[2] - chapter 24
Untuk kedua kalinya dalam satu hari aku menginjakan kaki di toko buku. Namun, kali ini berbeda tempat. Pertama kalinya pas sama Alin. Sengaja aku mengasih dia waktu buat milih buku sesukanya, malah cuman milih satu. Udah aku bujuk berkali-kali agar sekalian beli beberapa buah, dia-nya menolak. Kayaknya anaknya enggak enakan.
Lalu, kali keduanya setelah jemput Kinay dari sekolah. Pas dia masuk ke mobil, langsung ngajak ke toko buku. Ada tugas sekolah, katanya. Jadi, di sinilah kita bertiga. Lagi-lagi berada di dalam toko buku.
"Yakin lo nggak mau beli lagi?" tanyaku pada Alin.
"Untuk kesekian kalinya. Enggak, Bang. Makasih, ini udah cukup," tegasnya.
Aku mengangguk seraya mengambil sebuah majalah. Menunggu Kinay mencari barang keperluannya. Ini butuh kesabaran juga, anak itu jalan masih lama banget. Pas mau ditemanin, pakai acara menolak lagi. Alhasil, dia keliling sendirian. Sementara aku dan Alin menunggu dekat rak majalah.
Karena, mulai malas membaca. Aku meletakan kembali majalah yang ada di tanganku. Dalam diam, aku mengamati mata Alin yang menjelajahi sekitar.
"Abang bukan mau bahas yang kemarin. Cuman mau mastiin aja," ujarku memecahkan keheningan.
Si Alin langsung menatapku bingung. "Apa?" tanyanya datar.
"Ini udah berapa hari lo berhenti ngerokok? Dua 'kan? Ada masalah nggak?"
Dia menggelengkan kepala, "Sejauh ini masih aman."
"Beneran? Nggak ada kepengen sedikit pun?"
Pertanyaanku barusan kembali dianggurin oleh Alin. Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia tak begitu memerdulikan perkataanku. Hal itu membuatku menghela napas panjang. Ternyata susah juga memujuk anak orang ya.
"Lo beneran nggak ada nyimpan rokok lain, kan?" tanyaku sekali lagi.
Alin langsung menatapku tak percaya, kedua alisnya juga hampir betautan tanda marah. "Nggak ada! Jadi, lo tenang aja. Jangan banyak tanya," geramnya.
Akhirnya, aku pun mengalah seraya menutup mulut hingga sampai di rumah.
~~~~~
Malam pun tiba. Namun, berbeda dengan biasanya. Sesaat setelah makan, para pengisi rumah berpamitan pergi. Bunda berpamitan mau langsung tidur. Alin langsung melongos ke kamar. Sedangkan, Kinay beralasan akan mengerjakan tugas di kamarnya. Alhasil, aku menonton televisi sendirian. Nggak masalah sih, jarang-jarang juga sepi begini.
Masalahnya sekarang berada pada film yang tayang. Enggak ada yang bagus. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk ke kamar. Berusaha tidur, tapi kenyataannya malah mainin ponsel dalam gelapnya kamar.
Keadaan sunyi dan tenang itu, tiba-tiba terganggu akibat ketukan pada pintu kamarku. Sebelah alisku refleks menaik tanda penasaran. Dan sigap saja, aku berdiri dan membuka pintu.
Sempat aku mengira bahwa si pengetuk pintu adalah Kinay atau pun Bunda. Namun, sungguh salahnya diri ini. Di situ dia, si pengetuk pintu alias Alin, berdiri canggung dengan kedua tangan berada pada kantong jaketnya. Wajahnya hampir tertutup akibat hoodie yang dipakainya, ditambah karena kepalanya menunduk.
"Rokok gue mana?" tanyanya pelan.
Mendengar pertanyaannya, aku langsung mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Ya, kepengen!" pekiknya dalam berbisik.
"Kenapa malam-malam begini?"
Tak perlu waktu lama, Alin menggerutu padaku. "Udah kenapa sih banyak tanya banget. Satu aja."
"Enggak," tegasku. Dan dengan itu, Alin beranjak pergi. Eh, kok mudah bener? Padahal udah siap argumen ini.
Tapi tak lama, aku menyurigainya. Rasanya ini terlalu mudah untuk menjadi kenyataan. Alhasil, aku kembali bertanya padanya, "Mau ke mana?"
"Beli rokok," desisnya pelan.
Ternyata firasatku benar. Aku pun langsung mengejar anak itu. "Eh, eh tunggu," suruhku seraya menarik lengannya untuk berhenti. "Ikut gue, tapi nggak ada ceritanya beli rokok," sambungku seraya melirik sekitar. Takut tiba-tiba saja Bunda atau Kinay keluar dari kamarnya.
"Gue maunya beli rokok," sanggah Alin sambil berbisik, tapi penuh dengan penekanan.
Aku langsung meremas rambutku sendiri tanda geram. "Nih ya, Lin. Denger nih. Rokok 'tu nggak baik. Jadi udah, sekarang tolong lo jangan nolak dan ikut gue!" perintahku yang ternyata dilakukan oleh anak ini.
Aku langsung menuntun anak ini ke mobil. Pelan-pelan aku menyetir mobil; keluar dari rumah. Berharap orang rumah tak menyadarinya. Namun, kalau ketahuan. Ya udah sih, tinggal ngeles aja—gampang.
Diam-diam aku sempat melirik ke arah Alin. Dia mengamati dunia yang terlewat dari kaca sebelahnya. Lebih terlihat seperti orang melamun malah. Dan tak perlu waktu lama, tempat pertama telah di depan mata. Cahaya terang dari minimarket memudahkanku untuk mengamati ekspresi Alin.
"Tunggu sini. Nggak ada ceritanya ikut masuk," jelasku padanya.
Si Alin langsung memutarkan kedua bola matanya, "Terserah."
Aku pun keluar dari mobil dan memasuki area minimarket. Tak begitu khawatir dengan Alin, karena aku yakin dia tak akan berbuat aneh-aneh. Segera saja, aku beranjak menuju ke area camilan. Mengambil semua makanan ringan yang manis, serta bermacam jenis permen. Sesaat setelah membayar, aku langsung membawa sekantong belanjaan itu—menuju mobil dan langsung menyerahkannya pada Alin.
"Udah tuh, lo makan itu aja," suruhku. "Ngapain juga ngisap asap. Nyakitin diri yang ada."
Kali ini dia menjawabku dengan penuh sarkasme, "Ya, permen juga nggak sesehat itu."
~~~~~
Sesaat kembali dari perjalanan tak terduga itu. Aku dan Alin langsung menuju meja makan. Sengaja juga tadi singgah ke sebuah restoran cepat saji, cuman drive thru aja. Jadi, di sinilah kita sekarang. Dengan tenang dan dalam diam menyantap makanan.
"Udah berapa lama?" tanyaku karena tak tahan dengan penasaran.
Alin langsung sedikit memiringkan kepalanya. Bingung dengan arah pembicaraan.
"Lo ngerokok," bisikku. Jaga-jaga aja takut ada yang dengar.
Dia mengangguk santai seraya bergumam, "Ohhh ... Ini tahun ke dua kayaknya."
Aku tersenyum simpul melihat perubahan mood-nya. Dia jadi lebih tenang gitu, kalem aja. "Kenapa?" tanyaku.
Sang lawan bicara hanya mengangkat kedua bahunya. Tak begitu peduli untuk menjawab pertanyaanku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menggunakan metode Kinay; blak-blakan.
"Lo ada masalah ya di Bandung?"
Alin langsung mematung. Dia melihatku dengan menyipitkan mata penuh selidik. Namun, dengan cepat ekspresinya berganti datar seperti biasa. "Semua orang pasti punya masalah," tuturnya.
Aku mengangguk; setuju padanya. "Iya, bener ... Jadi, gue anggap itu sebagai jawaban 'iya' buat pertanyaan tadi. Dan, Bunda tau ya masalah lo apa?"
"Iya, tau," lirihnya.
Aku pun berdeham, mencari kepercayaan diri untuk berbicara, "Kemarin, abang nggak sengaja liat Bunda nangis abis keluar dari kamar lo."
Alin langsung terdiam seraya menatap lurus padaku.
"Ada kaitannya sama 'masalah lo' yang ini ya?" tanyaku ragu-ragu. Namun, hal yang membuatku terkejut adalah anggukan dari Alin yang membenarkan dugaanku.
"Lo gimana? Nggak pa-pa?" tanyaku mulai khawatir.
Alin tersenyum simpul, sesuatu yang sangat jarang terlihat. "Nggak pa-pa," jawabnya dengan penuh tegar. Namun, matanya tak sengaja membongkar kejujuran bahwa dia tidak baik-baik saja.
Aku pun mengangguk, berlaga seperti mempercayai perkataannya. Tak ingin membuatnya merasa semakin tertekan. Cukup aku mengamati, sepertinya Alin belum siap untuk bercerita. Dia masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Masih ingin menutupi semua kesedihan miliknya. Hal ini menjadikanku bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi di Bandung hingga membuat Bunda dan Alin begitu sedih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top