DUA PULUH SATU
Agak telat ya, di akhir Ramadan ada yang lebih diprioritaskan :-) Anyway kamu mudik ke mana nih? Atau jaga kota saja? Di mana pun kamu menghabiskan lebaran atau liburan, jangan lupa utamakan keselamatan. Aku masih ingin kita ketemu lagi habis mudik atau libur nanti dalam keadaan sehat.
Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, aku seneng banget kemarin udah mulai balas-balasin dan baca komentar kamu.
Love, Ika Vihara(IG/Twitter/FB/Tiktok ikavihara, WA 083155861228)
***
"Seharusnya kamu dengerin alasannya, Ela! Bukan langsung menyuruhnya pulang seperti itu! Kalau begini, kan kita jadi nggak tahu kenapa dia bersikap aneh seperti itu." Sali duduk di tempat tidurku.
"Kenapa kamu malah marah-marah sama aku?! Yang salah sepupumu! Lagian, buat apa aku dengerin alasannya?! Dia tetap bersikeras hubungan kami harus berakhir! Dari Bahasa tubuhnya saja sudah kelihatan dia nggak ingin ketemu sama aku! Apa kamu mau menyebut itu cinta?! Kalau kamu mencintai seseorang, Sali, kamu akan senang ketemu dengannya. Kamu akan terus di sampingnya saat dia membutuhkan dukungan ... seperti aku kemarin.
"Tapi sepupumu nggak melakukan itu! Lihat wajahku saja dia jijik! Iya memang ada luka-luka di wajahku, tapi sudah mulai hilang dan nggak buruk-buruk amat! Apa dia cuma cinta saat aku sempurna saja? Saat aku seperti ini ... dia nggak cinta lagi? Kamu nggak tahu aku susah-payah nahan supaya nggak nangis di depannya, jadi aku berusaha membuat urusan kami cepet selesai." Aku menyilangkan tangan di dada. Tujuanku mengundang Sali kemari adalah untuk mendapatkan pembenaran atas sikapku tadi. Bukan malah disalahkan.
"Buat apa? Ya supaya kamu bisa mendebat kalau alasan yang dikeluarkan Bangkit nggak masuk akal. Lalu mencari solusi yang tepat untuk mengubah sikapnya. Kenapa kalian nggak sama-sama berusaha mempertahankan hubungan kalian? Malah yang satu minta putus yang satu iya-iya aja"
"Bersama-sama berusaha?" Aku tertawa keras. "Sal, dia yang menginginkan hubungan kami berakhir. Kamu ini mabuk atau apa? Apa kamu nggak dengar tadi aku bilang apa? Bangkit nggak mencintaiku, Sali. Sejak dulu nggak pernah mencintaiku."
Sali mengibaskan tangannya, mengabaikan pertanyaanku. "Aku yakin seratus persen dia mencintaimu. Kalau saat ini Bangkit ragu-ragu dengan hubungan kalian, seharusnya kamu meyakinkannya. Bukan melepaskannya begitu saja."
"Gimana aku bisa meyakinkan dia? Aku nggak tahu apa yang membuatnya ragu. Hari itu kami baik-baik saja, merencanakan makan malam berdua, dua hari kemudian aku terbangun di rumah sakit, laki-laki yang mengaku mencintaiku nggak menjengukku sama sekali dan saat aku pulang ke rumah, dia justru mencampakkanku." Dari luar kamar, perdebatanku dengan Sali pasti terdengar seperti pertengkaran suami istri. Tetapi aku tidak peduli. Pada titik ini, kalau Andrei—yang sedang bekerja di kamar mandi bersama Papa—dengar lalu berencana memberi Bangkit pelajaran, aku tidak akan mencegahnya.
"Makanya kubilang dengarkan alasan Bangkit. Aku nggak berhasil membuatnya bicara tapi ... oh, sudahlah, aku akan menceritakan padamu. Mungkin ini alasan kenapa Bangkit nggak bisa menemuimu selama kamu di rumah sakit. Sara ... mantannya Bangkit ... meninggal karena kecelakaan, Ela. Nggak sama persis dengan kecelakaan yang kamu alami, tapi tetap saja itu kecelakaan lalu lintas. Saat itu Sara mengendarai mobil dan dia ditabrak oleh mobil lain. Bangkit nggak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri...."
"Apa Bangkit satu mobil dengannya saat itu?" Aku kesal sekali dengan Sali. Kenapa harus menunggu sampai aku ditabrak mobil baru dia mau membuka masa lalu Bangkit kepadaku? Kenapa tidak dulu-dulu saat aku baru kenal dengan Bangkit? Dengan begitu siapa tahu perkara seperti ini bisa diantisipasi.
"Nggak."
"Lalu, kenapa dia merasa bersalah?"
"Karena ... hari itu Bangkit sudah janji pada Sara, Bangkit akan mengantarnya ke toko buku. Ada meet and greet dengan penulis favorit Sara. Tapi Bangkit nggak bisa meninggalkan kantor tepat waktu. Jadi Sara nyetir sendiri. Dalam perjalanan ke sana, kecelakaan itu terjadi. Menurut Bangkit, Sara nggak akan mati kalau dia mengantarnya. Selama berbulan-bulan Bangkit terus menyalahkan dirinya atas kematian Sara."
"Itu nggak masuk akal! Sara akan tetap meninggal pada hari itu, nggak peduli siapa pun yang menyetir mobil. Karena memang sudah begitu takdirnya." Aku menggelengkan kepala dengan putus asa. "Tapi, apa hubungannya itu denganku?"
"Kamu berencana pulang bareng Bangkit hari itu." Dengan sabar Sali menjelaskan kepadaku. "Dia akan menjemputmu ke kantor, ya kan? Tapi video conference-nya harus ditunda karena ada gangguan jaringan—katamu. Kamu bilang sama Bangkit kamu akan pulang duluan. Supaya kamu bisa menyiapkan makan malam. Kalau meneliti apa yang pernah terjadi sebelumnya, Bangkit mungkin merasa kamu nggak akan mengalami kejadian seperti itu kalau dia menepati janji untuk pulang bersamamu.
"Menurut analisisku, Bangkit nggak mau lagi ditinggal mati seseorang ... yang dia cintai untuk kedua kali secara tiba-tiba seperti itu. Mungkin dia nggak sanggup menghadapi kesedihan dan penderitaan yang sama seperti dulu. Karena itu, dia memilih untuk ... berusaha berhenti mencintaimu. Upayanya untuk melindungi hatinya. Aku nggak yakin dia berhasil. Karena perasaan bukan seperti lampu, yang bisa ditekan tombol on/off-nya."
"Kamu mau bilang ... karena dia sangat mencintaiku makanya dia mencampakkanku?"
Sali mengangguk.
"Itu bodoh, Sal. Dia nggak akan menikah kalau begitu caranya."
"Dia pernah ngomong begitu dulu. Nggak akan menikah. Saat sedang sedih-sedihnya." Sali tersenyum kepadaku. "Sampai dia ketemu kamu, jatuh cinta dan ... kamu bilang Bangkit mau mengenalkan kamu kepada orangtuanya kan? Dia ingin menikah denganmu. Lalu ... sejarah terulang kembali."
"Kita nggak bisa membiarkan itu terjadi, Sali. Kita harus melakukan sesuatu."
"Heh?" Sali menatapku seperti aku baru saja menumbuhkan kepala kedua.
"Bangkit ... laki-laki yang baik. Dia akan menjadi suami yang baik. Kita harus menyelamatkannya dari ... ketakutannya yang nggak masuk akal itu. Aku nggak mau kehilangan dia ... dengan cara konyol seperti itu. Kamu yakin dia masih mencintaiku kan, Sal?" Aku meraih kruk di samping tempat tidur.
"Iya. Yakin seribu persen."
"Antar aku ke rumahnya sekarang."
***
Kami menemukan Bangkit di rumah orangtuanya, sedang mengikuti makan malam bersama yang rutin diadakan ibunya setiap Sabtu malam, pada minggu kedua dan keempat tiap-tiap bulan. Seluruh anggota keluarganya lengkap, termasuk Bella beserta suami dan kedua anaknya. Tidak ada waktu yang tepat untuk menangkap Bangkit selain saat ini. Sebab Bangkit tidak bisa menolak bertemu denganku, di bawah tatapan peringatan dari ibunya. Bahkan dengan halus ibu Bangkit mengarahkan kami ke teras depan lalu memindahkan semua orang ke halaman belakang. Supaya aku dan Bangkit memiliki privasi.
"Aku berubah pikiran. Aku ingin mendengar alasanmu, kenapa kamu mengakhiri hubungan kita." Aku duduk di kursi kayu di teras.
Bangkit menatapku dengan lelah, sebelum ikut duduk di seberangku. Meja bundar dengan bunga anggrek berwarna putih di tengah memisahkan kami. Kondisi Bangkit sungguh menyedihkan. Seperti tidak ada semangat hidup. Aku menyimpulkan Bangkit kurang tidur. Badannya juga lebih kurus sedikit daripada yang kulihat sebelum kecelakaan dulu.
"Aku mengakhiri hubungan kita karena aku tidak ingin lagi menghadapi penderitaan yang sama hidupku." Penjelasan Bangkit sama seperti analisis Sali. "Jantungku berhenti berdetak saat Sali meneleponku sambil menangis dan bilang kamu kecelakaan. Sali tidak tahu kamu hidup atau mati. Bagiku itu lebih buruk daripada mati. Hell, aku lebih memilih mati daripada harus mendengar berita seperti itu lagi. Daripada harus melihat seseorang yang kucintai mati ... sebelum aku."
"Kamu ini bodoh atau apa?!" Suaraku sedikit meninggi. "You can't just stop loving someone because you might lose them!"
"Aku bisa! Aku melakukannya tadi."
"Kamu hanya mencampakkanku, tapi kamu masih mencintaiku!"
"Aku akan melakukan apa saja untuk berhenti mencintaimu!"
"Bagaimana dengan kedua orangtuamu? Adik-adikmu? Kakakmu? Apa kamu akan berhenti mencintai mereka juga?" Aku menantang cara berpikir Bangkit yang bodoh itu.
"Itu berbeda...."
"Berbeda bagaimana?" potongku tidak sabar. "Mereka, dan semua manusia, akan meninggal suatu saat nanti. Apa kamu akan mencampakkan mereka, mengusir mereka dari hidupmu, seperti yang kamu lakukan padaku tadi siang?"
"Tentu saja tidak! Mereka keluargaku."
"Kalau kamu mencintaiku, Bangkit, kamu harus memanfaatkan setiap detik dalam hidupmu yang berharga untuk bahagia bersamaku. Untuk mencintaiku dan menerima cintaku. Bukan malah menjauh dariku. Nggak peduli aku, atau kamu, hanya hidup sampai malam nanti, atau enam puluh tahun lagi, kita harus mensyukuri waktu yang masih kita miliki bersama. Dengan menjalaninya bersama-sama. Sehingga kelak kita nggak mati dalam keadaan menyesal, karena nggak memperjuangkan cinta kita. Karena nggak meninggal di pangkuan seseorang yang kita cintai.
"Sebelum aku kehilangan kesadaran waktu itu, aku sempat bersyukur aku sudah berani mencoba untuk mengenal cinta lagi. Setelah patah hati dan bersumpah nggak akan jatuh cinta lagi. Aku nggak menyesal meninggal hari itu, karena aku sudah merasakan bagaimana mencintaimu dan dicintai olehmu. Harapanku saat itu, seandainya aku diberi kesempatan untuk hidup, walau hanya satu jam saja, aku berharap aku bisa melewatinya bersamamu. Memastikan kamu tahu aku mencintaimu.
"Jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu, Bangkit. Aku mohon. Setiap orang pasti akan mati. Tidak ada manusia yang tidak takut menghadapi kematian. Tapi apakah itu pantas dijadikan alasan untuk berhenti hidup dan mencintai? Kamu yang akan rugi kalau kamu memilih jalan itu, Bangkit. Kamu harus bahagia, sebelum waktu yang kamu miliki habis ... atau kamu akan menyesal di ... saat mengembuskan napas terakhir nanti.
"Kalau kamu nggak ingin ... bersamaku ... kamu nggak bahagia bersamaku, berilah kesempatan kepada wanita lain nanti. Yang lebih baik dariku. Yang lebih bisa mencintaimu. Setelah kamu bisa menata hati setelah ... hubungan kita nggak berhasil. Pikirkan apa yang kusampaikan tadi. Semoga ... kamu bahagia."
***
Teman, buat teman mudik atau liburanmu, mungkin kamu ingin membaca karyaku yang lain. Kamu bisa melakukannya melalui:
1. Aplikasi iPusnas dari Perpustakaan Nasional. GRATIS. Tapi aku tetap mendapat royalti. Ada lima bukuku yang bisa dibaca di sana ya.
2. Aplikasi Gramedia Digital. Pakai Fiction Package Rp 49.000 bisa membaca semua judul bukuku di sana. Diskon selalu ada, aku menginfokannya di Instagram/facebook ikavihara. Apalagi mau lebaran ini pasti sampai 50% :-)
3. Ada diskon 25% jika kamu membeli buku di Gramedia.com, tinggal pilih toko buku gramedia terdekat dari tempatmu. Jangan lupa nanti di Shopee gramedia official juga akan ada diskon, info terupdate di Instagram/Facebook ikavihara
4. Buku selfpublished tersedia di shopee ikavihara dan google playstore
5. Bab ekstra novel-novelku tersedia di karyakarsa.com/ikavihara
Terima kasih kamu sudah mendukungku membiayai penulisan novel selama ini. Aku nggak akan bisa menulis tanpa kontribusi rupiah darimu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top