[1] - chapter 1
Aku menghela napas panjang sembari menutup buku harianku. Menulis di sini rasanya cukup melegakan. Ya, cukuplah untuk sekadar meluapkan perasaan. Tanpa sadar, waktu telah menunjukan pukul 23:48 WIB.
"Bego! udah malem ternyata."
Gemas sendiri rasanya. Bukannya tidur, aku malah keasyikan nulis. Dengan terburu-buru, aku membungkus diri dengan selimut. Sesekali berharap tidurku ini cukup untuk hari esok.
~~~~~~
"Oi, Kinay tungguin!" teriakan lantang itu berasal dari belakang. Tidak perlu dilihat lagi, aku sudah hafal betul siapa itu. Karena kasihan, aku berhenti dan memutarkan badan ke arahnya dengan tangan berlipat di depan dada. Pokoknya ala-ala orang marah gitu deh.
"Kenapa lagi, Ray?" tanyaku dengan nada malas. Tadi anak ini diajak ke kantin, enggak mau. Sekali ditinggalin, malah ngikut. Dasar enggak jelas.
Oh iya, kenalin. Ini Rayna Larisa. Sahabat sekaligus teman sebangkuku. Aku sudah mengenalnya dari waktu masih cupu, SD. Intinya, sudah hafal betul dengan segala kelakuannya.
"Gue enggak jadi deh di kelas," jawabnya dengan nada takut-takut. Kalau udah begini, gampang banget nebaknya.
"Digangguin Bima ya?" tawa kecil terselip dari bibirku, "Ya udah kali, Ray. Terima aja napa."
Raut wajah Rayna seketika berubah. Hanya karena Bima, perempuan ini bisa jadi galak banget. Aku yang enggak kuat menghadapinya.
"Ih, lo gimana sih Nay?! Kayak enggak pernah liat wujud Bima aja," dengan wajah marahnya Rayna menarik tanganku menuju kantin. Ya aku? hanya bisa tertawa saja.
Jadi gini, biar aku perjelas. Aku, Rayna, dan Bima ini satu kelas. Kita sekarang duduk di SMA tepatnya tahun terakhir. Di sekolah, Bima terkenal akan kenakalannya. Terutama karena tampangnya yang seram kayak singa. Tapi kalau udah sama Rayna, beda cerita. Bima berubah jadi hello kitty. Intinya, Bima suka sama Rayna, Raynanya enggak. Udah ah, gitu aja. Malas mau mendongeng kisah mereka. Bakalan panjang banget.
"Nay, lo pesan makanan ya. Gue jagain tempat duduk," ujar Rayna dengan cengiran di wajah.
"Lu ya, kalau urusan kayak gini aja. Pasti gue yang kena," dengan dramatis aku beranjak untuk memesan makanan. Ini waktu istirahat pertama, kalian tau sendirilah ya gimana ramainya.
Setelah dengan penuh perjuangan, aku kembali ke meja dimana Rayna berada. Dia tengah asyik dengan ponselnya, paling cuman mainin instagram.
"Nih anak minta di keluarin dari KK ye," dumel Rayna pada ponselnya.
"Lo kenapa lagi, Ray?"
Sebagai teman yang baik, mau enggak mau ya aku tanya lah.
"Adek gue bikin ulah lagi di sekolah. Ampun dah liatnya, mau diomelin sampai kapan pun gak bakalan guna. Belom dia ketemu gue, ntar gue cubit-cubitin."
Bukannya apa, aku malah tertawa melihat wajah ekspresif Rayna.
"Gue heran. Kenapa sikap lo sama adek lo, asli beda banget. Sikap dia malah lebih mirip sama Bima. Ketuker kali adek lo."
"Bima lagi, Bima lagi. Biarin ajalah dia tuh, ntar gue kasih ke Bima aja. Cocok mereka," lirih Rayna yang terdengar cukup pasrah akan adiknya.
Wajar saja, Rayna yang berusaha jauhin Bima karena dia nakal. Malah punya adik yang sikapnya mirip dengan Bima. Kayaknya Rayna udah enek lihat yang nakal-nakal.
~~~~~~
Akhirnya bunyi itu terdengar; bunyi bel pulang sekolah. Dengan anteng, aku dan Rayna berjalan menuju pohon depan sekolah. Tempat favorit nunggu jemputan, adem soalnya.
"Siapa yang jemput lo?" tanyaku. Rayna jarang bawa kendaraan sendiri ke sekolah. Setiap mau aku antarin, dia menolak. Takut ngerepotin katanya. Jadi, aku selalu menemaninya sampai dijemput.
"Adek gue."
Singkat, padat, dan jelas. Sepertinya dia sedang mempersiapkan tenaga untuk mengomeli Rayka.
Nah iya, nama adiknya Rayna adalah Rayka. Lucu gitu ya, kembaran namanya. Dan walaupun adik, tubuhnya jauh lebih tinggi dari Rayna. Mungkin juga lebih tinggi dari teman-temannya yang lain. Ya jadi gini, Rayka ini anak kelas 10 di SMA sebelah. Keberadaannya di sana karena dia menghindar dari kakaknya ini. Katanya dia enggak nyaman aja satu sekolah dengan Rayna; enggak bebas. Ya, pokoknya gitulah.
Setelah hampir setengah jam kita membahas hal-hal yang tak penting. Rayka datang, berhenti tepat di depan kita. Raut wajah Rayna seketika berubah. Belum aja Rayka membuka kaca helmnya. Rayna sudah dengan cekatan mencubit lengan lelaki itu. Firasatku benar, Rayna bakalan marah-marah. Untung saja saat ini sekolah sudah sepi.
"Lo tu yaa! Berantem terus. Udah gede mau jadi apa?!" omel Rayna.
Begitulah Rayna. Jika marah, dirinya tak lagi peduli akan sekitarnya. Pasti langsung diceramahin sama dia.
"Lah, Kak. Gimana sih? Ka enggak salah."
Alasan klasik Rayka setiap kali dimarahin kakaknya itu.
"Kak Na kan udah bilang berkali-kali. Kasihan mama dong Dek," nada Rayna mulai pelan, terdengar kesedihan di dalamnya.
Aku yang berdiri di sini hanya diam memandangi mereka. Walaupun, suasana panas seperti ini. Mereka tetap menggunakan nama panggilan. Ka & Na. Karena menurut ajaran keluarga mereka, ngomong sama saudara lebih baik jangan pakai lu-gue. Walaupun, terkadang Rayna keceplosan.
"Ya udah, marahnya lanjutin di rumah. Sekarang pulang aja ya Kak," dengan lembut Rayka membujuk kakaknya. Tak lama, matanya beralih padaku.
"Nay, lo bawa motor gak?" tanya Rayka. Kalau ke aku, Rayka enggak manggil dengan sebutan kakak. Kita memang sudah seperti teman sebaya.
"Iya, bawa Ka"
"Lo juga, tahan dulu emosinya Ray. Gih, naik sana ke motor," ujarku sembari membujuk Rayna.
Rayna pun naik ke atas motor Rayka dengan malas. Mereka berpamitan, kemudian pergi. Aku terdiam berdiri disini meratapi punggung Rayna yang semakin lama semakin kecil. Merenungi pikiran yang ada di benakku ini.
Gimana ya rasanya punya adik?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top