DELAPAN

Sebelum aku memutuskan untuk menelepon balik atau mengirim pesan, Bangkit lebih dulu meneleponku lagi.

Aku memejamkan mata sebentar, untuk menenangkan detak jantungku dan mengatur agar suaraku, yang keluar nanti, terderngar normal.

"Halo...?" Sapaku ragu-ragu.

"Ela?" tanya Bangkit memastikan. Seperti dia takut salah menghubungi orang.

"Ela sudah mati," jawabku dengan ketus.

"Mati? Apa maksudnya?" Tentu saja Bangkit tidak paham. "Kamu ... bukan Ela?"

Aku mengembuskan napas kesal sebelum menjelaskan. "Setelah pertemuan kita, kenapa kamu menunggu dua minggu untuk menghubungiku? Dalam waktu dua minggu, bisa saja aku sudah mati dan kamu nggak punya kesempatan untuk berteman denganku."

"Tolong jangan bercanda dengan kematian, Ela," balas Bangkit dengan dingin.

Aku menepuk keningku. Satu lagi kesalahan kulakukan. Yang dulu saja aku belum minta maaf. Kapan aku belajar untuk berpikir dulu sebelum bicara. Seharusnya aku paham, kalau topik terlarang di duniaku adalah Darwin, di dunia Bangkit adalah kematian. Memang aku belum pernah berada pada posisi seperti Bangkit, ditinggal mati seseorang yang kucintai, sehingga aku tidak tahu bagaimana rasanya. Meskipun demikian, itu tidak bisa menjadi pembenaran bagiku untuk bercanda di luar batas. Kesannya aku tidak sensitive sama sekali. Tidak pengertian. Sudah tahu kekasih Bangkit meninggal dunia, seharusnya aku tidak menggunakan kata tersebut saat bicara dengannya, dalam konteks bercanda atau apa pun.

"Sorry ... Maafkan aku untuk semua yang kukatakan padamu. Candaanku hari ini. Apa yang kukatan padamu waktu kita ketemu dulu. Nggak seharusnya aku sok tahu dan lancang. Kalau apa yang kukatakan waktu itu membuatmu ... sedih atau...."

"Tidak masalah, Ela." Bangkit memotong. "Aku sudah melupakan itu. Dan aku tidak marah padamu. Aku menelepon bukan karena mau membahas apa yang kita bicarakan waktu itu."

"Hmmm? Apa kamu ... mencari Sali?" Aku sangat ingin Bangkit menjawab dia meneleponku karena merindukanku. Tetapi aku juga sadar itu tidak mungkin terjadi. Baru juga mengobrol sekali, apa yang bisa menimbulkan kangen?

"No. Kalau aku mau bicara sama Sali, aku akan menelepon Sali. Bukan kamu."

"Oh?" Sebelah tanganku bergerak ke dada. Mencegah jantungku meloncat keluar.

"Apa kamu ada waktu malam ini? Aku baru saja mendarat, sedang keluar dari bandara. Perjalanan ke dalam kota. Kalau kamu tidak sibuk, apa kita bisa makan malam bersama? Kalau kamu belum makan. Kalau sudah, mungkin ... minum kopi?"

Aku berpikir sebentar, menimbang perlu atau tidak aku bertemu dengan Bangkit lagi. Apakah Bangkit terlebih dahulu menelepon wanita yang dia ajak ke resepsi pernikahan itu sebelum menghubungiku? Mungkin wanita itu sedang tidak bisa menemaninya makan malam ini. Jadi sebagai cadangan, Bangkit menghubungiku.

Kalau ada satu hal yang paling tidak kusukai di dunia ini, itu adalah dinomorduakan. Memikirkan Bangkit tidak bisa mendapatkan perhatian wanita yang dia inginkan, lalu dia—

"Ela? Kamu masih di situ?"

Oh, sudahlah, aku juga perlu teman makan dan bicara malam ini. Seandainya sepanjang makan malam nanti Bangkit mau mendiskusikan calon pacarnya pun aku tidak akan keberatan. Hari ini bukan hari yang mudah untuk dijalani, karena atasanku terus-menerus memintaku merevisi tugas yang kukerjakan.

"Sorry...." Aku membersihkan kerongkonganku sebelum menjawab. "Aku belum makan sih. Kamu bisa jemput aku di kantor atau kita ketemu di lokasi? Kalau kamu yang pilih tempatnya?"

"Aku jemput saja. Kamu tidak bawa mobil kan? Masalah makan di mana ... nanti kita bicarakan waktu kita sudah ketemu."

"Nggak, nggak bawa mobil. Nanti aku kirim location supaya bisa kamu masukkan ke GPS. Berapa lama lagi kamu sampai di sini?"

"Lima belas menit. Nanti aku beri tahu kalau sudah dekat. See you soon."

***

"Ini. Oleh-oleh untukmu." Bangkit menyerahkan kotak kado berwarna putih dengan hiasan pita perak kepadaku, sebelum kami masuk ke sebuah gerai piza kecil milik orang Italia. Darimana aku tahu pemiliknya orang Italia asli? Karena dia salah satu mantan teman kencan Sali.

"Non smoking, dua orang." Aku lebih memilih untuk menjawab pertanyaan dari pelayan berbaju hitam yang tersenyum menyambut kami, daripada menanyakan lebih jauh kepada Bangkit mengenai hadiah di tanganku. Dan motif di balik pemberian hadiah tersebut.

Bangkit menarikkan kursi untukku sebelum duduk di berhadapan denganku. Dinding oranye di belakang punggungnya menampilkan foto-foto berbagai tempat di Italia. Cahaya keemasan dari lampu-lampu bohlam di atas kami membuat mataku—yang seharian tadi menatap layar komputer—terasa sejuk kembali. Lagu O Sole Mio yang sudah diaransemen ulang mengalun lembut ke seluruh penjuru gerai. Ratusan kali aku makan di sini, ratusan kali pula aku selalu ingin datang lagi. Bukan hanya karena makanannya, tapi juga suasana yang nyaman dan hangat membuatku betah berada di sini.

Aku yang mengusulkan kami makan malam di sini. Mengeliminasi pilihan Bangkit; sebuah restoran di lantai lima puluh di seberang gedung tempat bangkit bekerja. Dengan pakaian yang kami kenakan saat ini, kami tidak perlu pulang dulu untuk berganti baju. Namun, menghabiskan uang jutaan untuk pertemuan kedua kami kurasa terlalu berlebihan.

Aku menunggu sampai pelayan selesai mencatat pesanan kami, mengonfirmasi ulang, dan melangkah menjauh untuk membuka hadiah dari Bangkit.

"Ini apa? Aku buka sekarang?" Setelah Bangkit mengangguk, aku melepas penutup kotak kado di depanku. Cantik sekali. Rasanya belum pernah aku mendapatkan hadiah seelegan ini dari teman laki-laki.

Ya jelas, Ela, kamu pacaran dengan mahasiswa sebelum ini, yang belum punya penghasilan tetap, sebuah suara di kepalaku menyahut.

"Cantik banget...." Dengan hati-hati aku menyentuhnya. Wow, aku bertaruh harganya bukan pada kisaran ratusan ribu, melainkan jutaan.

"Kain tenun dari Waingapu." Bangkit menjelaskan. "Menurutku warna merah cocok untukmu. Pewarna kainnya alami, tidak pakai bahan kimia, katanya. Aku membelinya langsung dari kampung adat."

"Indah banget motifnya. Rumit." Warna kainnya merah menyala. Seekor burung berjambul jingga bertengger di ranting berhiasa bunga dengan empat dan delapan kelopak. Garis-garis dengan motif kotak menambah indahnya kain di hadapaku. Saking bagusnya, aku tidak akan tega memotongnya menjadi baju. Mungkin akan kubingkai saja dan kujadikan hiasan dinding.

"Motif burung kakatua Sumba."

"Terima kasih. Bukan cuma karena kain tenunnya bagus banget, tapi karena kamu ... memikirkanku selama di sana." Aku mengangkat wajahku dan menatap Bangkit. Yang juga memperhatikanku sejak tadi. Dengan tatapan yang sulit kuartikan.

Dadaku berdesir dan jantungku berdetak semakin kencang. Aku yang tadinya merasa lapar, sekarang tidak punya tempat untuk makanan di perutku. Karena di sana penuh dengan kupu-kupu yang beterbangan. Aku yang dulu tidak akan membiarkan ini terjadi. Because someone who give me butterflies also are the ones who give me the most heartache too.

Bangkit menggelengkan kepala dan tertawa pelan. "Itu masalah terbesarku selama dua minggu ini, Ela. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."

Ini lebih baik daripada mendengar Bangkit mengatakan dia merindukanku. Aku menggigit bibirku, berusaha menyembuyikan senyum lebar yang, tanpa bisa dicegah, terbit di wajahku. Tanpa suara kami saling bertatapan. Bangkit tersenyum memandangku. Aku masih belum bisa mengartikan tatapannya.

Seharusnya aku mengatakan sesuatu untuk menanggapi. Tetapi aku tidak bisa menemukan di mana lidahku. Senyum Bangkit, yang tidak hilang juga dari wajah tampannya, semakin membuatku tidak bisa berkata-kata.

"Apa kamu mengizinkan?" tanyanya.

"Huh?" Aku tidak mengerti.

"Aku. Memikirkanmu."

"Kenapa kamu baru menghubungiku hari ini kalau memang kamu nggak bisa berhenti memikirkanku?" Setelah berhasil menenggelamkan semua kupu-kupu yang menari di dalam perutku, aku bertanya. Dan kenapa kamu menggandeng wanita lain saat mendatangi sebuah resepsi pernikahan? Kenapa bukan aku yang kamu pilih untuk mendampinginmu? Aku ingin menanyakan ini, tetapi aku menahannya, menunggu saat yang lebih tepat.

"Karena aku tidak ingin kamu berharap ... aku akan menghubungi atau menemuimu sering-sering. Sebisa mungkin pasti aku akan rutin menghubungimu, tapi kadang-kadang aku sibuk dan tidak sempat. Biasanya wanita tidak ... menyukai jadwal kerjaku." Bangkit diam sejenak, sebelum melanjutkan sambil tertawa. "Ya ... walaupun mereka suka dengan gajiku."

"Memangnya apa pekerjaanmu dan gimana jadwal kerjamu?" Pada pertemuan pertama dulu, Bangkit hanya menyebut dirinya seorang engineer. "Aku nggak akan menanyakan berapa gajimu, tenang saja. Aku punya gaji sendiri jadi aku nggak mengkhawatirkan gaji orang lain."

***

Teman, kalau kamu mau melengkapi karyaku di rak bukumu, ada diskon 30% dan 40% di gramedia.com ya. Juga diskon 30% untuk beli paket fiction premium, sehingga kamu bisa karya-karyaku di aplikasi Gramedia Digital, plus ribuan novel lain yang kamu suka. DM me di IG kalau kamu ada pertanyaan.

Menulis buku tidak gratis. Ada biaya yang harus kukeluarkan untuk meriset dan memproduksi cerita. Biaya itu aku tutupi dari penjualan buku-buku sebelumnya. Jadi aku sangat berterima kasih kepadamu yang telah menyisihkan rezeki untuk membantuku menulis cerita lagi :-)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top