Episode 3 Menerjang badai
Hujan deras disertai angin kencang yang menampar-nampar membuat mood Neiva jatuh ke dalam palung Mariana. Pasti ada yang salah dengan hari ini. Apakah Tuhan memang sengaja mengerjainya?
Perempuan itu mengucir rambutnya, lalu mendesah gelisah di depan teras kantornya. Memang dia punya payung, tapi jelas angin sekencang itu akan membalikkan payungnya dan membuatnya basah kuyup. Padahal ia masih harus berjalan kaki untuk sampai halte untuk antre naik bus Transjakarta.
Naik taksi menuju rumahnya jelas tidak mungkin. Ia bisa tekor. Saat ini dirinya dalam fase mengirit, di mana sejak Mauve pindah dari kontrakan mereka di Utan Kayu, otomatis ia dan Irish harus membagi dua pengeluaran mereka. Dan apesnya, Irish sedang menganggur. Dengan gaji yang tidak seberapa, Neiva harus membiayai seluruh keperluan mereka sehari-hari sampai teman serumahnya itu mendapatkan pekerjaan.
Lagi dan lagi, Neiva menghela napas. Kejadian tadi pagi masih berseliweran di otaknya. Seperti menempel dan tak mau lepas dari sana.
"Dia tidak pakai celana dalam, Sayang. Apa yang lo harapkan?"
Sial, sial, sial. Itu argumen yang mementahkan semua pembelaannya di depan hakim. Lalu, Badai menjelma dalam bentuk badai yang sebenarnya dengan muncul lagi dalam kehidupannya. Mengapa? Mengapa harus bertemu lelaki itu lagi?
Mungkin yang namanya kualat itu ada. Sepertinya Neiva harus sujud dan mencium kaki Mauve yang ia olok-olok dua bulan yang lalu. Shit.
Lalu badai muncul sore ini, di saat ia tak punya pekerjaan tambahan yang biasanya menahan dirinya berada di kantor sampai malam hari, setelah penunjukkan tak resmi dirinya mendampingi Renata. Kecuali dia hengkang ke Papua. Ah, bos sialan. Seharusnya ia bisa pulang cepat dan tidur lebih awal. Namun, karena hujan badai secara harafiah ini Neiva masih harus berada di kantor, menunggu hujan reda.
Sepertinya ia harus membeli mobil seperti Mauve. Memiliki mobil sendiri akan praktis dalam situasi seperti ini. Namun, ia sedang memiliki hasrat untuk menabung. Ia ingin memiliki rumah di kawasan Ayalis, Menteng. Ia memilihnya karena lebih dekat dengan tempat kerjanya yang sekarang.
Sayangnya untuk DP rumah ia harus punya sekitar dua ratus lima puluh juta rupiah. Dengan gajinya yang sekarang, plus pengeluarannya yang meningkat karena pindahnya Mauve dan nganggurnya Irish, ia masih harus banyak berhemat. Astaga, begini amat jadi pengacara. Siapa yang bilang pengacara itu pasti banyak uang? Lalu bayangan Badai melintas dengan jasnya yang mahal juga parfumnya yang masih berbekas meski pun pemiliknya telah pergi. Sialan.
Seandainya saja, Neiva tidak keluar dari Tanudja Law Firm tiga tahun yang lalu ...
Kepala perempuan itu menggeleng, kemudian kakinya hendak berlari menerobos hujan yang masih deras. Tak peduli kondisi itu membahayakan jiwanya. Yang pasti ia harus segera sampai rumah, bergelung di kamarnya yang nyaman dan menyesap cokelat hangat buatan Irish.
Namun, belum sempat ia melangkah, suara klakson mobil nyaring memekakkan telinga membuat gadis itu tersentak.
"Hai, Neiva! Mau pulang ya? Yuk saya anter!"
Suara itu terdengar sangat akrab dan familiar. Neiva menoleh. Wajah tampan Badai segera berada dalam radius tatapan matanya, padahal suara yang memanggil Neiva tadi bukan miliknya. Perempuan itu memejamkan mata dan merutuk radar hatinya yang rusak. Di kursi pengemudi, duduklah Yang Terhormat Bapak Pengacara Bagaskara Tanudja. Neiva melemparkan senyum.
"Sore, Pak Bagas. Saya, oke, kok."
"Hujan kayak gini masih lama. Bahaya juga kalau kamu lari ke halte. Sama kita aja, kita emang mau ke daerah Utan Kayu. Kamu masih tinggal di sana, kan?"
Bagaskara Tanudja
Segala sesuatu tentang Bagaskara memang tak bisa dianggap remeh. Ingatan lelaki berambut putih nyaris keperakan itu sungguh luar biasa. Berselang tiga tahun, Tanudja tidak lupa di mana Neiva tinggal. Bahkan, lelaki itu tak pernah salah mengucapkan nama Neiva.
"Nggak usah, Pak. Saya ..." Neiva kebingungan mencari alasan. Jelas, semobil bersama Badai meski pun tidak berdua, bukan hal yang ia inginkan. Ia tidak ingin menghirup oksigen yang sama dengan lelaki itu.
"Udahlah, yuk. Itung-itung ketemu kawan lama. Kamu sudah lupa sama saya, ya? Jahat betul kamu," sahut Bagas seraya terkekeh.
Sementara Badai hanya menatap lurus tanpa menoleh ke arah Neiva sama sekali. Lelaki itu juga pasti tidak mau semobil bersama perempuan itu. Neiva menjadi serba salah. Ia tak enak hati dengan Bagas yang selalu baik dan ramah terhadapnya, sementara ia tak mau bersama Badai. Olok-olok lelaki itu tentang kuli pemerintah sungguh menusuk sanubari Neiva yang paling dalam.
"Ayolah, hujan ini. Nanti masuk angin kamu! Ayok!" Bagas melambai ke arahnya menyuruhnya bergegas. Neiva dengan enggan akhirnya masuk ke dalam mobil sedan mewah itu. Untuk ukuran lelaki paruh baya, Bagas masih terlihat prima dan gagah. Tangannya lincah menyetir mobil menuju jalan utama.
"Kenapa sih pakai malu segala, toh habis ini kita jadi satu tim lagi. Jangan nggak enak sama saya karena kamu udah nggak kerja lagi di Tanudja!"
Neiva menyunggingkan senyum manis, tak tahu harus berkata apa. Dia sendiri merasa enggan untuk bergabung dengan tim kuasa hukum Renata Mariana. Namun, ia tak tega menolak ucapan mantan bosnya itu.
"Kamu sudah dibilangin si Angga, kan? Proposal kita juga pasti sudah masuk. Kemarin saya sempat suruh Badai memeriksa kasus kamu, barangkali dia ada masukan untuk pembacaan pledoi. Tapi kayaknya udah telat banget ya?" Bagas menoleh ke arah perempuan yang duduk di jok belakang itu ketika mobilnya berhenti karena macet.
"Eh?" Neiva mengangkat alis. Pantas saja si Kampret itu tahu kasus yang sedang ia kerjakan!
"Saya sudah menyampaikan gagasan saya pada Neiva kemarin, Pak. Tapi kayaknya Neiva memang percaya diri sekali memenangkan kasusnya." Badai tanpa diduga berkata dengan suara santai dan ramah. Gagasan macam apa yang dikatakan Kampret ini? Bahwa korbannya tidak mengenakan celana dalam?
"Iya, Pak. Saya nggak setuju dengan gagasan em, Pak Badai kemarin." Neiva segera menyanggah perkataan lelaki itu.
"Wah, padahal Badai ini lihai lho, Neiv. Dia ini bintangnya pengadilan sekarang! Kasus apa pun yang ia pegang pasti 90 persen menang!" Bagas menepuk bahu lelaki di sampingnya, dengan penuh rasa bangga.
Mulut lelaki muda itu memang lihai, Neiva membatin. Termasuk lidahnya juga ....
Ups, Neiva segera menepis pikiran yang baru saja melintas itu dengan menggeleng. "Tapi untuk jadi tim kuasa hukum Renata ... saya sendiri belum tentu bersedia lho, Pak."
Ekspresi wajah Bagas membelalak terkejut. "Lho, kenapa? Angga melarang kamu? Nggak mungkin, ah. Kita tadi ngobrol lama dan dia setuju-setuju aja. Ini kesempatan kita buat reunian lho, Neiv. Saya yakin kemampuan kamu pasti lebih baik setelah cabut dari firma saya, jadi saya penasaran dengan itu sekarang."
Malu-malu, tangan Neiva membenahi poninya yang menutup dahi dengan perlahan, meski pun sejatinya ia ingin menutup wajah dengan seluruh rambut panjangnya. Sejak keluar dari firma, Neiva seakan seperti macan ompong, yang kalah di setiap pengadilan. Rasa-rasanya, ia ingin mengutuk dirinya karena kembali bertemu dengan pengacara kondang yang sudah banyak membimbingnya dalam kondisi tidak menggembirakan. Apalagi Bagaskara selalu bersikap seperti ayah kandungnya sendiri. Neiva sungguh tidak enak hati menolak ajakan lelaki ini.
Namun, ekor mata Neiva menangkap sebuah seringaian di bibir Badai. Sialan, lelaki itu seakan mengejeknya. Pasti dia sudah tahu sepak terjang Neiva sejak bekerja di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Belum lagi lelaki itu merendahkan profesinya sekarang. Budak pemerintah your eyes.
"Saya justru ... minder, Pak. Saya sebenarnya malah nggak pernah menang dalam setiap kasus saya." Neiva mengakui kegagalannya dengan nada getir.
Tanudja terbahak. "Nah, bagus itu. Berarti ini saatnya kamu harus saya ospek lagi, bener nggak, Badai?"
Kali ini raut wajah Badai berubah masam. Lelaki berlesung pipi itu benar-benar kehilangan seringaian yang tadi ia tampakkan. Neiva mendapat gelagat, bahwa sejujurnya lelaki itu juga tidak suka gagasan Neiva bergabung dalam tim kuasa hukum Renata. Jantung perempuan itu seakan mencelus, sementara di dadanya mulai dihinggapi kekecewaan.
Tunggu sebentar, kekecewaan? Neiva menarik napas panjang sebelum membuangnya kasar. Untuk apa ia harus kecewa kalau ternyata lelaki itu juga tak mau bersama dengannya? Dasar geblek! Mungkin ia ketularan virus begonya Mauve. Ia harus dirukyah untuk buang sial. Ia tak mau berakhir seperti Mauve yang makan hati karena Sian si cowok gatel tak tahu diri itu! Amit-amit!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top