DUA PULUH TIGA

Haloooooo! I am back!

Gimana liburannya, teman-teman? Seneng nggak sudah ketemu sanak-saudara? Kalau aku sih agak-agak tidak menyenangkan liburannya. Selain ada kerabat yang meninggal, beberapa saudara juga sedang sakit keras.

Apakah kamu sudah mulai beraktivitas normal atau masih memperpanjang libur? :-D Oh, ya, aku kira ini adalah bab terakhir. Tapi ternyata minggu depan masih ada satu bab lagi. Kalau kepanjangan aku jadikan 2 bab. Insyaallah di hari Jumat ya update-nya. Sebab aku ada beberapa urusan nanti di minggu depan.

Tolong tinggalkan komentar untukku ya, nanti saat aku sudah bisa, aku akan membalasai satu per satu. Terima kasih. Salam, Ika--IG,FB, Tiktok, Twitter ikavihara, WhatsApp 083155861228

***

Masih dengan kruk—aku belum bisa berjalan dengan dua kaki lagi, harus menunggu terapi nanti—aku melangkah ke dalam sebuah rumah. Dindingnya berwarna putih salju. Kusen pintu dan jendelanya masih berupa kayu mentah. Belum ada perabotan di ruang tamu. Bangkit menungguku di batas ruang tamu dan ruangan di belakangnya. Di ruang tengah aku terdapat televisi superbesar, sofa panjang yang tidak kalah besar, juga dua buah kursi kayu dengan bantalan berwarna merah. Segalanya serba besar. Dinding rumah Bangkit telanjang. Tidak dihiasi foto, lukisan atau apa. Benar-benar rumah seorang bujangan.

Aku duduk di sofa dan Bangkit berjalan meninggalkanku, lalu kembali beberapa saat kemudian membawakan segelas jus jeruk untukku.

"Aku akan memesan makan siang. Kamu ingin makan apa?" tanyanya saat duduk di sampingku di sofa. "Ada restoran khas Sunda di dekat sini. Kalau kamu ingin makan sambal dan lalapan. Ada juga restoran Thailand."

"Aku nggak tahu. Nggak ingin makan." Kusandarkan kepalaku ke belakang. "Apa kamu benar-benar menginginkan kita kembali ... bersama?"

"Selamanya, Ela. Aku minta maaf karena sudah berbuat bodoh seperti kemarin. Seumur hidup aku akan minta maaf padamu kalau perlu. Asal kamu memberiku kesempatan untuk membuktikan cintaku kepadamu." Bangkit menatapku penuh harapan. "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamu. Sebanyak waktu yang diizinkan Tuhan untuk kita miliki. Terima kasih kamu sudah menyadarkanku."

"Aku pikir kecelakaan yang menimpaku adalah hal terburuk yang bisa terjadi dalam hidupku. Tapi ternyata ada yang lebih menyakitkan. Kamu mengakhiri hubungan kita pada hari itu. Saat aku sedang sangat membutuhkanmu. Selain keluargaku, wajahmulah yang terbayang di benakku sebelum aku kehilangan kesadaran.

"Kamu penting bagiku. Aku ingin selalu bersamamu, mencintaimu, membangun hidup denganmu, menikah, punya anak denganmu ... saat kamu bilang kita nggak lagi bisa bersama, aku sangat kecewa karena kamu ... sama saja dengan Darwin ... kamu menghanguskan semua mimpiku saat harapan dan keyakinanku sedang tinggi-tingginya."

"Aku minta maaf, Ela. Aku akan melakukan apa saja agar kamu mau memaafkanku. Tapi ... tapi kamu ingin kita bersama kembali, kan, Ela?" Bangkit memutar tubuhnya sehingga bisa menatapku dari samping.

Sebagai jawaban, aku mendekatkan wajahku ke wajah Bangkit dan mencium bibirnya. Sebelum aku sempat menarik kepalaku, Bangkit menahan wajahku tetap berada di sana, untuk memperdalam ciuman kami dan mencurahkan segala yang dia rasakan kepadaku. Cinta dan kerinduan. Dan aku membalasnya dengan cara yang sama. Hanya dalam hitungan hari kami berpisah, tapi terasa seperti seratus tahun.

"Aku akan memberimu kesempatan, karena aku bisa memahami kekhawatiranmu." Manusiawi. Setiap orang pasti memiliki rasa takut dan aku senang karena Bangkit berhasil mengatasi rasa takutnya. Lebih-lebih aku berperan dalam mengalahkan ketakutannya.

"Aku mencintaimu, Ela," bisiknya tepat di bibirku. "Sangat mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu." Aku tersenyum sebelum Bangkit kembali menciumku.

Ponselku berbunyi dan aku mengerang kesal. Kalau sampai atasanku meneleponku saat aku sedang izin tidak masuk, karena sakit tidak kurang-kurang, aku tidak akan menutupi rasa tergangguku. Aku akan menyampaikan dengan jelas kemarahanku. Biar saja kalau aku dipecat besok.

"Dari Sali." Bangkit mengeluarkan ponsel dari tasku.

"Ada apa lagi sih? Dia itu selalu saja menggangguku di saat-saat seperti ini," gerutuku, sambil menekan loudspeaker icon. "Halo."

"Ela! Udah kelar di rumah sakit?" Sali menyapaku dengan riang, tidak merasa bersalah sama sekali sudah menelantarkanku pagi tadi. "Kok kamu nggak balas WA-ku sih."

"Maaf, ini siapa ya? Nomornya nggak tersimpan di HP saya," jawabku, sedikit membalas dendam tidak akan melukai persahabatan kami.

"Ini Sali, Ela. Sali. Sahabatmu. Kamu marah ya?"

"Kayaknya saya sudah nggak punya sahabat."

"Jangan marah dong, Ela." Sali memohon. "Aku melakukannya demi kebaikanmu juga. Bangkit kelihatan serius dan menderita saat minta tolong padaku. Dia ingin diatur supaya punya kesempatan buat bicara sama kamu dan aku nggak bisa menemukan waktu yang tepat buat menjebakmu selain tadi pagi."

"Kebaikanku apa? Aku pergi sendiri, dengan satu kaki, ke rumah sakit itu kebaikan? Sorry, kalau kamu mau terus jadi sahabatku, seharusnya kamu ngasih tahu aku dari kemarin kalau nggak bisa nganterin pagi ini. Bukan menelantarkanku begitu saja."

"Kamu kejam sekali, Sayang." Bangkit menahan tawa, berbisik di telingaku, lalu mencium pelipisku. "Kasihan Sali lho, kamu isengin seperti itu."

"Suara apa itu?" tanya Sali. "Bangkit bilang dia bakal nganterin kamu."

Aku memberi kode pada Bangkit untuk tidak bersuara. "Bangkit nggak datang!"

"Sumpah?! Astaga! Anak itu! Serius ya, Ela, dia memang sepupuku, tapi kalau dia memohon-mohon minta balikan sama kamu, jangan mau! Biar saja dia sendirian sampai tua, mati sendiri saat tua nanti, karena aku yakin nggak bakalan ada yang mau sama dia. He doesn't deserve you or anyone else."

"Sali, jangan menyumpahi orang seperti itu! Nanti berbalik, tahu rasa kamu." Bangkit tidak tahan untuk berkomentar dan aku mencubit perutnya.

"Lho, itu Bangkit?! Gimana sih, Ela?! Katamu tadi Bangkit nggak datang dan kamu ke rumah sakit sendiri?" Sali terdengar kebingungan.

"Aku bercanda, Sali." Aku tertawa. "Jangan khawatir, jatah surga belum hilang dari tanganmu kok."

"Nyebelin benget sih kamu! Surga saja nggak cukup ya, sebagai balasan dari jasa dan kebaikan hatiku. Kalau kamu menikah nanti dan ditanya orang gimana kamu dan Bangkit bisa kenal, kamu harus jujur kepada mereka bahwa Sali yang mengenalkan kalian. Sebut nama dengan jelas. Sali."

"Dasar gila hormat." Aku tertawa. "Sudah dulu ya. Nanti aku telepon lagi."

"Sahabat macam apa kamu, Ela? Pas kamu nangis-nangis patah hati saja kamu mencariku. Sekarang kamu dan Bangkit sudah balikan, kamu mencampakkanku?"

Aku dan Bangkit tertawa bersama. "Kami belum selesai balikan, Sali. Besok aku pasti akan membelikan hadiah buat kamu. Apa pun yang kamu minta...."

"Deal!" Sali memotong. "Kamu akan menyesal bilang gitu. Aku sudah tahu apa yang kumau. Bangkit, transfer duit banyak-banyak ke rekening Ela. Aku akan bikin kamu bangkrut. Bye. Jangan melakukan sesuatu yang nggak disetujui ibumu!"

"Apapun yang diminta Sali, aku tidak keberatan memenuhinya." Bangkit meletakkan ponselku di meja kaca didepannya dan menarikku kembali ke pelukan. "Memang berkat Sali kita bisa bersama seperti ini."

***

Teman, kalau kamu ingin mengisi long weekend dengan membaca karyaku, berikut info diskonnya:

1. Diskon 30% di aplikasi Gramedia Digital. Pakai Fiction Package Rp 34.300,- bisa membaca semua judul bukuku di sana selama sebulan. Diskon berlaku sampai 1 Mei 2023 :-)

2. Diskon 25% di Gramedia Official di Shopee dan juga gramedia.com

3. Buku selfpublished tersedia di shopee ikavihara dan google playstore

4. Kamu bisa juga membaca 4 bukuku gratis dan legal di app iPusnas

5. Bab ekstra novel-novelku tersedia di karyakarsa.com/ikavihara

Terima kasih kamu sudah mendukungku membiayai penulisan novel selama ini. Aku nggak akan bisa menulis tanpa kontribusi rupiah darimu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top