[1] - chapter 5

"Bunda hati-hati ya di sana," gumamku sambil mengeratkan pelukan dengan Bunda. Aku suka kehangatan ini, terutama karena saat ini Bunda lagi mengelus rambutku dengan pelan.

"Iya sayang, pasti... Kamu juga, baik-baik ya di sini. Jangan lupa makan. Bunda cuma bentar aja kok ke Bandung, enggak jauh-jauh bener," jelas Bunda sambil tersenyum.

"Ya tujuh hari tuh lumayan lama, Bun."

Malahan awalnya aku kira cuma tiga atau empat hari aja. Tapi, syukurlah masih ada Bang Ion yang menemaniku.

Saat ini Bunda beralih memeluk Bang Ion dan mengelus kepalanya. Jelas sekali kasih sayang Bunda padanya, jadi gemas sendiri.

"Ya udah, bunda pergi dulu ya Nak. Nitip Kinay sebentar ya, dijagain bener-bener ya. Cuma satu-satunya itu," pesan Bunda ke Bang Ion membuatku terkekeh pelan.

"Iya, pastilah Ta-" seakan tersadar kesalahannya, Bang Ion langsung mengoreksi dirinya sendiri. Semalam bunda menyuruhnya untuk memanggil dirinya dengan sebutan yang biasa aku gunakan.

"Bunda. Tenang aja, kalau sama Derion pasti aman," lanjutnya sambil senyum sombong terpampang di wajah.

Bunda pun memberikannya senyuman tanda percaya. Dengan sekali lagi berpamitan, bunda masuk ke dalam kereta yang telah bersiap untuk berangkat. Ada perasaan sedih yang menjalar di hati, sekaligus bimbang. Memang, ini bukan pertama kalinya bunda pergi ke kota lain untuk bekerja. Tapi, tentu saja diri ini belum bisa menyesuaikannya. Bagaimana aku bisa menjaganya jika tidak bertemu dengannya? Hanya doa yang bisa aku rapalkan pada Allah, memintaNya untuk menjaga bunda selagi aku tak bisa.

"Nay, udah ya. Jangan sedih, bunda gak lama kok di sana. Sekarang kita pulang ya. Kan kereta bunda juga udah berangkat," ajak lelaki yang sedaritadi melihatku. Dengan enteng dia merangkulku; menuntun kembali ke mobil. Hanya sebuah anggukan yang bisa aku berikan sebagai tanda setuju.

~~~~~~

Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan menuju tempat di mana kasurku berada. Mata ini masih berat, soalnya tadi aku bangun lebih awal daripada mentari terbit demi mengantar bunda ke stasiun.

Sedetik badan ini menyentuh kasur. Suara Bang Ion langsung memasuki telinga, sepertinya ia berteriak dari lantai bawah. Dengan tampang kesal aku duduk di kasur, lalu beranjak keluar kamar.

"Pengen marah rasanya," geramku dengan pelan. Maklum ya anak tunggal, kebiasaan ngomong sendiri.

Karena malas yang lebih mendominasi. Aku pun memilih untuk duduk di anak tangga paling atas saja.

"Apa?" tanyaku malas-malasan dengan tangan menopang dagu. Bang Ion saat ini ada di hadapanku. Tapi jauh di ujung tangga sana; di lantai bawah.

"Gapapa, manggil aja," jawabnya sambil cengar-cengir. Sesaat mendengar itu, aku langsung berdiri dan melotot padanya.

"Ih, Abang! Gaje nih, Kinay mau tidur. Dah ah," geramku seraya berbalik arah menuju kamar.

Baru saja beberapa langkah, si abang kembali memanggilku. Sambil mendengus, aku pun berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Belom juga gue selesai ngomong Nay," jelasnya sambil menyeringai.

"Apa lagi? Serius nih ya! Lagi ngantuk bisa jadi garang banget nih," ancamku yang sudah tak lagi peduli. Ini udah ngantuk banget! Nih ya, aku kasih pesan yang baik. Pokoknya jangan main-main sama aku kalau lagi ngantuk. Bisa moody-an banget anaknya.

"Iye, iye. Santai aja kali neng... Cuma mau bilang, Ntar kalau lo udah bangun. Bangunin gue ya, ini gue juga mau tidur... Biar ntar siang kita bisa jalan," jelas si abang sambil mengacungkan ibu jarinya ke arahku dan langsung beralih ke kamarnya.

Setelah mengiyakannya, aku segera menemui kasur. Melanjutkan rencana tidurku yang tadi sempat terganggu.

~~~~~~

Satu langkah terakhir menuruni anak tangga, akhirnya aku sampai di lantai bawah. Ini barusan aja bangun tidur, jadi maaf ya masih muka bantal.

Niat awal mau ke dapur ngambil air, malah teringat pesan Bang Ion. Jadi tertunda dulu niatku ke dapur dan beralih menuju kamar Bang Ion.

Tok.. Tok..

Ragu-ragu aku mengetuk kamar Bang Ion, berharap dia sadar.

"Bang, masih tidur ya?"

Suara ini keluar sangat pelan, takut mengganggunya. Karena tak mendengar sahutan darinya, aku kembali mengetuk dan memanggil namanya.

"Hmmmm," gumam Bang Ion dari dalam kamar, sepertinya masih setengah sadar.

"Tadi katanya minta bangunin," kataku yang mulai merasa kesal. Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu kamar Bang Ion yang untungnya tidak terkunci. Langsung saja mataku mendapati dia yang masih tertidur pulas dengan selimut menutupi tengah badan.

"Oi Abang, bangun," perintahku lebih keras dari sebelumnya. Kayaknya anak ini enggak bisa dilembutin, enggak mempan. Akhirnya tanganku meraih selimut yang di pakainya, sesekali menarik dengan pelan.

"Bang... Bangon oi, katanya mau jalan. Udah siang nih," seruku pada orang yang masih terbaring di atas kasur itu.

Akhirnya sebelah mata Bang Ion terbuka mengintip aku yang sedang menarik selimutnya. Senyum tipis muncul di wajah. "Lu bilangnya mau jalan, tapi mandi aja belom. Mau langsung kayak gitu neng?" ledeknya dengan suara khas orang bangun tidur. Masih serak gitulah pokoknya.

"Kan Abang sendiri yang bilang. Kalau aku bangun, langsung bangunin abang. Gimana sih?" jelasku seraya berkacak pinggang memandangnya; membela diri. Toh, aku emang enggak salah.

"Iya, iya. Ya udah mandi sono. Gue tunggu 20 menit ya. Gak pake lama," ucapnya sambil membuka selimut dan duduk di pinggir kasur.

"Mana cukup 20 menit," timpalku dengan cepat.

Yang benar saja orang ini, 20 menit mau ngapain?!

Dia pun terkekeh, "Makanya lo jangan pakai bawel lagi. Gih sana mandi, biar cepet." Dia pun mendorongku berbalik arah, menyuruhku keluar dari kamarnya.

"Hmm... Awas ya, kalau lo yang lama," ancamku pada Bang Ion seraya keluar dari kamarnya. Sesaat mau menutup pintu, aku melihat dia masih memperhatikanku. Dengan iseng aku menjulurkan lidah ke arahnya; meledeknya. Hanya sebuah tawa dan gelengan kepala yang ku dapat sebagai respons darinya. Langsung saja aku menutup pintu kamarnya dan berniatan untuk segera ke kamar.

Eh, tapi tunggu dulu ya. Ambil minum dulu, kan ini masih haus....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top