Episode 5 Drunk
"Please, Va. Bantuin gue."
Seorang diva multitalenta yang biasa dipuja-puja seluruh masyarakat Indonesia duduk di hadapan Neiva, menggenggam tangannya sekarang. Gadis itu nyaris salah tingkah, karena dirinya berhadapan dengan orang terkenal.
"Begini, Mbak Re... "
"Re aja, nggak usah pake Mbak. Lo udah kenal gue, Va. Jangan anggap gue orang lain."
Masalahnya lo itu artis pujaan seluruh Indonesia, Re! Apalah gue kayak gembel di sebelah lo.
"Begini, Re." Neiva berdeham agar suaranya tidak serak ketika berbicara. "Tim Anda ini sudah solid lho. Pak Bagas ini udah jago, juga putranya. Dan eum, ya, eum, pak Badai." Hati gadis itu sedikit dongkol menyebut nama lelaki sialan itu.
Renata Mariana
"Gue butuh lo. Lo udah keren banget bantuin gue dulu," ujar Renata yang entah mengapa di telinga Neiva suaranya sedikit bergetar. Kacamata hitam yang membingkai mata indahnya, kini dilepas dan memperlihatkan memar di atas alis. Neiva terkesiap.
"Astaga, itu, itu ..." Telunjuk gadis berambut panjang itu ragu-ragu menunjuk ke arah goresan berwarna biru tua itu.
Renata segera memakai kacamatanya kembali. "Gue butuh support system lo. Lo pasti bisa membela dan mendukung gue. Gue nggak butuh harta gono gini. Gue cuma mau cerai aja, titik."
"Lo dan Badai, adalah tim hebat di masa lalu. Gue sangat bangga bisa kenal kalian berdua. Karena itu, gue mau ngulangin kesuksesan dulu agar gue bisa menang sekarang. Suami gue nggak mau cerai dari gue, itu yang bikin semuanya berat."
Neiva meneguk ludah. Mengapa juga harus membawa masa lalu dalam hal ini, ketika gadis itu sudah bertekad membuang masa lalunya di tong sampah?
"Please. Tolong kabulin permintaan gue ini. Bukan atas nama klien. Tapi dari temen lama lo, yang memohon untuk diselamatkan."
⚖️⚖️⚖️
Mata Badai nyaris keluar dari rongganya ketika melihat Neiva memasuki restoran Cina yang sengaja dipesan untuk pertemuan tim kuasa hukum dan manajemen Renata Mariana, bersama sang artis itu sendiri.
"Ngapain lo di sini?"
Neiva menggertakkan gigi. "Gue diundang sama Rena."
"Shut the f up! Lo bilang lo nggak akan gabung dengan tim ini?"
"Gue ... berubah pikiran." Neiva sengaja memasang wajah datar. Lupakan mutasi Papua, pak Angga akan sukarela menandatangani surat pemecatannya jika ia berani mengatakan tidak. Apalagi Renata sudah memohon kepadanya dan pak Angga secara pribadi.
"Shit, Nei. Shit! Why you have to make everything's complicated?"
Gadis itu mendelik ke arah lelaki yang mengenakan jas nilakandi yang semakin membuatnya menarik. "Listen you, Bastard. Bukan gue yang bikin semuanya rumit. Tapi elo! Dan inget ya, gue bisa laporin elo karena ngelecehin gue di mobilnya pak Bagas kemarin! Nggak peduli bahkan kalau pun gue dibantai lagi di pengadilan!" tuding Neiva di depan hidung Badai.
Mata Badai berkilat-kilat penuh amarah. "Justru gue sengaja ngelakuin itu biar lo ngelaporin gue. Lebih baik gue berhadapan lagi sama lo di pengadilan sebagai musuh, daripada harus satu tim sama lo!"
"Va, ayok sini!" Renata melambai ke arah Neiva dengan riang. Gadis itu memilih untuk tidak meladeni perdebatan konyol dengan seseorang seperti Badai daripada tekanan darahnya naik ke kepala.
Lebih baik ketemu di pengadilan jadi musuh, katanya! Hah!
Neiva duduk di sebelah Renata, sementara Badai berada di sisi Bagas. Mereka sengaja memilih tidak mau berhadapan agar tidak memicu genderang perang di meja makan.
Sepanjang pertemuan, hanya Bagas dan Tim一manajer Renata yang bertukar pikiran. Neiva hanya mengobrol dengan Renata seperlunya, karena gadis itu masih merasa norak karena bersama artis terkenal. Apalagi popularitas Renata semakin melejit setelah tiga tahun sejak kasus terakhir yang membelitnya.
Makanan terus disajikan, diiringi dengan beberapa botol minuman keras seperti wine dan sampanye. Neiva meneguk saliva, tanpa sengaja melirik Badai yang berada di sebelah Bagas. Entah kebetulan atau kesengajaan, lelaki itu juga sedang meliriknya. Sialan, umpat Neiva.
"Yuk, biar suasananya santai. Kita minum dulu dikit-dikit," ajak Tim.
Ini hanya minuman formalitas, ingat Neiva. Jangan terlalu mabuk.
Gadis itu berusaha mempertahankan kontrolnya dengan hanya menyesap sedikit-sedikit, ketika acara minum-minum berlangsung. Hingga merasa sedikit mengantuk karena efek alkohol yang sudah berada dalam pembuluh darahnya. Neiva meminta izin kepada Renata, untuk ke kamar mandi sebentar.
Namun, sepertinya restoran itu sedang penuh, sehingga kamar mandinya memiliki deretan antrian yang cukup panjang. Neiva mendengkus dan memilih untuk keluar dari bangunan itu sebentar demi menghirup udara segar.
"Ini kan cuma kerja sama profesional, bukan yang aneh-aneh. Itu bukan berarti saya nyuruh kalian balikan!"
Terdengar suara Bagas sayup-sayup dari parkiran mobil. Punggung Neiva langsung menegak, sebelum akhirnya memilih untuk bersembunyi di salah satu mobil yang menghalangi pandangan pengacara kondang itu.
"Tapi Pak, kita sudah cukup punya orang-orang terbaik. Jika Bu Renata masih kurang, Bapak bisa tunjuk Edwan atau Andrew dari kantor. Mereka jauh lebih ... kompatibel."
"Badai, Bapak harap alasanmu ini bukan sesuatu yang kamu karang hanya karena kamu ketemu mantanmu. Jangan pernah membawa urusan pribadi ke ranah pekerjaan. Profesional lah!"
Mata Neiva mengerjap, sebelum akhirnya ia memilih menghentikan menguping, daripada hatinya tersayat-sayat. Ada masalah apa sebenarnya dengan si Kampret ini? Jika keadaan tidak memaksanya menerima kasus Renata, ia juga takkan berada di sini. Mengapa lelaki itu harus bersikeras untuk mengeluarkannya dari tim kuasa hukum ini?
Langkah kakinya bergerak lebih cepat masuk ke dalam, demi melihat kekacauan orang-orang yang sudah bergelung dengan minuman. Baiklah. Pertemuan sudah berakhir rupanya. Tidak ada percakapan yang bisa diandalkan jika melibatkan berbotol-botol minuman keras.
⚖️⚖️⚖️⚖️
"Kamu jangan goblok, Nivea. Ini kesempatan kamu belajar dengan pengacara kondang. Kamu juga katanya pernah magang di kantornya Bagaskara. Kenapa kamu harus sok-sokan menolak? Saya takkan memutasi kamu ke Papua. Lebih baik kamu berhenti saja kerja di sini. Setelah semua kekalahan yang kamu jadikan prestasi untuk lembaga kita, sekarang kamu jual mahal di kasusnya Renata? Gila kamu!"
Omelan Angga benar-benar menusuk hati Neiva yang sejak kemarin masih kelabu. Kali ini lidahnya kelu, tak setajam saat dia menyerang lawannya di pengadilan.
"Surat penunjukkan kamu akan di acc besok. Jangan banyak tingkah! Ini eksposure bagus untuk lembaga kita, jangan sampai kamu sia-siakan karena alasan konyol!"
Jadilah Neiva harus menelan harga dirinya untuk datang ke pertemuan tim kuasa hukum dengan manajemen Renata. Sekarang, setelah mendengar betapa Badai begitu menginginkan dia pergi, semakin membuat hatinya remuk berkeping-keping.
"Va, kita belum toast!" seru Renata yang menyodorkan segelas minuman entah berwarna apa一karena terdiri dari beberapa jenis minuman beralkohol yang dihidangkan di sana. Neiva meraih gelas itu, dan memutuskan menghabiskannya dalam sekali tenggak.
"Fuck you, Badai Sanggara!"
⚖️⚖️⚖️⚖️
Gedoran pintu yang teramat kencang membangunkan Irish yang tengah terlelap.
"Siapa sih?" gerutunya, seraya melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya. "Ajegile, jam satu pagi! Siapa malam-malam begini bertamu, emangnya setan!"
Irish bermaksud mengabaikannya saja, tapi gedoran itu tak mau berhenti. Gadis itu merutuk panjang pendek sebelum berlari untuk mengintip siapa yang datang selarut ini.
Wajah Badai yang angkuh berada dalam radarnya, membuat gadis itu mengernyit keheranan. Ada angin apa cowok Kampret itu datang kemari?
"Buka pintunya! Atau gue geletakin temen lo di teras!"
Irish mendelik kaget, sebelum akhirnya pemahaman muncul dalam benaknya bahwa Neiva memang belum pulang sejak tadi. Tangan gadis itu segera menutar kenop pintu, dan mendapati tubuh langsing sahabatnya dalam gendongan Badai.
"Eh, ngapain kamu gendong-gendong Neiva?"
"Bukan urusan lo. Mana kamarnya cepetan, tangan gue kram!" sembur Badai.
"Mau ngapain kamu di kamar Neiva? Kamu apain dia kok sampai mau kamu gendong?" berondong Irish seraya berkacak pinggang.
"Udah syukur ya gue nganterin Nei pulang daripada gue tinggal di sana, jadi apa temen lo itu. Udah, cepetan tunjukin kamarnya!"
Mau tak mau, Irish bergeser dan menunjuk lantai atas tempat di mana Neiva tidur. Badai menggumam singkat dan menggerutu ketika menaiki anak-anak tangga sembari menggendong Neiva yang benar-benar tertidur lelap.
"Udah kamu apain nih anak sampai begini? Ngaku!" semprot Irish ketika Badai berhasil membaringkan Neiva di atas ranjangnya. Irish mengendus bau alkohol menguar dari tubuh keduanya dan semakin curiga. "Kamu mau ngelecehin dia pas mabuk begini? Dasar setan!"
Badai memutar tumit dan melotot ke arah Irish. "Lo kira gue apaan sampai mau ML sama cewek yang mabuk? Nggak ada nikmat-nikmatnya sama sekali tahu nggak? Sekarang lo kasih apa kek temen lo itu. Kayaknya dia pingsan pas di mobil gue."
Irish menepuk-nepuk pipi Neiva, demi membangunkan gadis itu. "Kok bisa pingsan?"
Lelaki itu mendengkus sebelum menjawab, "Kepentok atap mobil gue."
"Kamu itu ..." Omelan Irish terhenti karena ia mendengar erangan sahabatnya. "Ambilin minyak kayu putih cepet di laci nomor dua!"
Lelaki itu dengan enggan membuka laci yang dimaksud, lalu mencari botol minyak kayu putih. Namun tatapannya membeku kepada sesuatu yang berada di sana. Sebuah pigura, berisi foto mereka berdua yang tersenyum menghadap kamera di dalamnya.
Bibir lelaki itu terkatup rapat, sebelum melemparkan botol berwarna hijau ke arah Irish yang terkejut. "Gue pulang!"
Hello, Keliners, apa kabar?
Maaf minggu kemarin kagak update. Lagi ke luar kota, terus ada beberapa agenda yang nggak bisa ditunda.
Eniwei, meskipun telat, selamat bermalam mingguan ya bareng Badai dan Neiva lagi. Jangan bosen-bosen tinggalin komen ya, pasti kubalas kok kalo notifnya muncul 🤭🤭
Nah, gimana, seneng kan Neiva jadi satu tim sama Badai? Kira-kira mereka berdua ngapain di mobil sampai Neiva kepentok atap mobilnya Badai?
Jadi tungguin kelanjutannya ya, buat lihat keseruan mereka menangani kasus perceraian Renata sama suaminya.
Love you always,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top