dengan lancar. Plus, aku ingin mendapat bocoran apakah Bangkit sama antusiasnya denganku menyambut kencan pertama ini.
"Ela!" Sali melambaikan tangan padaku ketika aku keluar dari lift.
Seperti biasa, setiap datang ke sini, dia selalu mengobrol akrab dengan Teguh, satpam paruh baya yang berjaga di sini. Biasanya Sali juga membawa hadiah-hadiah kecil seperti boneka atau topi untuk diberikan kepada anak Teguh.
"Kenapa kamu nggak bawa mobil sendiri sih, Sal?" Protesku ketika kami menuju tempat parkir tamu di halaman depan gedung apartemen. "Aku masih perlu latihan percakapan nih, supaya nanti nggak gagap waktu ngobrol sama Bangkit."
"Kenapa aku nggak bawa mobil sendiri?" Sali berhenti dan menatapku tidak percaya. Seperti aku baru saja menanyakan kenapa dia masih di sini, belum menciptakan roket untuk mengantarnya naik ke Stasiun Ruang Angkasa Internasional. Jawabannya sudah diketahui banyak orang, karena Sali takut ketinggian. "Ya supaya nanti Bangkit bisa nganterin kamu pulanglah. Aku akan pakai alasan harus mampir ke mana dulu sama Hannes. Kami nanti punya acara sendiri ya, nggak terus-terusan mengawasi kalian berdua."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top