ENAM BELAS

"Aku tidak keberatan selamanya tertipu oleh penampilanmu. I missed you so much." Bangkit memelukku dari belakang dan mengubur wajahnya di lekuk leherku. "Waktu sampai di rumah tadi, aku merasa ... aku tidak suka pulang ke rumah kosong. Seharusnya saat aku pulang ke rumah, ada kamu yang sedang menungguku. Tersenyum cantik seperti tadi. Menyambutku dengan bahagia. Dan menciumku dengan betul. Itu tadi ciuman apa? Dari siapa kamu belajar?"

Aku berbalik dan menyandarkan bagian belakang tubuhku di meja makan. Jemariku bergerak untuk menyentuh wajah Bangkit. Bangkit meletakkan tangannya di pinggulku. Malam ini Bangkit tampan sekali. Gagah mengenakan setelan berwarna hitam, tanpa dasi. Wajahnya sudah dicukur bersih. Tanpa dicegah, jari-jariku bergerak menelusuri jejak biru di sepanjang rahangnya.

"I missed you too. Aku ingin ngasih tahu kamu buat langsung ke sini saja setelah kamu bilang sudah mendarat tadi. Tapi ... kurasa kamu perlu mandi dan lain-lain setelah bepergian. Aku nggak nyaman kalau kamu melakukannya di sini," kataku.

"Suatu hari nanti, kamu akan tinggal di rumahku—di rumah kita. Jadi kita tidak berpisah kalau benar-benar tidak perlu. Saat kita berdua sudah siap, aku menginginkan itu." Bangkit menatap mataku dalam-dalam. "Aku tidak perlu mandi dulu buat ketemu kamu."

Aku terbahak. "Ya tapi aku nggak mau juga peluk-peluk kamu yang masih kecut."

"Kecutnya orang bekerja keras itu berkah tahu."

Menikah dengan Bangkit, tinggal serumah dengannya, menunggunya pulang dari luar kota, saling melepas rindu tanpa perlu menunggu. Aku terlalu sering membayangkannya. Hanya saja dalam bayanganku, Bangkit tidak membawakan bunga, karena aku pikir dia bukan orang yang romantis. "Sama kayak kamu, aku juga sering membayangkan itu, tapi...."

Bangkit menunggu lanjutan kalimatku dengan sabar.

Aku menarik napas panjang sebelum kembali bicara. "Tapi aku nggak ingin buru-buru. Aku masih perlu mengenalmu ... lebih jauh lagi. Aku ingin tahu segalanya tentang kamu. Tentang keluargamu. Teman-temanmu. Termasuk masa lalumu. Penting atau nggak penting, masa lalumu berperan membentuk dirimu menjadi Bangkit yang kukenal sekarang, yang membuatku jatuh cinta. Karena itu aku ingin ... memahami dan memberi penghargaan pada masa lalumu."

"Semua itu penting. Aku akan mengenalkanmu pada keluargaku, pada teman-temanku. Masa laluku ... kamu perlu mengetahuinya. Harus. Aku pasti menceritakannya padamu, Ela. Tapi tidak malam ini. Karena kalau kita tidak berangkat, kita akan terlambat makan malam. Kamu tidak mau, kan, sudah dandan cantik sekali begini, akhirnya hanya duduk di dapur dan makan nasi goreng cumi?" Bangkit mencium keningku dan membimbingku untuk bergerak meninggalkan dapur.

Dalam hati aku mencatat untuk mentraktir Sali makan siang besok, sebagai rasa terima kasih karena dia sudah memaksaku membeli gaun baru—berwarna hitam, tanpa lengan dan pas badan. Kerahnya tidak terlalu rendah, sehingga aku masih bisa bergerak tanpa rasa khawatir. Belahan gaun memperlihatkan kakiku setiap kali aku melangkah. Dengan sepatu berhak setinggi dua belas sentimeter, selisih tinggi badanku dan Bangkit tidak terlalu jauh. Setiap kali Bangkit menatapku penuh kekaguman, aku sudah lupa sama sekali dengan kenyataan bahwa, sampai sore tadi, aku masih mengeluhkan harga baju ini.

"Dasimu belum dipasang," kataku sebelum membua pintu.

"Aku sengaja. Supaya bisa minta tolong kamu untuk memasangkan." Bangkit menyerahkan dasinya kepadaku. "Dan bisa menciummu sebagai ucapan terima kasih ."

***

"Sali bilang begitu? Hmmm ... aku dan Bella tidak keberatan saat Papa menikah lagi. Aku dan Bella menerima Tante Marisa ... calon istri Papa ... karena dia wanita yang baik. Lama-lama kami menyukainya. Meski masih muda dan harus menjadi ibu untuk anak remaja menyebalkan seperti Bella, Tante Marisa sama sekali tidak mengeluh. Sabar sekali dia itu.

"Aku biasa saja saat tahu Mama hamil. Karena ya ... Mama masih muda, tidak mungkin puas hanya menjadi ibu untuk aku dan Bella. Tapi Bella marah sekali saat tahu Mama hamil. Waktu itu umurku hampir empat belas tahun, Bella tujuh belas. Kata Bella, gimana mungkin orang yang sudah pantas punya anak sepertinya, punya adik bayi."

Setelah menyelesaikan menu utama kami mengobrol. Menunggu makanan di perut turun sebelum meminta makanan penutup dihidangkan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengonfirmasi cerita Sali langsung kepada Bangkit.

Sudah lama aku mendengar rekomendasi untuk restoran bintang lima di salah satu hotel terbesar ini. Katanya menu di sini disiapkan oleh salah satu chef terbaik di Indonesia. Untung sekarang aku punya kekasih yang bisa menemaniku makan di restoran mana pun yang kuinginkan. Sempat juga terpikir olehku untuk makan di sini bersama Sali dan teman-teman kami yang lain. Tetapi kupikir harga yang dibayar terlalu berlebihan, kalau kami duduk di sini untuk hanya mengeluhkan atasan kami di kantor.

"Kamu bukan remaja yang menyebalkan? Kamu nggak keberatan sama sekali punya adik bayi?"

"Menyebalkan? Aku? No! Aku remaja idaman para orangtua," jawab Bangkit dan aku tertawa kecil.

"Ya aku tidak keberatan. Tapi aku juga ... tidak mau ketahuan teman-temanku aku sedang menggendong bayi. Jadi aku dan Bella menolak menjaga bayi itu saat kedua orangtua kami ada acara dan tidak mungkin membawa bayi. Benar kata Bella. Kamu akan merasa bayi itu anakmu, bukan adikmu. Karena usia kami jauh sekali. Tapi lama-lama, aku dan Bella menyayangi Mile. Juga Marieta, yang lahir dua tahun kemudian," lanjutnya. "Mereka lucu."

"Berapa umur mereka sekarang?"

"Lima belas dan tiga belas tahun. Setiap hari mereka meneleponku untuk minta uang. Aku tidak tahu seberapa banyak kebutuhan remaja, sampai uang saku dari orangtua kami tidak cukup untuk jajan." Bangkit tertawa pelan. "Seingatku aku tidak membutuhkan banyak uang saat seusia mereka."

"Kalau aku seumuran mereka, punya kakak yang sudah bekerja, aku juga akan minta uang terus, memaksa sampai dikasih kalau perlu. Nggak peduli uang itu kuperlukan atau nggak."

"Kakakmu pelit ya?"

"Banget. Sudah kerja pun dia nggak pernah memberiku uang. Sama sekali."

"Jadi orangtuamu tinggal di mana?"

"Di Selandia Baru sekarang. Ayahku duta besar di sana. Mama ikut. Kalau kakakku yang pelit itu tinggal di Australia, mendampingi kakak iparku yang sedang kuliah di sana. Walaupun aku sering rebut dengan kakakku, tapi aku kangen sama dia kalau lama nggak ketemu. Dia kakak terbaik yang pernah kumiliki." Tiba-tiba aku merindukan keluargaku. Sangat rindu? Sudah berapa lama kami tidak berkumpul bersama?

"Kapan terakhir kali kalian bertemu?"

"Mungkin enam bulan yang lalu? Waktu kakakku menikah. Nanti waktu kakak iparku melahirkan, aku akan pergi ke Australia dan bertemu dengan mereka semua. Come hell and high water, aku akan ada di sana saat keponakanku pertamaku lahir."

"Kalau aku dan kakakmu bertemu, apa menurutmu ... kami bisa berteman?"

"Kenapa nggak?"

"Mungkin dia protektif dan ... selektif? Kalau menyangkut teman dekat adik satu-satunya?"

"Asalkan kamu nggak menyakitiku, kakakku nggak akan macam-macam."

"Hari Sabtu nanti, apa kamu mau ikut makan malam bersama keluargaku? Kalau kamu tidak keberatan bertemu seorang ibu yang selalu ingin tahu urusan orang lain, seorang ayah yang suka sekali memasak, dan dua anak remaja yang tidak bisa berhenti makan."

"Apa kamu yakin? Nggak terlalu cepat untuk berkenalan dengan keluargamu?"

Selama pacarana dengan Darwin, aku dekat dengan keluarganya. Baik dengan kedua orangtuanya maupun kakak dan adik perempuannya. Tetapi saat itu aku tidak memiliki beban apa-apa saat bertemu mereka. Pertemuan tersebut bahkan tidak disengaha. Ketika aku dan Darwin keluar dari bioskop, Darwin mendapat telepon dari ibunya, yang memberi tahu bahwa mereka sekeluarga sedang makan malam di luar. Lalu menawari Darwin menyusul. Karena aku sedang bersama Darwin, Darwin menanyaiku apa aku mau makan malam bersamanya keluarganya dan aku mengiyakan. Bisa makan di restoran Jepang gratis, kenapa harus ditolak?

Tidak ada yang mengharapkan aku dan Darwin menikah pada waktu itu. Kami masih berusia sembilan belas tahun dan pertanyaan-pertanyaan yang kudapat dari orangtua Darwin hanya sebatas urusan kuliah dan sedikit tentang keluargaku. Santai saja aku tertawa bersama Daisy—kakak perempuan Darwin—dan Dania—adik perempuannya. Aku seperti menemukan kakak dan adik perempuan yang tak pernah kumiliki. Setelah itu, beberapa kali keluarga Darwin mengajakku jalan-jalan bersama mereka dan sering mengundangku ke rumah mereka.

Berkenalan dengan keluarga Bangkit akan jauh berbeda kejadiannya. Jika laki-laki seusia Bangkit mengajak seorang wanita ke rumah orangtuanya, bertemu orangtuanya, maka tindakan tersebut mengindikasikan level keseriusan sebuah hubungan. Terutama setelah Bangkit lama tidak punya kekasih. Beban untukku tentu lebih berat lagi. Pertanyaan yang kuterima akan berkaitan dengan hubungan kami dan masa depan hubungan kami. Kapan kami akan menikah pasti akan ditanyakan. Aku siap menikah dengan Bangkit, tentu saja, tapi aku masih ingin lebih dulu mengetahui seperti apa masa lalunya. Selama Bangkit belum memercayaiku untuk menceritakannya, aku tidak akan menikah dengannya.

***

Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Aku belum balas-balas lagi karena aku masih merevisi naskah novel yang kutulis. Huhuhu, nggak selesai-selesai. karena menulis novel itu syusyah dan perlu waktu lama :-)

Thank You.

Follow me: Instagram/Facebook/twitter/Tiktok ikavihara, WhatsApp me 083155861228

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top