[3] - chapter 29

Sudah tiga hari berlalu sejak makan malam yang berujung kecanggungan itu. Dan, sudah 72 jam berlalu sejak Bang Ion mulai menghindariku. Semenjak berbincang dengan bunda, ia dengan sengaja mengabaikanku. Sepulang kantor, abang langsung menuju kamarnya tanpa banyak bicara, hanya menitip Alin padaku. Dan, Alin belakangan ini lebih memilih menghabiskan waktu di kamarku. Tanpa bersuara, hanya membaca, tapi kebanyakan tidur. Rumah kembali sunyi, apalagi Bunda sudah kembali pergi. Tiga penghuni rumah ini seperti mayat hidup, tidak sedikitpun terpancar aura kehidupan.

Saat ini, aku sedang menemani Alin yang baru saja tertidur. Sebenarnya keberadaanku di sini, tak begitu berguna. Hanya menjadi patung pajangan tanpa interaksi apapun. Alin benar-benar kembali seperti semula. Adik kecil itu hanya mau menjawab pertanyaan dan dengan cepat memutus percakapan. Jujur, aku sudah ditahan lagi. Apa sebenarnya yang terjadi?

Kupastikan adik kecil itu tertidur pulas untuk terakhir kalinya, dan beranjak pelan menuju kamar abang. Ragu-ragu aku mengetuk pintunya, sebab dua hari ini ia selalu berlaga tak mendengar apapun. Sebenarnya nyaliku sudah ciut ketika pertama kali merasakan pengabaian darinya. Tapi aku tidak bisa berhenti, tidak sebelum aku mendengar apa yang ingin dibicarakannya hari itu.

"Abang ... Nay, tahu abang belum tidur," tegasku sambil mengetuk. Melirik gagang pintu, aku memberanikan diri membukanya. Namun sayang, ternyata terkunci.

"Abang," panggilku sekali lagi.

Sunyi. Tidak ada sedikitpun jawaban darinya. Kenapa? Kenapa abang ikutan diam? Kenapa abang ikut bermain dalam permainan itu? Abang, jawab kinay...

"Abang..."

"Abang kenapa?"

"Bang?" lirihku dengan leher yang berasa tercekit. Mirip ... Sangat mirip dengan apa yang terjadi dulu. Aku kembali menghilang, menjadi insan yang tak dianggap keberadaannya. Lututku lemas, tak mampu lagi menopang beban tubuh hingga terduduk memegangi lantai yang dingin.

Memori-memori yang dulu kembali terulang seperti kaset yang rusak. Masih di rumah yang sama, dengan kejadian yang sama. Aku hanya bisa menangis, menyambut semua kenangan itu. Terkaanku terbukti; semua akan diam. Untuk ke sekian kalinya, aku menghilang, lenyap tanpa diingat.

Aku kembali ditinggalkan...
Aku kembali terlupakan...
Aku kembali sendirian...

Berulang-ulang kali, suara itu memenuhi pikiranku hingga membuat raunganku pecah. Kubungkam mulut ini dengan cepat agar tidak ada suara yang terselip. Dada ini terasa sesak dengan begitu banyak amarah dan sesal.

Berhenti!
Kumohon berhenti mengingat semua itu!

Lagi-lagi memori itu tidak menyerah, aku semakin mengingat detik demi detik yang berlalu kala itu. BERHENTI! teriakku dalam hati. Sebelah tangan masih membungkam mulut, dengan sebelahnya lagi sedang melampiaskan resahnya ke dinding terdekat. UDAH CUKUP! bentakku dalam hati ketika mengingat ucapan bunda dahulu.

Hatiku terasa hancur berkeping-keping pada memori itu. Bunda ... Kenapa bunda pernah berbicara sejahat itu? Raunganku tak bisa lagi dibendung, hingga terselip sedikit teriakan yang memicu amarah. Dinding dingin kala itu terasa cukup hangat untuk dijadikan target pelampiasan. Masa bodoh dengan sekitar, dinding itu lagi-lagi menyaksikan titik terendahku. Tanpa ampun, aku memukulnya dengan tangan kosong. Hingga seketika saja badanku ditarik ke dalam kamar.

Napasku menderu dengan kencang, kunang-kunang mulai berlalu-lalang di penglihatan. Kesadaranku mulai melayang, hingga badan terasa ringan. Aku tidak tertidur, hanya terkulai lemah, berjuang menarik napas.

"Nay! Nay! Kinay!" paniknya yang menopang tubuhku.

Dari samar-samar wajahnya, aku bisa menerka siapa itu. Aku sudah tidak bisa berkutik sebab tenaga sudah habis termakan sesak di dada. Mau tak mau, aku hanya bisa berdiam di dekapannya. Raungan pun tak bisa lagi terkeluar, karena sakitnya luar biasa membungkam. Air mata masih bercucuran tanpa henti, dengan napas yang masih tersengal-sengal. Kudengar suaranya begitu pelan dan bergegar membisikan kata-kata penenang.

"Abang di sini, Nay."
"Kamu nggak pa-pa."
"Pelan-pelan aja, tenangin hati kamu. Abang ada di sini."
"Adik abang sayang."

Sesak itu lambat-lambat berkurang, hanya menyisakan napas pendek yang melelahkan. Perlahan aku menggerakan tanganku yang bergegar untung mengalungi lehernya. Seutuhnya bertumpu padanya yang telah menjadi saksi kedua titik terendahku. Malu tidak lagi terpikirkan olehku, sebab letih ini belum sirna.

"Kinay capek, Bang," lirihku dengan suara serak.

Aku bisa merasakan ia mengangguk pelan sambil mengusap punggungku. "Tidur aja, Nay. Nggak pa-pa ... Abang jagain," ucapnya selembut sutra yang langsung menghantarkanku tidur.

~~~~~

Sayup-sayup, aku mengerjapkan cahaya yang masuk ke iris mata. Selimut hangat membungkus diriku tak seperti biasanya. Menatap langit-langit ruangan yang bukan kepunyaanku. Sontak aku bangun dengan posisi terduduk menyandar pada bingkai tempat tidur. Ternyata aku masih di sini, tanpa berpindah dari tempat perkara tadi malam. Pemilik kamar itu menjadi saksinya, ia juga masih di sini. Terduduk di lantai yang dingin dengan tangan menopang kepala pada kasur. Dia benar-benar menjagaku semalam....

Aku mulai dihujani dengan perasaan bersalah. Menyusahkannya di tengah malam sunyi. Semua hanya karena bisikan-bisikan penggoyah itu. Betapa cerobohnya aku bisa terpancing dengan semua itu. Terpaksa diam-diam aku menyelinap turun dari kasur. Beranjak sepelan mungkin agar tidak membangunkannya. Naas pula rencana kali ini, ia terbangun dari tidurnya yang terlihat tidak nyaman itu. Sungguh kasihan, abang bermalaman dengan posisi begitu.

"Nay, mau kemana?" katanya dengan suara serak khas bangun tidur.

Aku seketika mati kutu; sangat kebingungan untuk memulai dari mana. Pandanganku sengaja tertuju pada ke semua hal, kecuali padanya. Canggung dan cemas menjadi satu. Apa yang perlu kukatakan dalam situasi begini?

"Kamu istirahat aja dulu, nggak usah sekolah," sarannya.

Untuk beberapa saat, ia terdiam mengamatiku kemudian menghela napas. "Dek," panggilnya seraya berdiri menghampiriku. Memegang kedua pundakku, hingga aku terpaksa menatap kedua manik hitamnya yang begitu sayup. "Duduk dulu," ujar Bang Ion mengarahkanku untuk menduduki kasur. Ia berlutut di depanku dan meneliti wajahku dengan saksama, kemudian menggengam tanganku yang telah diperban rapi. Bagaimana bisa aku baru menyadarinya? Tampaknya ia membersihkan luka di buku jariku ketika aku terlelap.

"Apa ... Masih sakit?" tanyanya ragu-ragu.

Kini, pandangannya hanya tertuju pada jari-jemariku. Mengusapnya dengan lembut, seakan ia takut akan melukaiku. Jujur, aku tidak begitu merasakan sakit di tangan ini, karena sesak kemarin masih lebih terasa menyakitkan. Maka, hanya gelengan kepala yang bisa kuberikan. Bang Ion langsung senyum sendu, "Jangan bohong."

Aku mengatup bibir, tanpa berbicara banyak. Sungguh aku ingin pergi, tak ingin menjadi beban untuknya. Sekelibat frustasi terlihat di paras sang abang, tapi menghilang begitu saja. Begitu mudah baginya untuk menyembunyikan perasaan. Ingin rasanya aku belajar.

Cukup lama, ia memandangiku hingga akhirnya menyerah. Sang abang tertunduk penuh sesal, "Maafin abang, Nay."

Aku tertegun menelan ludah ketika mendengarnya. Hati ini semakin merasa bersalah, hingga sontak aku menengadahkan kepalanya. Matiku mulai berkaca, menyamarkan rupa sang abang. "Abang enggak salah," bisikku menahan nangis. "Kinay yang minta maaf, udah ngerepotin abang semalaman."

Bang Ion langsung bergeleng cepat dan duduk di sebelahku. Ia memegang pundakku untuk meyakinkan. "Abang yang salah, Nay. Nggak seharusnya abang ngehindarin kamu begitu!" sesalnya. "Maafin abang, Nay."

"Bang. Enggak, Bang."

"Nay ... Emang kenyataannya gitu, Nay! Abang sengaja ngelakuin itu. Maaf abang menghindar dari kamu. Enggak seharusnya abang ngelakuin itu, Nay ... Abang minta maaf ... Tolong jangan salahin diri kamu ya, Dek."

Seharusnya, pengakuannya membuatku semakin suram. Namun, entah mengapa, aku merasa sedikit lega ketika ia mengaku. Mungkin karena ini pertama kalinya, seseorang benar-benar mengakui kesalahannya... Mungkin karena ini pertama kalinya, seseorang menyatakan perbuatannya yang ternyata berdampak padaku. Tak sanggup sudah bendungan air mata ini kutahan. Dengan cepat aku memeluknya, menyambutnya dengan kehangatan. Aku belum siap cerita banyak, yang bisa kulakukan hanya membisikan kata maaf sambil menepuk pelan punggungnya. Seraya berharap dalam hati, kalau kemungkinan yang bisa saja terjadi ke depannya, tidak berdampak pada harapanku padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top