ENAM

Sorry, aku terlambat update. Tadi malam ada seseorang yang membuatku marah sampai kepalaku keluar api dan aku nggak bisa berpikir. Aku nggak pernah semarah itu dalam hidupku. Anyway, aku berencana update dua kali seminggu dan sepertinya akan bisa kulakukan. Jadwalku sudah agak melandai. Jadi nanti Jumat aku akan datang lagi.

Kalau kamu ingin 'ketemu' denganku secara virtual, aku akan live Instagram nanti pada tanggal 25 Februari jam 12 siang. Follow Instagram ikavihara supaya nggak ketinggalan info dan acaranya, karena akan ada giveaway menarik juga. Karena itu acara bincang-bincang, kamu juga punya kesempatan buat tanya-tanya kepadaku :-)

***

"Tahu gitu aku berangkat sendiri. Kalau pertemuanku sama Bangkit nanti awkward, apa dia masih mau nganterin aku pulang?" Aku masih menggerutu saat membuka pintu belakang mobil milik teman kencan Sali kali ini. Iya, kali ini, karena sahabatku ini tidak pernah kehabisan teman laki-laki yang bisa diajak untuk mengisi waktu luang.

"Hun, kenalin ini sahabat aku, Elaisa. Ela, kenalin ini pacarku, Hannes," kata Sali saat kami semua sudah duduk rapi di dalam mobil.

Hun? Apa-apan itu? Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Sejak kapan Sali mau memanggil 'Hun' kepada seseorang? Terutama teman laki-lakinya?

Aku dan Hannes saling bertukar senyum.

"Wow, aku beruntung banget, bisa malam mingguan bersama dua wanita cantik. Mimpi apa aku tadi malam." Hannes berbasa-basi. "Tapi kamu yang nomor satu, Sayang. Selalu. Nggak akan pernah terganti." Lalu cepat-cepat menambahkan saat Sali menatapnya dengan tajam.

Aku tertawa dan mengeluarkan ponsel, lalu mengetik pesan kepada Sali saat mobil Hanne melaju di jalan raya.

Pacar? Kapan jadian? Kenapa aku nggak tahu?

Tidak sampai setengah menit kemudian, Sali membalas.

Tadi sebelum berangkat jadiannya.

Adakah ada manusia lain yang lebih berani daripada Sali di dunia ini? Kurasa tidak ada. Aku berani mempertaruhkan gajiku bulan depan bahwa Sali tidak memikirkan masak-masak keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Hannes.

Kenal di mana sama dia?

Seingatku Sali sama sekali tidak pernah menyebut bahwa dia sedang dekat dengan laki-laki mana pun selama ini. Kecuali bintang iklan pasta gigi yang lebih muda darinya. Yang terlibat proyek produk yang sama dengan Sali.

Dia sahabat abangku. Ganteng, kan? Aku udah naksir dia sejak aku belum puber. Tapi dia harus kuliah ke luar negeri dan lama banget di sana. Baru balik ini.

Tepat seperti dugaanku. Sali tidak lebih dulu menjajaki—dengan pertemana—apakah dirinya dan Hannes tepat untuk satu sama lain. Dengan cepat menulis pesan lagi.

Kenapa nggak pernah cerita? Kamu nggak merasa ini terburu-buru?

Saat aku menyukai Darwin dulu, aku menceritakan segalanya kepada Sali. Termasuk kejadian memalukan ketika aku menyenggol mangkuk soto di kantin, hanya karena aku gugup disapa dan didekati Darwin.

Aku nggak punya banyak waktu buat dibuang-buang.

Hanya itu saja jawaban dari Sali.

Kenapa kamu nggak cerita apa-apa sama aku?

Sebagai sahabat dekatnya, aku merasa aku harus menjadi orang yang pertama tahu setiap kali ada perubahan dalam hidup Sali. Lebih-lebih perubahannya sangat signifikan seperti ini.

Setelah kamu patah hati, kamu jadi sinis terhadap cinta, Ela. Kalau aku cerita, kamu pasti akan menguliahiku untuk nggak jatuh cinta dulu, berpikir dulu sebelum menerima perasaannya, macam-macam lagi. Aku sudah menunggu Hannes belasan tahun dan aku nggak mau membuang waktu lagi.

Aku tidak membalas pesan tersebut. Bagaimana aku tidak sinis terhadap cinta? I loved someone so hard and I wanted the same kind of love back. But that didn't really happen. Mungkin di situlah salahku, aku terlalu mencintai Darwin. Ah, aku bahkan berani mengatakan bahwa aku mencintainya melebihi apa pun di dunia ini. Tetapi apa yang kudapat sebagai balasannya? Once he knew I loved him with all my heart and soul, he started taking me for granted and didn't pay much love to me.

Setelah kejadian itu, bagaimana aku tidak semakin berhati-hati, meminta orang lain berhati-hati, kalau menyangkut urusan cinta. Sebab aku sudah tahu pahitnya patah hati dan aku ingin menyelamatkan orang dari rasa sakit yang sama. Walaupun aku tahu itu tidak mungkin. Menurut nasihat kakak iparku beberapa waktu yang lalu, satu-satunya cara untuk menghindari risiko patah hati adalah dengan tidak jatuh cinta sama sekali.

"Siapa pun yang pernah merasakan indahnya cinta, Ela, pasti ingin mencintai dan dicintai lagi. Nggak peduli kamu pernah patah hati, sampai merasa tidak berguna hidup lagi, akan ada masa di mana cinta datang mengetuk pintu hatimu dan kamu nggak memiliki pilihan lain selain menerimanya. Menanggung lagi risiko patah hati," kata kakak iparku lagi.

Sama seperti Sali, kakak iparku juga berpendapat berpisah sementara adalah yang terbaik bagiku dan Darwin. Tidak tahu berapa lama 'sementara' yang dimaksud. "Mungkin kalian sedang bosan saja setelah pacaran selama lebih dari empat tahun. Perlu waktu untuk ... ya mencintai diri sendiri, bicara dengan diri sendiri."

Kalau mengikut teori mereka berdua, kakak iparku dan Sali, berarti cinta bisa luntur seiring berjalannya waktu. Seseorang, lambat-laun, bisa bosan menjalani hidup bersama kekasih yang mereka cintai. Jika dalam tahap pacarana masih mudah untuk break sejenak. Namun bagaimana kalau sudah menikah? Mau pisah rumah untuk sementara waktu? Bagiku pendapat mereka benar-benar tidak bisa kuterima dengan akal sehat.

Cinta akan membosankan bagi orang-orang yang tidak paham maknanya, menurutku. Juga, cinta tidak akan tumbuh semakin kuat seiring berjalannya waktu bagi orang-orang yang tidak tahu bagaimana cara merawatnya. Orang-orang yang kumaksud adalah mereka yang belum pernah mencintai dan dicintai dengan benar dan memutuskan untuk menyalahkan cinta, bukannya menunjuk diri mereka sendiri sebagai penyebab patah hati. Aku pernah melakukan itu pada awal-awal putus dengan Darwin dulu. Tetapi sekarang, setelah banyak merenung dan memutar kembali perjalanan cintaku, pandanganku berubah.

Seseorang yang mengaku mencintai kekasihnya semestinya bertindak seperti bunga, yang tetap memberikan bau harum kepada tangan yang telah meremasnya. Sayangnya, aku belum bisa menerapkan filosofi tersebut. Bersikap baik kepada seseorang yang menyakitiku. Setelah Darwin menghancurkan hatiku, aku ingin mengatakan hal-hal buruk tentang dirinya kepada siapa pun yang mau mendengarnya, supaya orang memaklumi kenapa hubunganku dengan Darwin harus berakhir. Agar orang mendukung langkahku untuk menghapus Darwin dari sejarah hidupku.

Keinginan itu muncul sedemikian kuat setiap kali ada teman kami yang bertanya bagaimana kabar Darwin di Amerika. Atau kapan Darwin akan kembali ke Indonesia. Demi menghindari menambah dosa, aku memilih untuk tidak terlalu sering berkomunikasi dengan mutualfriends kami. Lagi pula aku tidak mau malu, ketahuan masih menyimpan amarah dan kekecewaan, dan gagal move on, setelah dicampakkan.

Orang-orang terdekatku sudah paham bahwa Darwin adalah topik yang tidak boleh dibawa ketika bicara denganku. Atau aku tidak akan pernah mau lagi bercakap dengan mereka. Hanya Sali yang mendapat pengecualian dariku. Sebagai sahabatku, dia berhak bertanya mengenai Darwin dan perasaanku terhadap Darwin kapan pun dia mau. Sekarang, privilege Sali bertambah, sebab diam au mengenalkanku dengan sepupunya. Yang, kuharap, lebih baik daripada Darwin.

***

Aku sedang berada di bawah tekanan tahap dua, setelah satu jam yang lalu lepas dari tekanan tahap pertama. Tekanan tahap pertama dimulai saat memilih baju, sepatu, sampai parfum yang akan kupakai. Setelah itu, masuk tahap dua, di mana aku sibuk merisaukan bagaimana kesan pertama yang ditangkap Bangkit ketika aku bicara padanya. Apakah di matanya aku cukup cerdas dan menyenangkan, atau tidak menarik dan membosankan. Belum lagi aku sibuk memikirkan bagaimana kalau aku tidak bisa mengikuti pembicaraan lalu Bangkit akan menganggapku kurang berwawasan atau apa.

Sali dan Hannes mendominasi percakapan sepanjang makan malam kami. Sesekali mereka bertanya kepadaku atau Bangkit. Aku ingin memberi ucapan selamat pada diriku sendiri, karena di tengah rasa gugup, aku masih sanggup mengeluarkan pendapat yang masuk akal. Sedangkan Bangkit, masih sama seperti saat pertama kali kamu bertemu dulu, menjawan dengan satu atau dua kata saja. Benar-benar irit bicara.

Lima menit aku duduk diam berhadapan dengan Bangkit, setelah Sali meninggalkan kami dengan alasan harus menemani Hannes membeli running shoes di salah satu toko olahraga ternama di seberang jalan. Tinggallah aku berdua dengan Bangkit. Menikmati keheningan yang tidak menyenangkan. Bukan aku tidak bisa memulai percakapan, tapi aku terlalu sibuk memperhatikan sosoknya. Iya, aku sedang membandingkan Bangkit dengan Darwin. Penampilan mereka sama-sama menarik, tapi Bangkit terkesan lebih dewasa dari segala sisi dibanding Darwin. Mungkin karena pengaruh usia dan pengalaman hidup. Dari informasi yang kudapat dari Sali, Bangkit lima tahun lebih tua dari kami.

"Elaisa." Suara Bangkit membuatku mengerjapkan mata.

Ini adalah kali pertama Bangkit menyebut namaku. Dengan begitu lembut dan ... penuh perhatian? Aku tertawa dalam hati. Sepertinya aku kebanyakan berhalusinasi. Tidak mungkin Bangkit memanggilku dengan cara spesial seperti itu. Karena aku bukan siapa-siapanya. Kami baru kenal beberapa jam saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top