Episode 8 Syok
Neiva mengeluarkan gawai dari sakunya kemudian menelepon Renata secara pribadi. Hanya butuh beberapa detik sebelum suara lembut di seberang sana terdengar di telinga gadis itu.
"Re, berkas apa yang lo kirim ke gue?"
"Oh, ada yang kurang, ya? Gue udah suruh si Astrid buat surat nikah, foto, sama akta anak-anak juga, kok. Apalagi yang belum? Ntar gue kirim secepetnya deh, mumpung lagi di rumah."
Tangan Neiva sedikit gemetar, tetapi gadis itu berusaha agar tidak tumbang. Sebenarnya, isi perutnya masih bergolak sejak tadi. "Bukan yang itu," desisnya perlahan. "Yang amplop satunya. Confidential?" Neiva sengaja menekankan kata itu agar Renata segera menangkap maksudnya.
"Hah? Apaan ...." Panggilan tersebut terputus setelah telinga Neiva menangkap bunyi gemeresak dari seberang sana.
Tak butuh waktu lama bagi Neiva untuk menyadari bahwa bisa saja bukan Renata yang mengirim berkas itu. Kedua tangan gadis tersebut saling bertaut, demi mengirimkan secercah kekuatan untuknya agar bisa mencerna semua kejadian belakangan ini. Matanya melirik ke laci yang terkunci, tetapi suara detik jam dinding yang bergerak menyadarkannya untuk segera menuntaskan pekerjaannya. Ia tidak mau Dipta menganggapnya tidak kompeten dalam melakukan tugas.
"Masalah itu bisa gue urus nanti," bisik Neiva dalam hati. Ia harus segera ke pengadilan agama.
Tepat pukul sebelas, Dipta mengetuk pintu ruangannya. Neiva menyahut dan meminta agar lelaki itu menunggu. Berkas-berkas persyaratan perceraian Renata sudah berada di tangan Neiva. Tangannya meraih cermin yang selalu ia bawa di tas, kemudian matanya segera mengamati pantulan wajahnya di sana. Riasan masih oke, jadi ia tidak butuh touch up.
Senyuman lebar Dipta menyambut segera setelah ia keluar ruangan. Neiva kemudian mengikuti langkah kaki lelaki itu menuju mobil yang terparkir di basement. Sepanjang perjalanan, Dipta banyak bertanya mengenai kasus yang pernah dikerjakan Neiva di kantornya. Ketika gadis itu menjawab, Dipta memberikan respons yang positif.
"... tidak seperti seseorang, yang merendahkan profesi seorang ASN." Pikiran itu segera melintas diikuti dengan bayangan wajah lelaki menyebalkan yang tidak ingin Neiva lihat lagi selamanya kalau bisa.
"Jadi kita mau makan siang di mana?" tanya Dipta dengan ramah saat mereka berada di dalam kendaraannya.
"Terserah aja, sih. Gue nggak ada preferensi khusus," jawab Neiva-yang mulai santai-setelah ia berusaha mengenyahkan kekhawatiran mengenai berkas mencurigakan itu.
"Siang-siang gini, mending makan coto, minumnya es palu butung."
Celetukan bernada kurang ajar segera menyergap telinga Neiva yang serta merta menoleh ke jok belakang. Wajah tengil Badai terperangkap dalam pandangan. Dipta menatap orang yang baru saja masuk ke dalam mobilnya itu dengan aneh.
"Gue juga ada urusan ehm, ke pengadilan." Badai mengangkat bahu, cuek. Matanya masih terpaku dengan berkas yang ada di atas pangkuan. "Lagian, Nei juga suka makan di sana."
Neiva segera menggeleng. "Nggak, kok. Yang lainnya aja."
"Gue tadi sempet cari info resto Korea gitu, deket sana. Gimana?" tawar Dipta.
"Oke. Gaskeun." Neiva melempar senyum. "Asik juga kayaknya makan bulgogi."
"Tapi, gak papa nih, nggak makan coto?" Mata Dipta melirik ke Badai yang seakan tenggelam dalam tulisan entah apa yang sedang dibacanya.
"Gue nggak terlalu suka coto, kok."
Jawaban gadis itu membuat Badai mendongak dan mendelik ke arah Neiva. Namun, gadis itu sepertinya sengaja mengabaikannya. Mereka kemudian berbincang, tanpa memedulikan Badai yang kembali menekuni berkasnya.
Di restoran, Neiva sengaja memilih duduk sendirian berseberangan dengan Dipta. Badai melengos. Sepanjang acara makan bersama, Badai banyak menutup mulut dan menikmati daging panggang ala Korea itu. Ketika Dipta berada di toilet, mendadak saja Badai mengarahkan matanya tepat ke gadis itu.
"Sejak kapan lo nggak suka coto?"
Neiva menarik napas panjang, sementara bibirnya menyesap teh jagung yang disediakan. "Dari dulu gue nggak terlalu suka. Kan elo yang suka makan coto."
"Kenapa lo nggak pernah bilang sama gue?"
"Apa itu penting sekarang, Badai? Dan kenapa juga lo mesti bahas-bahas masa lalu, padahal lo bilang lo nggak mau kerja sama bareng gue."
Tidak seperti biasanya, lelaki itu bungkam. Padahal selalu saja ada balasan entah yang paling manis maupun paling bangsat yang bisa keluar dari mulutnya.
"Jadi, please. Dengan segala hormat. Nggak usah ungkit-ungkit masa lalu yang nggak ada gunanya itu lagi. Nggak usah sok-sokan ngerti apa kesukaan gue dan yang nggak. Apa yang terjadi sama gue sekarang, bukan urusan lo lagi." Neiva menyibakkan rambut dan menghela napas. "Yang profesional dong, Pak Badai. Kita satu tim hanya untuk beberapa bulan aja, dan semoga tidak berlama-lama."
Dipta menyeruak hadir di antara mereka dan perbincangan kembali berlanjut seolah Badai tidak pernah ada di sana. Neiva memutuskan menikmati saja makan siangnya, sembari mengusir kecemasannya akan foto di laci meja kerjanya. Seusai makan siang, Dipta bersikeras membayari semuanya, tetapi ternyata Badai sudah menaruh kartu kreditnya di kasir. Bola mata Neiva berputar, karena sejak awal ia sudah tidak menginginkan kehadiran sang mantan di dekatnya. Namun, ia terpaksa menggertakkan gigi dan mengucapkan terima kasih saat mereka melangkah keluar restoran.
"Iva? Iva, ya?" Suara itu membuat Neiva tersentak, kemudian menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki berperawakan tinggi kurus dengan rambut ikal yang menipis di kepala, tersenyum ke arahnya-memperlihatkan deretan gigi yang berwarna kuning kehitaman.
"Bukan," sergah Neiva yang memutuskan untuk segera menghampiri mobil Dipta yang terparkir di halaman restoran Korea tersebut.
"Iva, ya ampun, iya benar kamu. Wah, tambah ayu, tambah sukses ya? Bu, Ibu, ini lho anakmu, Iva! Ini Bapak, Nak. Bapakmu, Waluyo!" Lelaki itu bersemangat menepuk dadanya di hadapan gadis itu. Badai mengernyitkan dahi, karena ia sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Tak lama, perempuan dengan rambut yang sudah separuh memutih tergopoh-gopoh menghampiri lelaki itu, dan terkesima menatap Neiva yang bergeming.
"Iva?" Suara perempuan itu terdengar lirih dan lembut. Neiva melirik sekilas ke arah perempuan itu, kemudian ia melanjutkan langkahnya seolah tak mendengar. Kakinya tergesa menapaki halaman restoran tersebut tanpa menoleh ke belakang. Perempuan tua itu melihat Badai dan menyapanya. "Nak Badai, ya?"
Mata Badai membulat. Ada beberapa lebam yang berwarna biru yang mulai memudar di tulang selangka serta pipi perempuan itu, yang mungkin tidak bisa tertutupi dengan pakaian yang tampak longgar di tubuh ringkihnya. "Iya, Ibu." Badai meraih tangan perempuan itu dan menciumnya. Lelaki di sebelah perempuan itu juga ikut menyodorkan tangan, sehingga Badai terpaksa mendaratkan kecupan di tangannya juga.
"Iva ... baik-baik saja, kan, Nak?" tanya perempuan itu dengan antusias.
"Iya, Bu. Dia baik-baik saja. Saya ... em, saya akan ajak dia segera menyambangi Ibu." Badai berlaku sopan sekadarnya, demi tidak tampak janggal di hadapan mereka dan juga Dipta. Meskipun dirinya syok luar biasa dengan penampilan perempuan itu. Apa yang terjadi?
"Kerja apa dia sekarang? Kamu pacarnya, ya?" Waluyo memperlihatkan deretan giginya dengan semringah.
Badai melirik mantan kekasihnya yang sudah masuk mobil, kemudian terkekeh sopan. "Dia advokat. Pengacara."
"Wah, sudah sukses, ya? Kaya raya? Pasti banyak uang." Lelaki tua itu tertawa lebar, sementara Badai risih mendengarkan kata-katanya yang bernada merendahkan. "Telepon Iva, Bu. Suruh mampir ke rumah. Sudah punya uang, kok, nggak pernah mampir ke rumah orang tuanya. Durhaka dia."
Ambar-perempuan di sebelahnya-menunduk dan menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tentu, ia tidak enak dengan kekasih putrinya yang mengetahui kondisi suaminya yang mengejek sang putri.
"Kami sedang sibuk, Pak, Bu. Jadi mungkin Neiva tidak sempat. Saya akan ajak dia mampir kalau sudah senggang. Mari!" Badai segera menutup pembicaraan dan mengajak Dipta pergi dari sana. Ambar mengangguk segan dan segera mengajak suaminya menjauh dari sana.
Sayup-sayup Badai mendengar suara Waluyo yang membentak Ambar keras, "Goblok kamu. Itu anaknya sukses, bukannya dideketin, malah diem aja di sini! Jangan lupa telepon dia! Suruh pulang! Anak itu sudah punya banyak uang, lupa sama orang tuanya! Kualat dia nanti!"
*episode8*
Maafkeun ya, kalo updatenya kayak siput. Aku lagi banyak kerjaan di duta, jadi mungkin belum bisa sering update. Cuma sebisa mungkin, aku sempetin ngetik deh, biar naskah ini segera tamat. Karena itu, please, banyakin komen dan votenya ya. Biar aku semangat nulisnya. Jadi kalian nggak kelamaan nunggu.
With much love,
DhiAZ ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top