Episode 7 Berkas Mencurigakan
"Neiva, pagi ini asisten RM akan mengantarkan semua berkas persyaratan, tolong kamu terima dan susun. Siang ini juga, kamu antar ke pengadilan agama, ya," titah Bagas dengan tegas. Jika berbicara pekerjaan, lelaki paruh baya ini selalu fokus dan tidak bertele-tele, berbeda dengan kesehariannya. Meskipun begitu, Neiva selalu mengagumi etos kerja Bagas. Bahkan Neiva pun lebih suka Bagas dalam mode amukan maha dahsyat, ketimbang Angga yang selalu meremehkan dan mengecilkan pekerjaan Neiva.
Neiva mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan siapkan berkas pelengkapnya segera."
"Bagus. Dalam tujuh hari, sidang mediasi akan ditentukan, tentu saja, suami RM juga akan dihubungi. RM mengatakan bahwa suaminya belum tahu ia akan mengajukan gugatan. Namun, setelah tahu, tentu kuasa hukumnya akan menghubungi kita untuk bernegosiasi. Badai, tugas kamu mencoba mencari tahu apa yang diinginkan oleh tim mereka. Jangan sampai lengah. Dipta, tugas kamu untuk mulai mengumpulkan daftar aset kekayaan RM dan suaminya, lalu kita akan klasifikasikan mana harta bawaan, mana harta gono gini."
Harta gono-gini merupakan harta yang dikumpulkan selama masa perkawinan, dianggap sebagai harta bersama. Hakim akan menentukan pembagian harta gono gini tersebut berdasarkan hukum adat, hukum agama dan hukum negara Indonesia. Secara umum pembagian harta tersebut akan dibagi rata, kecuali ada sebab-sebab khusus.
"Baik, Pak." Badai mengangguk sigap. Selama pertemuan tersebut, lelaki itu sama sekali tidak melirik Neiva yang berada di sebelahnya. Pengaturan canggung ini disebabkan karena Neiva datang terakhir sementara kursi di kanan dan kiri Bagas sudah terisi. Sementara di sebelah Dipta tidak ada kursi lagi.
Neiva menggoreskan beberapa catatan lagi sesuai instruksi yang diberikan Bagas, sebelum ada suara dengkusan meremehkan dari sebelahnya.
"Hare gene masih nyatet kayak anak sekolahan," sindir Badai tanpa menoleh sama sekali. Neiva memilih mengabaikannya. Badai tidak akan mengusiknya lagi kalau ia tidak mengacuhkan lelaki itu.
"Oh ya, saya juga sedang mengumpulkan perjanjian pranikah dan prenuptial agreement dari kuasa hukum RM sebelumnya. Pak Hotma sedang berada di Malaysia sampai akhir minggu ini, jadi nanti pastikan kamu hubungi dia ya, Dipta." Bagas menatap putra sulungnya. Dipta mengangguk.
"Nanti kamu banyak bantu pekerjaan Dipta, Neiva. Masalah harta ini adalah masalah yang sensitif. Kita harus teliti dan tidak boleh lengah," ujar Bagas, kini mengalihkan tatapannya kepada Neiva.
"RM sempat mengatakan kepada saya, bahwa beliau tidak membutuhkan harta gono gini, Pak. Yang penting ia bisa bercerai dengan suaminya, secepatnya," tukas Neiva segera.
"Benar, tetapi tentu saja, sebagai tim kuasa hukum beliau, kita tetap akan mengurus pendaftaran tersebut. Karena bisa jadi, penghasilan beliau sebagai seorang artis masuk ke dalam prenup agreeement, bukan harta gono gini." Prenup agreement atau prenuptial agreement adalah perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri mengenai pembagian harta mereka selama pernikahan, termasuk tanggung jawab masing-masing pasangan tersebut.
Neiva manggut-manggut. Sempat terbersit dalam pikirannya, mengapa RM tidak lagi menunjuk Hotma sebagai kuasa hukumnya lagi? Itu memang pilihan sang artis, Neiva pun memahami. Hanya saja, selama ini Hotma dikenal sangat populer untuk kasus perceraian artis. Berbeda dengan Bagas yang selalu berada di lini kejahatan kriminal. Mungkin Badai—salah satu advokatnya—yang menangani kasus perceraian.
Neiva mengembuskan napas, berusaha untuk tidak terlalu peduli dengan apa yang bukan urusannya.
"Baik, meeting hari ini, sampai di sini dulu. Silahkan kembali ke tempat masing-masing, ya." Bagas mengakhiri pertemuan dan segera bangkit dari kursi. Lelaki itu tersenyum sebelum berpamitan dan melenggang pergi dari ruangan rapat. Tangan Neiva meraih gelas kopinya tanpa mendongak dari catatan yang sedari tadi dibuatnya, lantas terkejut saat mendapati jarinya bersentuhan dengan jari seseorang. Saat Neiva menoleh, wajah Badai kembali dalam jarak pandangnya.
"Sori, gue kirain lo mau buang."
Neiva memandang rekan kerja sekaligus mantannya itu dongkol, lalu meraih gelas di hadapannya. Rupanya kopinya sudah berada di dasar gelas, tanpa gadis itu sadari. Namun, demi harga diri dan kekesalannya kepada Badai, Neiva menyedotnya keras-keras, sebelum meremasnya dengan penuh tenaga.
"No offense." Badai bangkit dan setengah berlari keluar dari ruangan. Ketika lelaki itu sudah benar-benar pergi, Neiva mengembuskan napas kasar. Ia sampai melupakan kehadiran Dipta yang masih berada di sana.
"Rough, huh?"
"Astaga!" desis Neiva, lalu memasang senyum—yang sebisa mungkin tampak—ramah. "Maaf, Dipta. Saya lupa kalau lo ... eh, Anda di situ."
"Alah, santai lah. Masak sama Badai, lo-gue lo-gue. Nggak usah formal-formal gitu lah. Atau pake aku-kamu pun, nggak masalah." Wajah Dipta tampak geli. "Kalian dulu punya sejarah apa sih?"
"Nggak ada! Nggak ada sejarah apa-apa!" sergah Neiva dengan cepat, sebelum menyadari bahwa kata-katanya terdengar ketus. Saat mereka magang, Dipta sedang berkuliah dan bekerja di luar negeri, sehingga tentu ia tidak banyak tahu tentang kantor papanya dulu. Neiva kemudian membereskan agendanya. "Ya udah, gue ... em, mau ke ruangan gue dulu." Gadis itu mengubah gaya bicaranya agar Dipta tidak marah dengannya gara-gara perkataannya barusan.
"Lo nanti ke pengadilan pake apa?" tanya Dipta.
"Em, mungkin ... busway?"
Kebiasaan sebagian besar masyarakat Jakarta yang menyebut bus TransJakarta atau BRT dengan busway, sedikit aneh di telinga Dipta. "Busway?"
"Bus TransJakarta, maksudnya," jawab Neiva canggung. Tanpa sadar, ia menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga.
"Bareng gue aja, yuk. Mobil gue emang nggak sekeren mobilnya papa, tapi masih pantes lah, buat nganterin cewek secantik kamu ke pengadilan," tawar Dipta.
Neiva sedikit risi dengan gombalan itu, tapi memilih untuk menampilkan senyum sopan. "Makasih, tapi gue nggak enak. Kan lo juga masih banyak kerjaan. Lagian gue ... nanti masih harus ngambil kerjaan gue di kantor."
"Ayolah. Gue janji nggak akan bawel deh, selama perjalanan. Gue bakal diem nggak kayak sopir taksi online," ujar pengacara muda itu seraya mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf 'V'.
"Eh, oke deh. Patungan bensin, ya?" Neiva benar-benar tak enak hati. Dalam hati ia mengutuk keputusannya untuk tidak mengambil kredit mobil atau kendaraan yang bisa ia pakai mondar-mandir ke sana ke mari. Selama ini, dia nyaman-nyaman saja naik transportasi umum dengan koleganya di kantor pemerintah, tetapi saat ini—di kantor Tanudja—tentu dirinya seperti upik abu di antara pangeran dan putri kerajaan.
"Apaan sih lo, Va. Nggak usah mikirin itu, lah. Anggap aja lo pake mobil kantor." Dipta terkekeh. "Ya udah, sampai nanti siang ya. Kira-kira jam berapa?"
"Kalau berkasnya udah dikirim sekarang, mungkin gue butuh waktu sampai jam dua belas." Neiva mengetuk meja dengan telunjuk. "Abis makan siang, kali ya?"
"Nah, jam dua belas aja lah. Sekalian kita cari makan siang yang enak." Dipta melambaikan tangan kemudian keluar dari ruangan tersebut. Tinggallah Neiva sendirian. Gadis itu mengemasi agenda dan melangkah menuju pintu.
Sesampainya dalam ruangan, Neiva mendapati ada dua buah amplop berwarna cokelat di atas mejanya. Dua-duanya berasal dari Renata. Gadis itu mengerutkan dahi. Ia membuka salah satunya, yang rupanya adalah berkas persyaratan yang diminta untuk mengajukan perceraian. Sementara amplop satunya, bertuliskan 'confidential' di bagian pengirimnya. Neiva membukanya dan matanya membulat. Tangannya gemetar saat memegang kertas-kertas yang ada di dalam amplop kedua, hingga terjatuh ke lantai. Namun, gadis itu segera tersadar, dan membereskan semua berkas tersebut dan memasukkannya ke dalam laci meja. Buru-buru, Neiva mengunci laci tersebut dan menyimpan kuncinya dalam tasnya.
"Ini gila," ceracau Neiva saat ia berhasil duduk di kursinya, dengan tangan menumpu kepala. Jantungnya berdebar kencang sementara keringat dingin mulai merayapi punggung. "Astaga, Tuhan. Apa-apan tadi itu?"
*episode7*
Hai, apa kabar? Maaf baru update lagi, ya. Alhamdulillah kerjaan lagi banyak, jadi mungkin aku updatenya juga nggak tiap hari. Tapi aku usahain bisa rutin update cerita ini di sini. BTW, kira-kira apa ya berkas yang diberikan sama Renata, sampai Neiva kaget banget? Sharing pendapatmu di komen, ya. Terima kasih sudah baca dan suka sama cerita ini. Aku beneran nggak nyangka kalau cerita ini sudah nyampe dua ribu sekian views, padahal belum tamat. Karena itu, ramein ya, vote dan komennya, biar aku semangat update terus.
Tertanda,
Selingkuhannya Badai ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top