DUA PULUH EMPAT
Teman, kalau kamu ingin punya bacaan baru dan berbeda, kamu bisa ikut giveaway di akun Instagram ikavihara. Di foto yang disematkan dan ada tulisan giveaway. Ada hadiah 2 buku antologi cerpen, di mana 2 cerpenku keluar sebagai pemenang pertama. Tema antologinya Keluarga dan Perjuangan, jadi pasti akan menghangatkan hatimu dan menginspirasi. Apa kamu nggak penasaran gimana cerpen yang ditulis oleh penulis novel dan jadi juara? *sombong dikit hahaha*
Oh, ya, kita akan tamat di bab 25 ya. Minggu depan, insyaallah hari Rabu. Jadwalku benar-benar sangat sulit diprediksi di bulan ini. Jangan lupa tinggalkan komentar untukku di cerita ini. Aku belum bisa balas, insyaallah nanti dibalasin ya.
***
"Mmmm ... kesayangan Tante." Aku meniup-niup leher Syaza, keponakan pertama dan kesayanganku, yang berdiri di atas pahaku. Tangan mungilnya mencengkeram erat rambutku. Suara kikikan Syaza terdengar menyenangkan sekali di telingaku.
"Ayo, kita selfie dulu." Satu tanganku menahan Syaza supaya tetap berada di tempat dan satunya memegang ponsel. "Senyum yang cantik. Sekarang, cium pipi Tante. Pinter."
Aku mendudukkan Syaza di pangkuanku. Jariku bergerak cepat untuk mengirim foto-foto tersebut kepada Bangkit. I want one, tulisku pada kolom keterangan di bawah foto.
Tidak sampai dua menit kemudian, Bangkit sudah membalas. Fine by me, katanya.
"Lihat ini, Syaza. Om Bangkit cool banget kan?" Syaza meronta, tidak suka duduk lama-lama. Padahal aku masih belum puas menghirup wangi stroberi dari rambutnya yang sangat lembut.
Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan Syaza. Mumpung tidak ada saingan. Sudah lama sekali tidak ada bayi di keluargaku. Bayi terakhir adalah aku, lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu. Karena itu Syaza menjadi rebutan di antara aku, Mama, Papa, dan orangtua Syaza sendiri.
"Kamu nggak jadi keluar sama ibunya Bangkit?" Irina muncul dari dapur duduk di sampingku.
Sesuai jandi Andrei dulu, begitu Irina menyelesaikan pendidikan, mereka kembali tinggal di Indonesia. Siang ini aku mengunjungi rumah mereka.
"Diganti besok. Hari ini ibunya harus melayat temannya yang meninggal." Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bangkit. Tidak terasa, setahun sudah berlalu sejak kencan pertama kami. Bukan yang bersama Sali dan Hannes. Tetapi kencan di festival di mana aku dan Bangkit berpose dengan konstum Festa Junina.
Hanya berselang enam bulan setelah kami pacaran, kami sepakat untuk segera menikah. Kami sudah sama-sama yakin. Sudah sama-sama memantapkan hati. Keluargaku pun menerima dan menyukai Bangkit. Demikian juga keluarga Bangkit. Setelah memberi waktu kepada kedua keluarga untuk terbiasa dengan status pacaran kami, aku dan Bangkit pergi ke Selandia Baru untuk membicarakan niat baik kami kepada orangtuaku. Untuk lamaran—di mana orangtua dan keluarga Bangkit yang lain datang menemui keluargaku—dilaksanakan di Indonesia. Malam itu juga tanggal pernikahan kami ditetapkan.
Aku, Mama, Irina, Ibu Bangkit, Bella dan dibantu keluarga yang lain langsung bekerja keras mempersiapkan pernikahan dan resepsinya. Sampai hari ini kami tidak menemukan hambatan yang berarti. Semoga sampai hari pernikahan nanti semua berjalan lancar. Di luar dugaanku, Bangkit banyak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan terkait pesta pernikahan kami nanti.
Syaza merangkak dari pangkuanku ke pangkuan ibunya. Dengan gemas aku menepuk pelan pantatnya. "Ih, Syaza, kamu lucu banget sih. Tante mau main sama kamu terus. Untung kamu mirip ibumu. Karena ayahmu itu jelek banget."
"Papanya Syaza ganteng. Adiknya saja cantik." Irina menurunkan anaknya ke lantai. "Sebentar lagi Tante punya bayi sendiri, yang lucu juga seperti Syaza. Syaza akan punya sepupu. Sahabat. Bisa main bersama nanti."
Syaza langsung sibuk bermain dengan dua bonekanya di lantai.
"Gimana nanti setelah punya anak, Ela kamu tetap kerja full-time kan?"
"Iyalah, Kak, mana bisa minta masuk setengah hari," jawabku sambil mengambil ponselku yang berbunyi di meja. Aku tidak kenal nomornya. "Bangkit bilang keputusan itu ada di tanganku. Kami akan memikirkan sama-sama nanti masalah pengasuhan anak kami. Karena itu tanggung-jawab kami berdua, bukan aku seorang saja."
"Bagus kalau seperti itu. Andrei juga nggak pernah menuntut ini itu pada Kakak. Semua tanggung-jawab di dalam pernikahan kami pikul bersama. Sama besarnya."
"Sebentar, Kak. Aku harus terima ini. Dari tadi nelepon melulu. Mungkin penting." Aku bangkit dari dudukku.
"Halo?" sapaku sambil berjalan menjauh dari ruang tengah rumah Irina.
"Ela?" Sebuah suara di seberang sana membuat langkahku terhenti.
"Darwin...." Setelah sekian lama, ternyata aku masih sangat bisa mengenali suaranya.
***
Aku mengerti kenapa dulu aku jatuh cinta habis-habisan kepada Darwin. Karana pada saat itu Darwin adalah laki-laki terbaik yang pernah kukenal. Ya saat itu, sebelum aku bertemu dengan Bangkit. Kalau sekarang Bangkit yang terbaik dan tidak akan ada yang bisa menyamainya. Setelah menerima telepon Darwin tadi, aku memutuskan aku harus menemui Darwin sebelum aku menikah dengan Bangkit. Baik Darwin maupun diriku memerlukan closure atas hubungan yang pernah kami jalani dulu.
Saat ini, saat aku berjalan menuju meja yang telah dipesan Darwin di kafe yang dulu sering kami datangi bersama, Darwin tersenyum hangat kepadaku. Sama persis dengan senyum Darwin yang dulu kukenal. Tanpa perlu diingatkan, Darwin menarik kursi untukku, menungguku duduk sebelum mengambil tempat di seberangku. Darwin tetap tampan seperti dulu. Ralat, Darwin semakin mempesona sekarang. Bahasa tubuh dan raut wajahnya terlihat semakin dewasa. Tubuhnya semakin berisi. Berotot dan fit.
"Gimana kabarmu, Ela? Lama nggak ketemu kamu ... you look prettier than ever."
"Baik, baik. Thanks. Gimana kamu? Sudah selesai kuliah dan balik ke Indonesia?"
"Baik juga." Darwin tidak menjab pertanyaan kedua.
"Sorry, tahun lalu aku nggak bisa menemuimu waktu kamu pulang. Aku kecelakaan. Harus dirawat di rumah sakit dan ... habis itu nggak bsia jalan." Senyum dan sikap ramah Darwin membuatku merasa semakin berat untuk menyampaikan undangan pernikahanku.
"Tidak masalah. Tapi kamu sudah sembuh kan?" Setelah aku mengangguk, Darwin melanjutkan. "Aku menyelesaikan kuliahku dengan sangat cepat. Aku mempertimbangkan untuk kembali ke Indonesia. Secara permanen. Jadi, selain hari ini, kita punya banyak waktu untuk bicara."
Aku menelan ludah sambil mencoba menebak arah pembicaraan ini.
"Kamu balik ke sini sendirian? Nggak bawa siapa-siapa buat dikenalin sama orangtua nih?" Mungkin aku bisa sedikit mencairkan suasana dengan bercanda.
Darwin tertawa pelan. "Aku berjanji kepada seseorang yang kucintai aku akan kembali kepadanya. Mana mungkin aku mengisi waktuku bersama orang lain, selama jauh darinya?"
"Aku minta maaf, Darwin." Sebaiknya aku tidak memperpanjang pertemuan kami. Atau pembicaraan ini akan semakin menyakitkan. Ini saatnya menerapkan teori menarik plester dengan cepat, walaupun sakit tapi tidak lama. "Maaf karena aku nggak membalas pesanmu dengan jelas waktu itu. Saat kamu menginginkan hubungan kita berakhir, aku ingin bicara langsung. Bukan lewat SMS—
"Bukan berakhir. Dihentikan sementara," ralat Darwin.
"Waktu itu, aku hanya mengirim pesan mengenai kekesalan dan kekecewaanku. Bukan menyetujui atau nggak. Saat aku sadar ada hal yang lebih serius yang harus kita selesaikan, aku telanjur menghapus nomor teleponmu. Maaf aku nggak pernah menyampaikan dan menjelaskan kalau aku nggak setuju hubungan kita berakhir ... dihentikan sementara.
"Bagiku, pilihan yang tersedia hanyalah putus atau diteruskan. Karena kamu sama sekali nggak pernah menghubungiku lagi, aku menyimpulkan hubungan kita sudah berakhir. Untuk selamanya." Setelah berhasil mengatakan kalimat yang susah-payah kususun sejak dari rumah tadi, aku mengembuskan napas lega.
"Kamu tidak percaya aku akan benar-benar kembali kepadamu, Ela? Bahwa aku nggak akan pernah berhenti mencintaimu? Kita masih muda waktu itu, iya, tapi aku serius dengan perasaanku. Dengan niatku untuk menikah denganku. Tapi lebih dulu aku harus menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Semua untuk masa depan kita."
***
Info promosi:
1. Diskon 25% buku Ika Vihara di Shopee/Tokopedia Gramedia Official hari ini
2. Potongan Rp 22.500,- untuk pembelian buku-buku min. Rp 150.000,- dan Rp 40.000,- untuuk pembelian min. Rp 200.000,- di seluruh toko buku Gramedia di Indonesia
3. Diskon 25% untuk pembelian di Gramedia.com
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top