Episode 25 Babak Akhir

Neiva berhenti menyerang lelaki itu, tetapi meraih tas yang tercangklong di bahu dan melemparkannya ke wajah Andreas. Lelaki itu terkejut dan melepaskan cekalannya, sehingga Neiva punya waktu untuk berlari. 

Namun, sepertinya ada yang menutup pintu ruangan persidangan, tanpa sepengetahuan Neiva. Karena setiap sudut yang ia datangi, terkunci rapat dan tak bisa membuka. Gadis itu mulai panik, lalu memindai sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Andreas dengan cepat menyusulnya dan kembali mengarahkan tangan ke leher gadis itu. 

Napas Neiva mulai memendek, sementara wajahnya memerah. Bahkan untuk berteriak pun, gadis itu tak bisa mengeluarkan suara. Di matanya, lelaki itu dengan ekspresi bengis mengerahkan semua kekuatannya. Kaki Neiva lumpuh, benaknya memutar saat beberapa tahun yang lalu, ketika ia hendak membantu ibunya yang sudah terkapar tak berdaya akibat hajaran suaminya. Neiva berlari dan menyerang Waluyo, tetapi lelaki itu sudah mencekiknya hingga ia tak bisa bernapas. Sama seperti sekarang. Ia tak punya kekuatan atau apapun yang bisa menghalangi para lelaki bejat itu untuk menghabisi nyawanya. 

Menantikan pertolongan tak selamanya bisa membuatnya lolos dari situasi tersebut. Neiva teringat kalimat yang ia ketik sendiri untuk Renata. Kebahagiaan Anda adalah sesuatu yang harus Anda perjuangkan sendiri, bukan ditentukan orang lain. Kaki Neiva mulai bisa digerakkan sedikit demi sedikit, ketika ia mengatasi momen kelumpuhan akibat memori masa lalunya. Wajah renta dan kuyu ibunya, kini menjadi tenaga yang membuatnya bertahan. Gadis itu mulai mengentakkan kaki dan lalu menendang selangkangan Andreas dengan tenaga yang tersisa. Begitu ia bebas, ia berlari menuju kursi yang tadi diduduki Renata, lalu melemparnya ke arah lelaki itu. 

"Jika ini pertarungan terakhirku, maka aku akan mengerahkan semua yang kubisa untuk menghabisimu!" seru Neiva dengan penuh tekad. 

Andreas tertawa. "Gadis kecil sepertimu bisa apa? Aku bisa menuntutmu untuk penganiayaan." 

"Ha ha ha. Hei, kamu baru saja dikalahkan oleh gadis kecil sepertiku di pengadilan." Neiva berkacak pinggang dan menyeringai dengan penuh kemenangan. Meskipun ia masih harus tersengal-sengal, dan memaksa paru-parunya untuk menghirup udara sebanyak mungkin, gadis itu bertekad takkan semudah itu dikalahkan. 

"Semua CCTV di ruangan ini mati. Kamu takkan punya bukti." Andreas kembali melangkah menghampiri Neiva. 

"Wah, harusnya kamu mengerahkan semua sumber dayamu untuk menang dalam kasus ini." Neiva berkelit dan terus menghindari lelaki itu sebisa mungkin. 

"Ya. Kekuatan hukum memang tidak bisa dipercaya. Aku lebih suka kekuatan uang, dan kekerasan. Setelah kamu, aku akan membunuh Renata. Setelah semua yang kuberikan padanya, tega sekali dia meninggalkanku." 

Neiva mendengkus. "Sayang sekali orang sekaya dirimu, tidak punya kaca. Aku bersyukur Renata lepas darimu!" 

Lelaki itu menggeram dan menyerang Neiva. Tangannya meraih kursi yang dilemparkan gadis itu, lalu melayangkannya ke arah Neiva. Gadis itu berusaha mengelak, tetapi ia sudah dalam batas maksimal kekuatannya.

Mata Neiva tertuju pada tiang bendera yang berada di sebelah kanan kursi hakim. Gadis itu meraih tiang tersebut dan mengayun-ayunkan sebisanya demi menghalau Andreas. Tanpa sengaja, tiang itu menyenggol patung garuda pancasila yang terpasang di dinding. Kepala Neiva sudah terasa nyeri dengan mata berkunang-kunang. 

Andreas menarik tiang itu dari tangan Neiva dan mulai memukulinya. Darah mengalir di pelipis gadis itu, sementara napasnya mulai semakin menipis. Ia terjatuh ke lantai, sementara lelaki itu memukulinya tanpa ampun. Neiva bergerak meraih apapun yang bisa ia jangkau, sekaligus melarikan diri. 

"Mati kamu, mati! Aku akan mengirimmu ke neraka bersama ibumu dan Renata sekaligus! Kalian wanita-wanita tidak berguna dan hanya bisa mengotori tanganku!" 

Tangan Neiva meraih pecahan patung terbesar yang dekat dengannya, lalu dengan napas yang tersisa, ia hantamkan batu itu ke kepala Andreas berkali-kali, sampai lelaki itu tak sadarkan diri. 

Tiang bendera terjatuh ke lantai seiring tubuh Andreas ambruk. Neiva sedikit meringis karena melihat betapa lambang kebangsaan itu jadi bernoda darah. Matanya beralih ke pecahan patung yang tergenggam, mulai pening membayangkan betapa ia harus mendapatkan hukuman karena merusak dan menghina lambang negara. Gadis itu menelan ludah, lalu menaruh benda di tangannya dengan hati-hati di atas meja. Ia berdiri di depan Andreas dan berbisik, "Dengan kekuatan Pancasila, aku menghukummu, Bajingan!" 

Langkah kaki Neiva sempoyongan saat ia meraih tasnya di tengah ruangan, lalu mengambil gawainya. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Badai, juga notifikasi pesan. Neiva mengerling ke arah Andreas, yang dari dadanya yang bergerak naik turun, sepertinya masih hidup. Ada bisikan dari dalam hatinya, yang menyuruhnya sekalian menghabisi lelaki itu dan membuatnya hilang selamanya. Sebuah godaan yang sangat kuat, mengingat betapa ibunya dan Renata menderita karena lelaki itu. Ia bisa ditahan berapa tahun penjara, atau mungkin hukuman mati, tetapi ia telah memusnahkan seorang pelaku KDRT yang kejam dari muka bumi. 

Namun, Neiva menepis godaan itu. Tidak, misinya adalah membebaskan sebanyak mungkin korban KDRT dan memberi pelakunya hukuman yang setimpal. Langkahnya tidak boleh berhenti hanya karena satu orang. Jadi, Neiva memutuskan menelepon Badai, yang segera mengangkat panggilannya setelah dering kedua. 

"Lo di mana? Gue nyari lo ke mana-mana, gue udah nungguin lo di halte!" sembur Badai bahkan sebelum Neiva mengucapkan halo. 

Gadis itu meringis menahan nyeri, sekaligus juga merasa tersanjung karena perhatian yang diberikan oleh mantan kekasihnya itu. "Badai, gue masih di ruang persidangan. Dan gue ...." Neiva mengerling ke arah Andreas dan ruangan yang kacau balau dengan noda darah di mana-mana. "Gue butuh pengacara yang bagus." 

***

Ketika kembali ke ruang persidangan, Badai terkejut saat mendapati pintunya terkunci. Kakinya berlari kencang, mencari petugas yang bertanggung jawab. Saat dibuka, jantung lelaki itu mencelus, saat melihat perempuan yang ia cintai tergeletak tak sadarkan diri dan bersimbah darah. Badai segera menyuruh petugas itu memanggil polisi atau petugas keamanan.

"Nei!" seru Badai panik. Ia menghampiri gadis itu, memeriksa apakah masih ada tanda-tanda kehidupan. "Nei, bangun, Nei! Stay with me! Jangan tidur dulu, oke?"

Mata Neiva perlahan membuka, kemudian dahinya mengernyit. Gadis itu mendesis, "Sakit."

"Gue tahu, tapi please, tahan sebentar, ya. Gue udah telepon ambulans. Jangan tidur dulu, please!" Lelaki itu tak bisa menyembunyikan rasa takut dari matanya.

"Andreas ...."

Badai menoleh ke arah lelaki yang juga masih pingsan tak jauh dari meja yang biasa digunakan oleh hakim. Tampaknya Andreas juga masih hidup. "Polisi bentar lagi dateng, tapi please jangan merem dulu. Lo harus tetap sadar sampai ambulans datang, oke?"

"Ngantuk ...." bisik Neiva lirih. "Pusing."

Badai tak kuasa menahan tangis. Setiap hari selama tiga tahun ini ia berdoa agar bisa merengkuh dan memeluk gadis itu, dan berharap mereka akan bahagia entah dengan cara apa. Namun bukan ini yang Badai inginkan. Tubuh Neiva berada dalam pelukannya, lemah dan berlumuran darah. Tangan lelaki itu menangkup wajah perempuan yang ia cintai, memaksa agar perempuan itu menatap matanya.

"Please, tahan bentar lagi, Nei. Jangan tinggalin gue, kerjaan kita masih banyak. Kita harus meluruskan kesalahpahaman kita. Kita harus penjarain siapapun yang bikin lo jadi begini, jadi tolong, Nei. Jangan pergi, jangan tinggalin gue kayak gini!"

Tangan Neiva menyentuh pipi lelaki itu, yang meninggalkan jejak darah di sana. "Maaf ...." Sejuta kata yang ada di benak Neiva berpendar, tetapi tak ada yang keluar dari bibirnya. Perlahan, kegelapan mulai menyelimutinya, hingga ia menyerah dan membiarkan kesadarannya menghilang. Sayup-sayup kata terakhir yang ia dengar adalah namanya yang disebut oleh Badai.

*tamat?*

Alhamdulillah setelah berbulan-bulan cerita ini mangkrak, terus menang lomba, terus sempet mangkrak lagi, cerita ini bisa berakhir juga. Tapi, ini untuk yang versi Wattpad dan Facebook ya.

Ada beberapa masalah yang emang belum beres, kayak nasibnya Neiva, apakah dia selamat, juga hubungan dia sama Badai. Juga nasibnya Andreas. Juga masalah ibunya Neiva. Tapi aku putusin, hal itu aku bakal ungkap di ending versi cetak aja. Untuk yang pengen tahu kayak gimana, ya tunggu tanggal mainnya ya.

Jadi gimana pendapatmu tentang unEXpected sejauh ini? Kalian suka nggak dengan genre romance-thriller dengan tema hukum kayak gini? Kasih tahu aku di komen ya.

Dan enaknya setelah ini, nulis tentang apa ya? Apa kalian ada masukan?

Terima kasih buat para pembaca setia yang udah kasih dukungan selama ini. Terima kasih buat Lontara dan Panitia Teman Tulis 2022 yang udah memilih unEXpected sebagai juara I.

Terima kasih juga untuk Karos Publisher yang hendak menerbitkan novel ini. Nggak nyangka juga, kalo akhirnya aku bisa jadi salah satu penulis di Karos. Benar-benar kehormatan.

Dan sekian dari aku, sampai ketemu di cerita selanjutnya!
Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top