DUA
Aku mau update seminggu 2x tapi aku selalu lupa :-(
Jangan lupa like dan tinggalkan komentar untukku ya.
Happy Lunar New Year.
***
Di tengah rasa putus asaku beberapa hari ini, aku membaca artikel mengenai cara mengatasi patah hati dan aku menandai salah satunya. Jangan menyimpan sendiri rasa sakit itu. Curahkan semua kekecewaan kepada orang lain yang bisa dipercaya. Tidak perlu malu. Semua orang di dunia pernah patah hati dan mereka pasti bisa memahami. Jika tidak memiliki orang yang dipercaya, tulis di selembar kertas apa yang kita rasakan. Kalau takut ada orang lain yang membaca, bakar saja tulisan tersebut setelahnya. The goal is to release every bit from inside me.
"What?!" Pekik Sali tidak percaya. "Why? How?" Sali menyandarkan bokongnya di mejaku.
"Makanya buka Facebook, Sal." Aku menggelengkan kepala putus asa. Semua orang langsung tahu hubunganku dengan Darwin berakhir begitu aku mengubah status hubunganku menjadi single. Karena, kenapa tidak? Seluruh dunia harus tahu aku dan Darwin sudah tidak bersama lagi. Siapa tahu di antara teman-teman kuliahku dulu ada yang menaruh hati padaku selama ini dan tidak bisa melakukan apa-apa karena tahu aku bersama Darwin.
"Hari gini siapa yang masih main Facebook?" tukas Sali. "Kebanyakan hoaks di sana."
"Ini jawaban pertanyaanmu, Sal. What? Darwin mutusin aku. How? Dia kirim pesan lewat WhatsApp. When? Waktu kita pulang dari makan-makan setelah gajian hari Kamis kemarin. Why? Karena dia bilang dia mau fokus kuliah dan nggak ada waktu buat bertengkar sama aku. Padalah dia yang duluan bikin aku kesal dan ujungnya kami ribut."
"Wow, El, aku nggak tahu harus ngomong apa. Menurutku ribut-ribut kalian itu biasa saja. Malah seru. Romantis juga waktu kamu cerita Darwin minta maaf ke kamu."
Aku tertawa kering. "Apa kamu tahu? Setelah mutusin aku, dia berani dan percaya diri minta aku buat nunggu karena suatu hari nanti dia bakal pulang dan kami akan menikah. Siapa juga yang mau menghabiskan hidupnya tanpa diberi kepastian seperti itu? Suatu hari itu kapan? Tanggal berapa, tahun berapa?"
"Menurutku itu bukan putus, Ela. Istirahat sebentar. Mungkin bulan depan Darwin sadar dia nggak bisa hidup tanpa kamu dan dia menghubungimu lagi."
"Mungkin. Tapi aku sudah memutuskan aku nggak akan menunggu. Dengan dia menghilang, ghosted, nggak bisa dihubungi setelah dia kirim WhatsApp, menurutku memang sudah nggak ada harapan lagi untuk kami berdua."
"Aku nggak tahu lagi gimana aku akan percaya pada cinta kalau kamu dan Darwin, pasangan yang sempurna, sudah lama bersama, saling mencintai, bisa putus juga." Raut tidak percaya semakin terlihat jelas di wajah Sali. "Aku masih ingin tetap berpegang pada teoriku. Ini hanya sementara. Bulan depan kalian sudah mesra lagi."
"Aku nggak mau delusional. Itu melelahkan." Beberapa hari ini aku berada dalam fase itu. Meyakinkan diriku bahwa aku dan Darwin hanya mengakhiri hubungan sementara. Masalahnya, yang dimaksud dengan sementara itu berapa lama? Dua tahun? Tiga tahun? Sampai Darwin menyelesaikan Ph.D? Bagaimana kalau Darwin melanjutkan hingga program post-doctoral? Umurku sudah berapa saat itu? Iya kalau Darwin menepati janjinya untuk pulang dan menikah denganku, kalau dalam perjalanan dia bertemu dengan wanita lain yang dia nilai lebih baik dariku? Akan sia-sia sekali waktu yang kuhabiskan untuk menunggunya. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi selama dua atau tiga tahun ke depan dan aku tidak yakin takdir akan selalu berpihak padaku.
"Bagiku putus ya putus, Sal. Nggak ada ceritanya putus sementara. Kalau dia menganggap hubungan kami berarti banyak, semestinya dia bisa membagi perhatian antara kehidupan pribadinya dan hubungan kami. Memang kami banyak bertengkar selama setahun ini. Itu bukan karena aku nggak mencintainya. Tapi karena aku kecewa.
"Sejak kami lulus kuliah dulu aku sudah sering kecewa, sama keputusan-keuputusan yang dia buat yang nggak melibatkanku. Nggak dibuat dengan memikirkan hubungan kam9. Kamu masih ingat gimana dia sama sekali nggak ngasih tahu aku kalau dia ada rencana kuliah di Amerika. Dia baru ngasih tahu waktu mau berangkat ke Amerika. Padahal aku orang terdekatnya.
"Bayangin, Sal, kupikir kami sedang sama-sama sibuk nyari kerja. Bahkan Darwin kasih tips menjawab wawancara. Ternyata diam-diam dia melamar beasiswa ke Amerika. Dia nggak tanya apa aku keberatan menjalani hubungan jarak jauh. Saat itu, kalau kamu ingat, aku cuma punya waktu seminggu bersamanya sebelum kami berpisah dalam waktu lama.
"Dia terus minta maaf padaku dengan banyak alasan dan aku memaafkannya. Karena aku mencintainya. Janji apa dia waktu itu? Dia bakal nyempetin pulang setahun kemudian. Dia nggak pulang. Sampai hari ini nggak pulang. Hubungan kami bahkan berakhir sebelum dia pulang." Aku mengembuskan napas keras-keras.
"Kita ngomongin Darwin kan ini, El? Darwin yang cinta banget sama kamu?"
Aku mengangguk dan tersenyum pahit. Kalau Sali saja tidak percaya laki-laki baik seperti Darwin bisa menyakitiku seperti ini, bagaimana denganku? Sang objek penderita? Menurutku Darwin tidak hanya baik. Dia sempurna. Dulu paling tampan di kampus, paling cerdas, paling bisa bergaul, paling murah hati, paling mencintaiku, paling kuinginkan dalam hidupku dan paling segalanya.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana, Sal. Ini semua ... aku nggak pernah patah hati sebelum ini. Kejadian ini bikin aku seperti kehilangan arah." Akan seperti apa hari-hariku setelah aku tidak lagi menjabat sebagai kekasih Darwin? Dengan siapa aku menghabiskan waktu kalau tidak lagi bisa tertawa bersamanya? Tidak bisa lagi mendengarnya mengucap cinta? "Rasanya aku nggak ingin ngapa-ngapain selain mendekam di kamar. Melihat orang-orang tertawa, tersenyum bahagia ... aku merasa sakit, karena aku nggak punya lagi alasan untuk ... bisa seperti mereka."
"Padahal kamu sudah lama banget nggak ketemu sama dia, terbiasa jauh darinya, tapi tetap berat ya?" Sali menatapku penuh simpati.
"Yah, seperti kata orang. Kalau saling mencintai, jarak bukan masalah. Secara fisik kami berjauhan, tapi kami di hati kami merasa dekat." Memang semenjak Darwin kuliah di California, aku tidak lagi menghabiskan waktu bersamanya secara langsung. Tetapi aku masih berhak membayangkan bagaimana hidup kami sepuluh tahun yang akan datang. Dan aku senang melakukannya saat aku punya waktu luang. Dalam bayanganku, di masa itu aku sudah menjadi senior brand manager di sini, menikah dengan Darwin, punya anak yang tampan sepertinya, bersama-sama kami akan membangun masa depan, melihat anak cucu kami menjadi dewasa, sampai ajal menjemput kami berdua.
But sometimes it is easy to confuse dream with reality and I've been living my life blurring the lines between the two.
Aku memejamkan mata dan kembali berharap ini semua hanya mimpi buruk. Yang berakhir ketika pagi datang. Nanti malam Darwin akan menghubungiku, menyatakan cinta, dan dengan yakin mengatakan tanggal sekian bulan sekian dia pasti akan pulang ke sini lalu melamarku kepada orangtuaku. Sebagaimana yang sering kami bicarakan selama mengisi jeda antara lulus kuliah dan melamar keja. Atau Darwin akan memberitahu bahwa kemarin, saat mengirim pesan menyakitkan itu, dia hanya bercanda. Bahwa Darwin sebenarnya sedang menyiapkan kejutan dengan muncul di depan pintu rumahku dan menciumku sampai aku lupa siapa namaku.
Mimpi. Lagi-lagi aku hanya bisa bermimpi.
"Aku berharap walaupun kami harus putus, dia akan menunggu sampai kami ketemu sesuai dengan waktu yang dia janjikan. Dia menyampaikan langsung padaku. Kami duduk berhadapan dan bicara. Aku bisa bertanya kenapa dia berhenti mencintaiku. Bukan dikirimi pesan lalu di-ghosting seperti ini.
"Kami sudah lama bersama. Enam tahun. Dalam kurun waktu itu, pasti aku pernah membuatnya bahagia kan, Sal? Itu saja sudah membuatku berhak mendapatkan ... perpisahan yang layak darinya. Kalau dia melakukan itu, cuma mengirim sebaris kalimat tanpa suara, itu sama artinya dengan dia nggak menghargaiku, iya kan, Sal?"
Sali menarik napas panjang. "Aku bukan mau membela Darwin, Ela. Karena ... setelah dia membuatmu seperti ini ... aku nggak bisa lagi menyukainya. Tapi menurutku, bisa saja sulit bagi Darwin untuk mengakhiri hubungan kalian. Kalau dia mendengar suaramu atau melihat wajahmu bisa jadi dia goyah dan...."
"Ya kalau begitu nggak usah putus," potongku. "Kalau masih cinta, kenapa dia harus mengakhiri hubungan kami? Hubungan jarak jauh itu susah, Sali, seperti yang dikatakan banyak orang. Di sana Darwin punya kehidupan baru. Lingkungan baru. Bahkan dia membuat support system baru. Di antara mereka mungkin ... ada yang bisa membuatnya jatuh cinta...."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top