Episode 9 Selingkuh
Seringaian yang terpasang di wajah lelaki yang ada di hadapannya menyebabkan darah Neiva segera membumbung ke kepala. Jika ia tidak ingat bahwa dia sedang berada di depan banyak orang, tangannya sungguh ingin mendarat di pipi lelaki itu.
"Apa maksud Anda, Pak?" tanya Badai dengan senyum sopan. Mata Neiva tanpa sengaja menangkap kepalan tangan lelaki itu yang tersembunyi di bawah meja.
"Lho, sudah jelas, kan? Klien Anda itu kan lagi caper sama suaminya, alias klien saya. Udah, bilang aja sama artis RM, dia maunya apa, mau beli villa atau liburan ke luar negeri atau tas Hermes, klien saya bakal kasih semuanya." Tegar-kuasa hukum suami Renata-kembali menyeringai. "Terus, ini mau di-blow up ke media apa nggak? Ya, barangkali ini cara manajemen klien Anda untuk mendongkrak popularitasnya kembali. Kita sudah sama-sama tahu. Mari kita bermain cantik aja lah, Pak Badai. Saya yakin Anda tahu itu."
Badai memasang wajahnya ke dalam mode pro-istilah yang disematkan oleh Neiva-di mana lelaki itu tersenyum manis dan berpura-pura menyetujui lawan bicaranya, sebelum memasang perangkap untuk menjebak mereka. "Yah, memang zaman sekarang banyak artis yang meraih popularitasnya dengan cara kontroversi semacam itu. Tapi kan, klien kami ini sudah terkenal, Pak. Malah kemarin filmnya sudah tembus satu juta penonton. Tentu untuk artis sekelas RM, tidak perlu menggunakan cara yang tidak berkelas seperti itu kan, Pak?"
"Lantas, apa Anda mau mengatakan bahwa klien Anda serius dengan gugatan cerainya?" Tegar mendengkus geli.
Neiva ingin sekali membalas telak lelaki itu, tapi Badai sudah berpesan agar gadis itu menutup mulutnya. Sebab, Neiva punya stok kosa kata bombastis ketika sudah emosi dengan orang lain.
"Sepertinya benar, Pak. Justru karena itu klien kami tidak ingin menimbulkan kegaduhan di media. Jadi mari kita percepat prosesnya tanpa basa-basi," ujar Badai.
Kuasa hukum Andre Winoto alias suami Renata terkekeh. "Ayolah, Pak Badai. Dengan semua yang sudah diberikan klien saya kepada dirinya? Namanya rumah tangga, perselisihan itu udah biasa. Kata cerai itu udah ribuan kali diucapkan sama klien Anda ke klien saya. Dan toh, mereka masih bisa menjadi pasangan selama lima tahun berjalan. Apa alasan klien Anda? Ketidakcocokan?"
"Jadi maksud Anda, klien Anda tidak ingin menceraikan klien saya?" Alis Badai terangkat.
"Kalau pun nanti mereka bercerai, yang dirugikan adalah klien Anda, lho. Makanya saya katakan, apakah gugatan cerai ini serius? Karena kalau media sampai tahu, risiko untuk klien Anda malah jauh lebih besar. Bisa-bisa dia nggak bisa lagi dipakai di dunia entertaintment. Mau makan pake apa dia? Sudah bagus, dia tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah, bikin insta story kehidupan ala sultan yang mewah dan glamor. Ah, mudahlah itu."
"Ini hanya masalah perbedaan prinsip saja lah, Pak. Klien saya sudah tidak bisa sejalan dengan klien Anda. Jadi perpisahan secara baik-baik, berbagi hak asuh anak, kemudian hidup sendiri-sendiri dengan tenteram adalah yang diinginkan oleh klien saya."
Kaki Neiva bergerak tak terkendali, sementara mulutnya sudah gatal sekali ingin mengatakan sesuatu yang akan membungkam kesombongan sang pengacara lawan. Tangan Badai kemudian bergerak menyentuh lutut gadis itu, kemudian menepuknya beberapa kali. Neiva menoleh ke sisi kiri, di mana ia menatap Badai yang masih terpaku pada pengacara lawan. Hal itu selalu dilakukan Badai ketika Neiva sedang gugup atau tegang, dan sekarang usapan tangan lelaki itu sudah membuka kotak memori yang sudah lama gadis itu pendam dalam benak.
"Bah! Sok asyik pula dia rupanya! Ngelunjak betul!" Tegar terbahak-bahak sampai rasanya seisi ruangan terguncang. "Eh, dengar ya, Pak Badai. Sudah kubilang berkali-kali, namanya rumah tangga, berselisih itu biasa. Apalagi karena kejadian sebelumnya, ah, sudahlah. Sudah untung klien saya tak mempermasalahkan kesibukan klien Anda, bahkan mendukung penuh. Semua permintaan artis RM, semuanya dituruti. Apa lagi sih yang kurang dari suami seperti klien saya?"
"Respek dan rasa hormat, mungkin?" sindir Neiva yang sudah tak tahan dengan pembicaraan yang bertele-tele. Badai mendelik ke arah gadis itu dengan ekspresi tegang. Bibir lelaki itu komat-kamit seolah memperingatkan Neiva untuk diam.
"Bah! Rasa hormat macam mana pula yang diminta oleh klien Anda itu?" Pengacara yang sebagian rambutnya telah memutih sehingga memberikan ilusi warna abu-abu di atas kepala itu mengangkat sudut kanan bibirnya. "Aib klien Anda tidak dibongkar pun seharusnya sudah bersyukur dia. Kurang baik apa suaminya, semua permintaan sudah dikabulkan. Aib pun ditutupi. Menggunakan isu perceraian ini untuk mengangkat nama istrinya di kancah hiburan pun tak masalah buat dia. Kurang suportif apa klien saya sebagai suaminya? Justru Anda inilah yang harus menasehati dia. Jangan ngelunjak jadi istri. Sudah dikasih hati malah masih meminta jantung."
"Pak Tegar, maafkan kolega saya yang masih baru ini, ya. Dia masih belum paham sama dunia kita-kita ini," bujuk Badai yang kembali menampilkan senyum manisnya yang memesona. "Biar Bapak bicara aja sama saya."
Mata Tegar memindai Neiva dengan mimik meremehkan. "Anak baru saja banyak cingcong. Nah, Pak Badai, kesimpulannya untuk pertemuan kita kali ini, kita sepakati saja, sampai kapan kasus ini kita selesaikan. Akan lebih bagus jika kita tak perlu menggelar persidangan. Maksimal yah, sampai mediasi lah. Anggap saja sudah berdamai dan memaafkan. Beres sudah."
"Kalau boleh saya tahu, memangnya apa yang dikatakan oleh klien Anda mengenai gugatan perceraian yang dilayangkan oleh istrinya? Saya tahu dari pihak kami, tentu. Namun, alangkah bijaknya kalau saya juga tahu dari sisi Anda semua."
Tangan pengacara paruh baya itu meraih cangkir berisi kopi yang sudah mulai mendingin di atas meja. Bibirnya menyesap cairan hitam pekat itu, lalu menarik napas panjang. "Masalah rumah tangga, apalagi lah, Pak Badai. Klien saya akhir-akhir ini sibuk. Ke luar negeri, ini dan itu. Mungkin istrinya merasa tidak diperhatikan. Lumrah lah itu. Bukan masalah besar. Mungkin karena itulah si RM ini malah mencari perhatian di luar. Sudah banyak pula desas-desus RM ini, suaminya pun tahu. Namun, beliau masih mau memaafkan, karena mungkin kesibukan beliau membuatnya tak bisa memberikan perhatian. Ya, sudahlah. Setelah ini, istrinya minta apa juga, akan dikabulkan."
Mata Badai menyipit, sementara dahinya mengernyit. "Desas-desus apa yang Anda maksud, Pak Tegar?"
Sekali lagi, Tegar terbahak-bahak. "Ah, jangan lah berlagak polos, Pak Badai. Namanya artis, pergaulannya kan macam itu lah. Sama yang terakhir ini, mungkin sudah yang ke sepuluh tampaknya. Lupa aku jumlahnya. Ah, Renata itu. Mungkin dasarnya dia emang haus belaian, sementara suaminya sudah mulai tua. Tak bisa menuruti apa maunya." Lelaki itu mengusap rambutnya. "Bilang apa si RM kepada Anda? Apakah lelaki muda itu cuma kolega atau rekan kerja? Ditipu pula Anda sama dia?"
Gelak tawa Tegar kembali mengudara. Neiva yang mendengarkan sedari tadi terkesiap manakala menyadari apa yang dikatakan oleh pengacara tersebut. "Maksudnya klien kami ... selingkuh?"
Badai pun terbelalak. Namun, ia segera mengubah air mukanya, agar tidak mengesankan dirinya tidak tahu apa-apa. "Yah, kebenarannya tentu saja hanya klien-klien kita yang tahu kan, Pak? Namun, dari sudut pandang kami, klien Bapaklah yang banyak merugikan klien saya. Makanya, kita sebagai kuasa hukum mereka, yang meluruskan semua kekusutan ini."
"Nah, betul itu. Makanya, kubilang, tidak usah berlama-lama. Mentok sampai mediasi saja. Klien saya sudah berbesar hati untuk memaafkan dan mempertahankan rumah tangganya. Tidak usah lah memperpanjang kegaduhan. Ia sudah bersedia untuk menerima kembali istrinya yang sudah tak tahu malu, mengkhianati pernikahan mereka."
***
Badai sudah nyaris meledak ketika akhirnya sampai di kantornya. Ia melaporkan apa yang ia dengar kepada Bagas yang juga tidak menyangka. Neiva yang menggantikan Dipta menemani Badai ke kantor pengacara lawan, tidak bersuara sama sekali. Ia hanya terpaku mengamati pola geometris di dinding ruangan Bagas.
"Ini sungguh di luar dugaan. Padahal kita sudah punya kartu As yang bisa membekuk lawan. Bagaimana ini bisa terjadi? Klien sama sekali tidak pernah membicarakan ini!" Bagas bersungut-sungut. Tangannya terkepal di atas meja, sementara raut wajahnya sama sekali tidak terlihat menyenangkan.
"Kita harus bujuk klien kita, Pak. Masih ada waktu untuk berubah pikiran. Lagipula, penyebab gugatan perceraian ini, bukan masalah besar, kan?" tanya Badai memandang atasannya.
"Baiklah. Kita masih punya waktu untuk mengubah strategi. Apalagi ini menyangkut masa depan klien sebagai publik figur," ujar Bagas dengan perlahan.
Neiva menelan saliva, kemudian memberanikan diri untuk menyela, "Kalau menurut saya, Pak. Sebaiknya gugatan perceraian diteruskan."
"Neiva, itu bukan langkah yang bijak. Kita sedang berhadapan dengan orang penting. Lagipula, bisa saja klien kita sedang emosi sehingga tidak bisa berpikir jernih. Biasanya orang yang emosi, gampang mengambil keputusan secara buta."
"Perselingkuhan tidak bisa dimaafkan, ya kan, Nei?" sergah Badai tajam, matanya menyorot ke arah gadis yang berada di sebelahnya. Neiva menoleh dan menatap lelaki itu dengan geram. "Namun, suaminya sudah bersedia memaafkan dia. Jadi, seharusnya, gugatan ini tidak usah berlanjut."
Perkataan Badai kembali memancing kelebatan ingatan yang Neiva ingin hapus selamanya dari kepala. "Kita harus mengorek dari sisi klien, sehingga kita tidak bisa sembarangan memutuskan, Pak. Anda juga bilang, kita tidak boleh gegabah. Karena itu, kita harus mendengar dari sisi RM, mengenai kejadian yang sebenarnya."
Bagas yang mendengar alasan logis Neiva, mempertimbangkan sejenak. Kemudian memutuskan untuk menghubungi Renata demi mendapatkan informasi secara utuh. Mereka lalu keluar dari ruangan dan kembali mengerjakan tugas yang diberikan. Namun, Badai menarik tangan Neiva dan mendelik ke arahnya.
"Jadi, sekarang lo ngebela orang yang selingkuh, gitu?"
Gadis berambut panjang itu menghela napas. "Ini masalah klien, bukan masalah pribadi, Badai. Think straight!" bentak Neiva yang sudah menahan amarah sejak berada di kantor Tegar.
"Oh, jadi kalo masalah pribadi, lo boleh untuk nggak bersikap obyektif, gitu, hah?"
"Maksud lo apa?" Neiva balas menatap mata lelaki itu. Ia tidak mau dianggap gentar.
Lelaki itu mengepalkan tangan dan menggeram. "Masalah kita!"
"Nggak usah bawa-bawa kita di sini! Ngapain?" Gadis itu semakin dikuasai letupan emosi.
Badai menarik napas panjang. "Karena gue nggak pernah selingkuh dari lo, Nei! Tapi lo nggak pernah sama sekali dengerin penjelasan dari gue!"
*episode09*
Hai, Hai! Ada yang kangen sama Neiva?
Maafin ya, baru bisa update sekarang. 2 minggu ini lagi hectic urusan kerja di dunia nyata. Plus laptopku mendadak rusak dan semua datanya ilang. Udah nangis nyesek nggak keruan, karena semua back up naskah di situ semua.
Ya udahlah. Udah kadung kejadian.
Makasih banyak buat yang udah nungguin cerita ini, sampai neror aku segala. Semoga kalian suka dengan update hari ini. Jangan lupa vote dan komen yang banyak, ya!
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top