Episode 6 Pemanasan
Hari kemarin sudah cukup buruk bagi Neiva, sehingga ia tidak mengharapkan hari ini bisa jadi lebih buruk lagi. Sayangnya, wajah menyebalkan Badai kembali masuk ke dalam jarak pandangnya pagi ini, saat ia datang ke kantor Tanudja. Ia sudah bekerja di bawah kepemimpinan Pak Bagas, sehingga ia tidak perlu menyambangi kantornya.
"Udah sadar lo?"
Neiva mengabaikan perkataan sang mantan dan melengos. Ia lebih memilih melangkah masuk dan bertanya kepada resepsionis untuk bertanya di mana ruangannya. Badai yang diabaikan, membuntuti gadis berambut panjang itu dan berseru di telinganya, "Lo sengaja nyuekin gue?"
"Astaga!" Neiva merasa indera pendengarannya berdenging.
Tangan Badai menyugar rambut indahnya hasil perawatan salon yang mahal, berbanding terbalik dengan Neiva yang bisa creambath sebulan sekali sudah bersyukur.
"Lo kan bisa nanya gue, ruangan kita di mana. Ngapain tanya orang lain?" Wajah Badai tampak seperti mangga muda yang bergetah. Masam.
"Kita?" cetus Neiva sinis.
"Lo ama gue kan satu tim, lupa? Kebanyakan mabok sih lo." Badai bersedekap.
Dada Neiva bergemuruh, tetapi ia sudah bertekad bulat bahwa ia tidak akan terpancing dengan cowok sialan ini lagi. Ia memutar tumit dan kembali bertanya kepada resepsionis.
"Neiva!"
Lelaki berpostur tinggi jangkung dan berkacamata itu menghampiri Neiva dan Badai. Wajah Neiva segera menampilkan senyum terbaiknya tidak menghiraukan lelaki di sebelahnya yang masih mencibir tingkahnya.
"Selamat pagi, Pak Radipta!"
"Dipta saja, kita sebaya. Selamat datang kembali ke Tanudja Law Firm," sahut Dipta seraya mengulurkan tangan. "Maaf kemarin kita tidak sempat ngobrol banyak. Mari, kita ke ruangan."
Neiva segera mengekori Dipta yang segera membahas kasus yang akan mereka kerjakan. Badai bersungut-sungut dan mengentakkan kaki. Namun, ia akhirnya mengikuti rekan-rekan kerjanya itu ke ruangan yang disediakan untuk tim kuasa hukum Renata Mariana. Dipta segera menunjukkan meja khusus untuk Neiva, yang digunakan selama bekerja di sana. Di atas meja itu ada komputer keluaran terbaru yang canggih dengan kursi yang nyaman. Neiva menggigit bibir—merasa fasilitas itu terlalu berlebihan.
"Sebenarnya ini tidak perlu lho, Dipta. Saya masih bisa pakai kantor saya dan laptop untuk bekerja. Saya kira saya hanya kemari saat kita meeting saja."
"Ah, tidak masalah. Papa sudah minta izin agar kamu tidak repot bolak-balik ke kantor. Papa ingin kita berkonsentrasi penuh. Kata Pak Angga, selama kantor ini bisa menyertakan presensi kehadiranmu, kamu masih dianggap bekerja kok. Yuk kita daftarin sidik jarimu untuk absen." Dipta tersenyum lebar.
"Pak Dipta, bukannya Bapak masih harus mengurus kasus hukum Agatha? Saya kira Pak Dipta pagi ini akan bertemu klien," sindir Badai yang muncul di belakang mereka. Kehadiran Badai mengejutkan Neiva sampai gadis itu terlonjak.
"Di sini Neiva tamu. Saya akan mengurus administrasi Neiva dulu sampai beres. Lagipula pertemuan dengan Bu Agatha diundur. Memangnya kenapa ya, Pak Badai? Bukannya Pak Badai juga masih ada acara hari ini?" Alis kanan Dipta terangkat ketika menatap rekan kerjanya itu.
"Neiva!" Pak Bagas dengan semringah menyambut gadis itu saat memasuki ruangan. Lelaki itu segera menepuk bahu Neiva dan tertawa riang. "Selamat datang kembali. Saya sengaja siapkan ruangan ini, yah ... siapa tahu, setelah kasus RM kamu mau kembali kemari."
"Wah, saya nggak tahu Bapak sekangen itu sama saya," seloroh Neiva dengan ramah. Saat matanya tak sengaja bersirobok dengan Badai, wajah lelaki itu tampak sinis dan dongkol. "Ini bisa-bisa saya kena delik gratifikasi, dong?"
Bagas terkekeh pelan. "Sejelas itu ya, niat saya? Wah, saya jadi makin berharap kamu mau pindah."
"Mari kita mulai meetingnya. Saya banyak pekerjaan hari ini!" Badai bersedekap, matanya mendelik ke arah Neiva. "Semoga kita semua nggak kena serangan pengar karena mabok-mabokan kemarin."
"Badai, chill. Ini hari pertama, biar Neiva adaptasi sama ruangannya dulu lah. Neiv, kamu boleh pakai komputer ini buat kerjaanmu selama kasusnya RM. Jadi silakan kamu taruh barang-barangmu dulu. Nanti jam sembilan, sharp, temui kita di ruangan pojok lantai ini ya? Oh ya, kopi, biasa, kan?" Pengacara kondang itu menatap Neiva dengan santai.
Neiva membuka mulutnya untuk menolak, tetapi Badai segera menyergah, "Caramel Macchiato, less sugar, grande. Ya kan, Nei?"
"Oke, yang lainnya, sana-sana kerja!" usir Bagas dengan nada bercanda. Badai pun melengos dan keluar ruangan. Dipta melempar senyum sebelum menyusul sang ayah keluar. Di dalam ruangan, Neiva menghela napas dan duduk di kursinya. Tempat ini sungguh membangunkan nostalgia yang sebelumnya ia tutup rapat dalam relung ingatan. Bahkan ini ruangan yang sama, tempat dulu dan dirinya Badai sering menghabiskan waktu.
Gadis itu kemudian menggeleng—menepis semua kenangan yang membayang. "Enggak, lo mesti fokus. Kerjain kasus RM dan abis itu balik ke habitat lo dan jadi budak pemerintah kayak sebelumnya." Tangan Neiva terkepal seolah menggambarkan tekadnya. Telunjuknya kemudian menekan tombol untuk menyalakan komputer. Setelah beberapa detik, layar monitor menunjukkan foto di mana Neiva, Badai, Bagas dan beberapa orang yang dulu magang di Tanudja. Lagi-lagi, napas Neiva tertahan. Siapa pula yang mesti memasang foto ini di sini? Tangan Neiva segera meraih tetikus dan mengganti foto tersebut dengan gambar acak yang ada di komputer tersebut.
"Lo ... masih mabuk, Nei?"
Celetukan itu membuat Neiva terlonjak. Matanya segera memerangkap wajah Badai yang bersandar sembari bersedekap.
"Apapun yang terjadi sama gue saat ini, bukan urusan lo lagi, Kampret." Neiva menggertakkan gigi.
"Masalahnya lo udah bikin gue kerepotan nganterin lo balik semalem!" Wajah lelaki itu memerah dan urat nadi bertonjolan di pelipis. "Damn! Seengaknya kalo lo tahu lo nggak bisa mabok, jaga diri lo!"
Neiva memutar bola mata dan bangkit berdiri. "Nggak ada juga yang nyuruh lo nganterin gue balik tadi malem. Gue juga syok, saat melek, gue tiba-tiba ada di mobil lo. Napa nggak lo urus urusan lo sendiri sama pacar lo!"
Bibir Badai bungkam, seolah masih ingin mengatakan sesuatu tetapi ia urungkan. Neiva balas melotot ke arah lelaki itu—tak ingin merasa gentar. Sampai kemudian, Badai memutar tumit dan pergi begitu saja. Neiva duduk dengan perasaan lelah, padahal ia baru saja datang ke kantor tersebut. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya dengan Badai menjadi rekan kerjanya.
⚖️⚖️⚖️
"Fuck you, Badai Sanggara!" Seruan Neiva itu disahuti dengan teriakan orang-orang di sana dengan penuh semangat. Gadis itu membanting gelasnya, kemudian duduk dengan perasaan puas meskipun sedikit terhuyung karena pengaruh alkohol dalam darahnya. Badai yang baru saja masuk kembali ke ruangan tertegun melihat tingkah Neiva. Lelaki itu menghela napas, apalagi saat orang-orang di sekitar Neiva terus menerus mengisi gelasnya dan menyuruh minum.
Tak butuh waktu lama, akhirnya Neiva mulai mabuk dengan mata separuh terpejam. Dipta di sebelahnya tertawa canggung saat kepala gadis itu kemudian terjatuh ke bahunya. "Dia kayaknya mulai mabuk, Dipta. Bisa kamu anterin ke rumahnya? Nanti Papa kasih tahu alamatnya, dia bilang kemarin sih belum pindah dari Kayu Putih."
Bagas yang baru saja masuk segera menyuruh sang putra untuk mengantarkan gadis itu. Neiva hanya bergumam-gumam tidak jelas, saat Dipta menyentuh wajah gadis itu untuk membangunkannya. "Permisi, Neiva, saya antar kamu balik, ya?" Dipta mencoba menggeser Neiva dengan memposisikan gadis itu dalam gendongannya. Emosi di kepala Badai segera meletup-letup, apalagi gadis itu seolah tidak bisa menolak atau menepis sentuhan putra Bagaskara itu.
"Nggak usah!" sergah Badai dengan kasar. Ia segera menghampiri mereka dan menarik tubuh mantan kekasihnya itu ke dalam pelukannya. "Gue aja yang anter dia. Gue ngerti rumahnya."
"Kamu yakin, Badai? Kamu bilang kan kamu nggak mau ...." Perkataan Bagas terputus.
"Ini kemanusiaan, Pak. Nggak ada hubungannya dengan kehidupan personal saya."
Dipta yang merasa sudah diperintah oleh ayahnya, mencoba menarik tangan Neiva. "Biar saya saja. Toh saya nggak punya masalah sama Neiva."
Segera tangan Badai mencekal tangan lawan bicaranya itu. "Udah gue bilang, gue yang anter. Lepasin tangan lo."
*episode6*
Gimana, udah panas? Buat yang nanya kenapa mereka sampai putus, sabar ya. Kita masih menunggu memori Neiva atau Badai terbuka. Sampai saat ini, mari kita berdoa saja semoga sampai kasusnya Renata selesai mereka nggak akan melakukan pertumpahan darah ha ha ha. Oke, insha Allah setelah ini cerita ini bakal aku update rutin, karena alhamdulillah, UnEXpected menjadi juara pertama lomba Teman Tulis Lontara 2022. Jadi nanti aku update ini sampai tamat. Rencananya juga, novel ini bakal diterbitkan di Karos, jadi tentu saja aku nyiapin dua versi. Versi Wattpad dan versi buku. Jadi pembaca bukunya bakal bisa menikmati kisah Neiva dan Badai dengan lebih baik dan banyak adegan tambahan. Untuk versi Wattpad tetap tamat, tapi ya, tentu saja karena itu draft pertama, jadi tentu banyak yang plothole dan salah ketik.
Oke segitu dulu pengumuman dari aku, tungguin kelanjutannya ya. Dan oh, menurut kalian apakah Badai dan Neiva bakalan move on atau nggak ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top