EMPAT

Oh iya, buat kamu yang bertanya apa cerita ini ada hubungan dengan cerita sebelumnya? Jawabannya ada. Darwin yang dighibahin di sini adalah Darwin Dewanata dari ceritaku yang berjudul 'Savara: You Belong With Me'. Elaisa ini mantan pacarnya Darwin, yang ditinggalin Darwin lalu ditangisi sama Darwin :-D Jadi ini termasuk cerita lamaku ya, sambil nunggu aku menyelesaikan cerita baru aku unggah.

Aku belum balas-balas komentar yaaa, karena aku masih konsen menulis cerita baru T_T

***

Sama seperti Darwin, rambut-rambut di rahang laki-laki yang semobil denganku juga tumbuh menjelang pukul dua belas siang. Pagi hari dicukur, jam segini sudah muncul jejak-jejak berwarna gelap di sana. Seksi sekali. Tubuhnya tampak sangat besar saat duduk di sela kemudi dan kursi mobil Sali yang mungil ini.

"Ela!" Sali menegurku yang tidak juga menutup pintu.

"Sorry." Aku menutup pintu dan memperbaiki posisi dudukku.

"Kenalkan, El, ini Bangkit, sepupuku. Bangkit, itu Elaisa. Temen sejak kuliah." Sesi perkenalan singkat siang ini dimoderatori oleh Sali.

"Hei. Nice to meet you." Very nice, aku menyeringai dalam hati sambil. Aku melambaikan tangan sedikit.

Walaupun aku tidak puas dengan cara Sali mengenalkan kami. Kenapa hanya begitu saja? Cuma menyebutkan nama? Seharusnya Sali menyebutkan berapa usia sepupunya, apa pekerjaannya dan dia tinggal di mana. Kalau perlu nomor ponselnya sekalian diberitahukan. Juga status hubungan, apa Bangkit punya pacar atau tidak. Seingatku Sali tidak pernah cerita dia harus menghadiri pernikahan sepupunya yang bernama Bangkit.

Bangkit tidak menanggapi. Tersenyum saja tidak. Hanya melirikku—agak lama—melalui rear-view mirror.

"Jangan sok jual mahal begitu. Dikenalin sama cewek cantik juga." Sali memukul lengan sepupunya, yang langsung memandang lurus ke depan lagi setelah curi-curi pandang sebentar padaku.

Setelah Darwin, laki-laki yang tahu bagaimana caranya bercakap, tersenyum, dan membuat para wanita tergila-gila hanya karena mendengar suaranya, mungkin sekarang seleraku berubah. Aku lebih tertarik pada laki-laki yang berpura-pura tak peduli saat bertemu denganku. Kalau tidak ingat aku baru saja patah hati, aku akan melihat diamnya Bangkit sebagai tantangan. Jurus-jurus andalanku akan kukeluarkan untuk membuatnya mengucapkan beberapa patah kata kepadaku.

Aku benar-benar tidak paham dengan cara kerja hatiku sendiri. Setelah aku mengumumkan bahwa hubunganku dengan Darwin berakhir, beberapa teman laki-laki—dari kantor maupun dari kampusd dulu, mencoba mengajakku bertemu. Sesuai dengan tujuanku membuat penguman itu. Tetapi aku selalu menolak. Kenapa sekarang aku justru berharap bisa berkencan oleh sepupu Sali ini?

Tidak ada suara percakapan selama sisa perjalanan menuju rumah Bangkit. Aku tidak lagi berminat untuk membahas topik-topik rumpi yang biasa kuobrolkan dengan Sali. Atau kembali mencurahkan isi hatiku dan melaporkan progresku dalam mengobati patah hati kepada Sali. Selama ada makhluk seksi seperti Bangkit dalam radius satu meter dariku, aku tidak yakin aku bisa merangkai satu kalimat dengan benar. Sali juga sibuk sendiri dengan ponselnya. Sementara itu sepupunya melakukan tugasnya mengemudikan mobil Sali dengan cepat dan aman. Dalam diam.

Jalanan di akhir pekan tidak ramai. Aku melempar pandangan ke luar jendela, menghitung jumlah minimarket—yang semakin menjamur—yang tertangkap mataku. Karena apa lagi yang harus kulakukan? Bersenandung? Suaraku tidak terlalu bagus.

"Terima kasih, Sal." Suara Bangkit membuatku mengerjapkan mata.

Setelah hening selama dua puluh menit, mobil Sali berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih. Keningku berkerut. Sepertinya aku pernah datang ke daerah ini. Tetapi kapan? Aku berusaha menggali ingatanku. Oh! Hampir-hampir aku menjentikkan jariku. Darwin pernah tinggal di sini bersama kedua orangtuanya. Sebelum orangtuanya pindah ke kota lain karena pekerjaan. Setelah itu, Darwin dan kakak perempuannya menyewa sebuah rumah yang lebih kecil dan menempati rumah tersebut sepanjang masa kuliah.

Aku turun untuk ganti formasi, duduk di kursi depan yang sebelumnya ditempati Sali. Sedangkan Sali menggantikan Bangkit mengemudi.

Sali melambaikan tangan sekali lagi sebelum membawa mobilnya meninggalkan Bangkit yang masih berdiri di depan rumah, menunggu sampai kami berbelok di ujung jalan.

"Sali!!!" Aku mengguncang lengan sahabatku dengan gemas. "Kenapa kamu nggak cerita kalau kamu punya sepupu ganteng dan seksi gitu? Astaga! Rugi banget aku jomlo terus-terusan setelah ditinggal Darwin! Padahal kamu punya sepupu yang hawt banget. Dia masih single kan, Sal? Please, bilang kalau dia masih single dan aku belum terlambat!"

Hanya beberapa menit memperhatikan Bangkit, aku sudah bisa merekam sosoknya dengan sempurna. Suaranya yang dalam dan seksi. Cara berjalannya yang tenang, seperti sadar seisi dunia pasti menunggunya. Wajahnya, posturnya, rambutnya, semua mengagumkan. Dalam kepalaku, aku sudah membuat perkiraan tinggi badan sepupu Sali. Karena aku tinggi, maka aku mencari pasangan yang tinggi badannya melebihi tinggi badanku. Bangkit adalah kandidat yang tepat. Karena dia tetap akan lebih tinggi meskipun aku memakai sepatu setinggi empat inci.

"Katanya nggak akan pernah pacaran karena nggak percaya sama laki-laki dan cinta." Sali menyindirku ketika berbelok ke kanan ketika keluar dari kompleks rumah Bangkit. "Kok sekarang kamu peduli apa Bangkit single atau nggak?"

"Tapi kalau buat sepupumu yang ganteng itu aku bakal bikin pengecualian. Aku akan melupakan semua sumpahku. Aku akan belajar buat memercayai cinta." Kalau Sali mempunyai sepupu yang bisa dimasukkan ke dalam radar jodohku begini, aku akan melakukan apa saja untuk menyiapkan hatiku supaya bisa ditempati lagi. "Kerja di mana dia? Single kan? Kamu nggak jawab dari tadi? Atau lagi dekat sama wanita lain? Umurnya berapa?"

"Kerja di perusahaan apa gitu, berkaitan sama sinyal telepon dan data. Jomlo udah dua tahun. Lebih tua beberapa tahun dari kita. Kayaknya dua puluh sembilan tahun ini. Dia baik, baik banget. Single sih, tapi...." Sali tidak melanjutkan kalimatnya.

"Tapi apa?" Aku menatap sahabatku. "Nggak usah disebutkan deh, aku akan menerima semua kekurangannya. Yang penting kamu menjamin dia laki-laki yang baik kan?"

"Aku bukan nggak mau buat ... nyomblangin kalian, Ela. Kalau kamu sudah siap buat menerima cinta yang baru, aku akan mengenalkan kalian. Aku menjamin Bangkit laki-laki yang baik. Kami dekat dan dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku ingin dia mendapatkan ... wanita terbaik." Mobil Sali berhenti saat lampu merah menyala.

"Menurutmu aku nggak baik buat dia gitu? Aku nggak punya kekurangan lho, Sal."

"Pret!" Sali tertawa "Kamu nggak percaya cinta, apa namanya itu kalau bukan kekurangan? Tapi aku rela kok, El, kalau kamu dan Bangkit bisa cocok dan bersama. Kalian bisa menjadi pasangan yang serasi. Dalam kondisi normal."

"Kondisi nggak normal itu gimana, Sali?"

"Susah menjelaskannya. Kamu baik untuknya, Ela, tapi aku nggak yakin apa dia baik untukmu. Mungkin kamu siap. Tapi dia ... aku nggak tahu."

"Aku cuma perlu bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku percaya lagi pada cinta. Kalau dia berada di posisi yang sama sepertiku, dia punya kebutuhan yang sama. Mungkin kami bisa memenuhi?" Tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi aku sangat penasaran pada apa yang terjadi di hidup Bangkit pada masa lalu, sampai Sali tidak yakin sepupunya siap mencintai lagi.

"Ela, banyak laki-laki yang deketin kamu, bahkan saat kamu belum putus sama Darwin, tapi kamu menghindar. Kenapa sekarang jadi kamu yang ngotot mau kenalan?"

"Mungkin karena sepupumu adalah laki-laki pertama yang nggak mau repot-repot mencuri pandang ke arahku selama perjalanan kita tadi?"

Sali tertawa dan menggelengkan kepala. "Ela, Ela. Kamu ini benar-benar suka mempersulit diri sendiri. Yang jelas-jelas suka sama kamu, kamu tolak. Yang cuek sama kamu, kamu naksir. Ya itu hak kamu mau menyukai siapa. Tapi ... kamu pikir Bangkit orangnya? Yang pantas mendapatkan tugas mulia untuk mengembalikan kepercayaanmu terhadap cinta?"

"Hanya aku yang bisa mengembalikan kepercayaanku terhadap cinta. Aku mengoreksi. "Tapi aku nggak bisa melakukannya sendirian. Aku perlu pasangan. Untuk bisa saling jatuh cinta, saling mencintai."

"Sudahlah, El, percuma. Bangkit juga bukan orang yang percaya pada cinta."

"Nah! Kalau begitu kami pasangan yang cocok. Setelah sama-sama disakiti, kami bisa bersama-sama mencari makna cinta. Ah, puitis banget aku."

Bangkit mungkin sedang terluka, oleh sebab apa pun yang tidak diungkapkan oleh Sali, dan tidak siap menjalani hubungan serius. Seharusnya aku menghindari laki-laki dalam fase itu, mengingat aku menginginkan pernikahan pada ujung hubungan. Tetapi tidak tahu kenapa, aku menganggap Bangkit menarik. Sangat menarik. Terlepas dari penampilannya yang memesona, aku ingin mengetahui yang terjadi pada laki-laki tampan yang tidak mau tersenyum itu, sehingga dia tidak percaya lagi pada cinta.

"Aku nggak tahu harus ngomong apa, Ela. Ini menakutkan. Kalau kamu sudah menginginkan sesuatu, kamu akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Apalagi kalau kamu menginginkan sesuatu dariku, pasti aku nggak bisa tidur malam nanti."

"Jadi, kapan kita jalan sama Bangkit, Sal? Ajak gebetanmu juga, yang jadi bintang iklan pembersih wajah itu." Aku menyeringai puas. "Hmmm ... kalau kamu nggak mau bantuin aku, aku bisa korek-korek dari media sosialmu."

"Bangkit nggak punya akun media sosial! Kencan, Ela?" Sali mendecakkan lidah. "Berapa kali aku tawarin kamu buat ikut jalan kalau aku lagi keluar rame-rame sama pacarku dan sama teman-teman kami? Kamu selalu bilang nggak tertarik, nggak mau berurusan sama laki-laki, ada aja alasannya. Kenapa sekarang kamu nafsu banget mau kencan sama Bangkit?"

"Kan sudah kubilang tadi. Karena dia sepupumu." Aku mengangkat bahu. "Karena dia ganteng dan dia baik?"

"Kamu pikir alasan itucukup untuk ... aku mengaturkan jadwal kencan kalian?" Dengan cekatan Salimenyalip taksi yang tidak jelas akan mengambil sisi jalan yang mana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top