[1] - chapter 4

Keadaan rumah yang hening menyambutku. Terkadang hal ini ada baiknya juga; berhasil membuatku lega. Begitu mudah untuk aku melepaskan penat hasil pikiran yang berpacu kencang mengejar materi di sekolah.

Eh, tunggu...
Tapi, kenapa jadi sepi begini ya?
Mana Bang Derion?

Namun, karena badan yang telah letih dan mulai gerah dengan seragam ini. Aku pun langsung beranjak ke kamar; ingin secepat mungkin untuk mandi.

"Assalamualaikum."

Sontak aku terkejut dan menoleh ke sumber suara. Ternyata di situlah dia; Bang Derion sedang berduduk manis di ruang tengah sambil menatap layar besar di depannya.

"Eh, iya. Waalaikumsalam," jawabku dengan pelan padanya.

Jujur saja, aku masih bingung memikirkan cara untuk berinteraksi dengannya. Masih banyak kecanggungan yang mengisi celah kosong di antara kita. Karena, mungkin saja aku belum tahu betul siapa sosok Derion ini.

Apa harus dianggap seperti teman? Entahlah, mungkin nanti. Atau anggap sebagai abang? Lah gimana cara? Tau aja, enggak.

"Hoi! Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu. Ganteng ya?" candanya dengan senyuman bangga terpampang jelas di wajah.

"Hidih apaan. Kaget aja, kirain tadi enggak ada orang," belaku seraya berjalan menuju kamar.

"Lo siap-siap ya. Habis ini, kita jalan," seru Bang Derion dari lantai bawah sesaat aku memegang gagang pintu kamarku.

Dengan tanpa jawaban dari bibirku, aku langsung masuk ke kamar. Merebahkan badan ini walau hanya sebentar, kemudian lanjut bersiap untuk jalan. Meskipun aku sendiri belum tahu arti jalan versi Bang Derion. Pokoknya nurut ajalah....

~~~~~~

"Akhirnya turun juga Princess," sahut Bang Derion dari ruang tengah sesaat aku menuruni anak tangga. Lebay aja dia nih. Lama aja enggak, aku di kamar.

"Ye, kan bentar itu Bang. Emangnya ini mau ke mana?"

Belum sempat Bang Derion menjawab, ponselku berbunyi tanda panggilan masuk. Dengan sigap aku menerimanya sesaat melihat nama yang terpampang.

Bunda

"Nak kamu dimana?"

"Kinay di rumah, Bun. Bunda dimana? dari pagi enggak keliatan."

"Ada urusan di kantor, pagi-pagi banget bunda udah pergi."

"Lalu Bunda kapan pulang?"

"Insya Allah jam 7 ya, Nak. Tapi, besok pagi mau berangkat lagi ke Bandung."

"Loh tiba-tiba begini, Bun?"

"Iya, sayang. Tapi, cuma sebentar aja kok."

"Oh gitu, oke Bun. Bunda jangan terlalu capek ya, jaga kesehatan. Ini kinay baru pulang juga. Sekarang mau pergi dulu sama Bang Derion."

"Ya udah, hati-hati ya nak. Bilang Derion hati-hati juga. Nanti malam kita ketemu di rumah ya."

• • • •

Tak lama setelah itu, Bunda pun menutup panggilan. Kulihat Bang Derion yang sedang duduk di sofa tampak penasaran. Tanpa mengutarakan pertanyaannya, dia berdiri mengambil kunci mobil.

"Nay, lo ngapain diem di situ. Hayoklah," ajak Bang Derion.

Dengan canggung aku mengikutinya ke mobil. Haduh, di mobil lagi. Ini gimana caranya mau menghindari Bang Derion?! Langkahku cukup pelan, ingin rasanya mengulur waktu biar enggak jadi pergi.

"Princess, Princess. Anggun bener jalannya. Kurang lama," cemooh Bang Derion padaku. Salah terus ini mah. Ternyata aku jago juga bikin malu diri sendiri.

~~~~~~

"Dah sip, mau kemana nih?" tanya Bang Derion sesaat setelah kita masuk ke dalam mobil. Seketika saja aku kaget dan menoleh ke arahnya. Hati ini telah bersiap untuk marah, namun aku urungkan niat itu.

"Lah yang ngajak jalan kan Abang. Gimana sih?" Kedua tanganku berlipat di depan dada, menunjukan rasa sedikit kesal ini. Mata ini juga masih menatap tajam pada lelaki itu.

"Iya, tapikan ini kota lo. Mana gue tau tempat yang bagus," cengiran bak anak kecil terukir di wajahnya. Jawaban dia enggak salah juga sih.

"Iya juga ya. Ya udah, jalan aja. Nanti gue arahin. Muter-muter aja ya."

Jawaban yang aku dapat hanya berupa anggukan kepala dari Bang Derion sebagai tanda setuju. Suasana saat ini syukurlah tidak canggung, walaupun hanya sedikit saja suara yang aku keluarkan. Mungkin masih belum terbiasa akan kehadiran sepupuku ini.

"Lo enggak ingat gue ya?" tanya Bang Derion secara tiba-tiba.

Eh, apa ini?
Pertanyaan jebakan atau gimana?

"Ingat kok," jawabku singkat sambil cengengesan. Dengan sekilas Bang Derion menoleh ke arahku, kemudian terkekeh.

"Boong banget dah. Bilang gak ingat juga gapapa kali."

Senyum hangatnya masih terpampang di wajah. Aku hanya bisa mengiyakan sembari tersenyum simpul. Terakhir aku ketemu dia mungkin kelas 1 SD. Ya aku emang ingat, tapi enggak semuanya. Udah lama banget itu, dianya juga udah banyak berubah. Sulit untuk mengenalnya. Wajahnya waktu kecil sangat amat berbeda dengan sekarang.

"Lo sekarang agak berubah ya," ujar Bang Derion. Aku memandangnya dengan raut bingung di wajahku. Maksudnya apa lagi nih? Ya kali anak SMA sama kayak pas masih SD.

Sadar akan tatapanku. Dia kembali menoleh dengan sekilas dan tersenyum. Tenang saja, matanya fokus kembali ke jalanan kok.

"Lo dulu cerewet banget. Gemas sendiri liatnya," jelasnya sambil tertawa kecil. Rasanya sampai sekarang emang gitu bang. Cuman belum keluar aja aslinya.

"Ya kan udah gede, berubah dikit lah," tuturku dengan pelan; mencari alasan yang pas untuknya. Namun tampaknya dia kurang percaya dengan ucapanku.

"Ya kalau dulu, lo pas kecil gini nih..."

Dia berdeham kemudian menarik nafas dengan panjang bersiap untuk menirukan suara anak kecil.

"Bang Ion, Kinay mau es krim! Pokoknya harus beli sama Abang!"
"Kinay mau naik sepeda, Bang Ion ikut ya. Jadi kalau Kinay capek, biar abang yang bonceng aja"
"Bang Io-"

Tak tahan mendengar cerita Bang Derion. Dengan tangkas aku menutup mulutnya sebelum dia berhasil menirukan cara bicaraku waktu kecil. Malu rasanya mendengar cerita-cerita begitu.

"Ihhh, Abang! Iya, iya. Udah jangan cerita lagi. Maluuuuu!" perintahku yang berusaha terdengar tegas malah terganggu oleh tawaku sendiri. Tanganku yang masih menutup mulut Bang Derion tiba-tiba saja basah.

"Abanggg! Ih, jorok banget! Kenapa pake dijilat segala sih!" teriakku sambil tertawa. Langsung saja aku mengelap tanganku di bajunya dia. Dianya malah ikutan tertawa, geli katanya. Lah, kan liur dia sendiri.

Sesaat setelah tawa kami reda usai kejadian tadi. Dia kembali menoleh sekilas padaku.

"Lo gak mau manggil gue Bang Ion lagi?" tanyanya dengan nada ragu. Oalah, nyatanya masih mau dipanggil kayak gitu. Bilang dong bang.

"Ya gak tau, kirain udah gede gak boleh manggil gitu lagi," jawabku seadanya, ambil simpelnya aja. Tiba-tiba saja tangan Bang Derion mengacak gemas rambutku. Untung saat ini lagi di lampu merah, kalau tidak. Udah aku omelin dia.

"Ye boleh lah, gimana sih. Kan emang lo doang yang manggil gue kayak gitu. Lo juga yang bikin, awas ya kalau enggak lo pakai," ancamnya sambil terkekeh membuatku tersenyum menahan tawa.

"Ya udah iya..."

"Iya apa?" tanyanya menggodaku. Oh... Aku tahu apa yang ingin dia dengar.

"Ya udah iya, Bang Ion," ujarku dengan pelan seolah-olah mengeja namanya.

"Nah gitu kan enak," katanya dengan senyuman bangga muncul di wajahnya.

Melihat senyuman itu membuatku penasaran.

Apa segini senangnya, bisa dapatin senyuman tanda bangga dari saudara?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top