Episode 24 Vonis

"Tidak ada yang menginginkan sebuah tragedi terjadi dalam hidupnya. Tidak ada pula yang mengharapkan rumah tangganya harus berakhir begitu saja, dengan huru hara ataupun tidak. Tidak ada juga yang ingin melakukan kesalahan dalam hidupnya, apalagi memilih pasangan seumur hidup. Tidak ada. Saat saya menikah, tentu banyak pertentangan yang saya lalui. Mulai kesenjangan usia kami berdua yang sangat jauh, juga betapa gaya hidup kami yang berbeda. Tapi saya yakin, seperti yang diyakini para pujangga dan sebagian masyarakat kita, bahwa cinta akan mengalahkan segalanya. Walaupun dalam kehidupan rumah tangga saya, ternyata tidak." 

"Tidak ada cukup cinta yang bisa mencegah saya mengalami penderitaan lahir dan batin, yang diberikan oleh seseorang yang saya kira mencintai saya. Atau memang sedari awal, cinta itu tidak pernah ada. Bahkan untuk seseorang yang selalu dianggap kuat dan tangguh, saya selalu mengira tidak mungkin saya akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa saya tidak membalas? Ya, saya membalas, ketika pikiran saya telah cukup muak dengan siksaan yang diberikan oleh suami saya. Saya melawan, dan saya dikecam sebagai perempuan sadis dan kejam. Mereka melihat seorang lelaki menangis dan bersujud di hadapan istrinya, mereka jatuh iba. Mereka tidak melihat warna biru yang memenuhi sekujur tubuh saya, atau rasa sakit yang saya telan sendirian setiap malam. Mereka mengabaikan air mata saya yang telah mengering, juga bengkaknya kedua mata saya. Kamu wanita jahat, memukul suami. Kamu istri yang tidak berbakti."


"Saya sudah memberikan bakti sepanjang pernikahan kami. Setiap kali, suami saya memaksakan kehendaknya dan menyiksa saya selama prosesnya, saya diam, demi bakti sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. Mungkin jika saya menahan derita ini, suami akan lebih mencintai saya, dan takkan menyiksa saya lagi. Seusai melampiaskan hasrat dan emosinya yang membabibuta, suami saya selalu menangis, berjanji takkan melayangkan tangan kepada wajah saya lagi. Namun, janjinya seperti senja yang datang dan pergi. Saya memegang teguh keyakinan bahwa ini adalah yang terakhir kali. Wajah anak-anak yang selalu terbayang ketika saya ingin lari dari rumah yang tak ubahnya seperti neraka. Mereka sumber kekuatan saya, tapi saya juga tak mau membawa mereka ke dalam penderitaan yang terjadi di rumah. Karena itu, saya berdiri di sini, karena ingin mengakhiri lingkaran setan yang membelit saya bertahun-tahun." 

"Saya di sini untuk membuktikan kepada dunia, juga kepada perempuan-perempuan yang mengalami derita seperti saya. Tidak apa-apa jika Anda menyerah, dan meminta bantuan. Tidak apa-apa jika Anda melawan tirani dari para suami. Kebahagiaan Anda adalah sesuatu yang harus Anda perjuangkan sendiri, bukan ditentukan orang lain termasuk pasangan Anda. Jika saya kalah hari ini, jangan menganggap keadilan tengah mati. Saya akan terus memperjuangkan kebahagiaan saya dan anak-anak saya, setiap detik setiap harinya. Anda pun harusnya tak boleh berhenti mencari sumber kebahagiaan Anda. Semoga hari ini, kebenaranlah yang menang. Apapun hasilnya, saya akan menerima dan akan terus memperjuangkan hak saya untuk bahagia. Dari saya, Renata Mariana, seorang perempuan yang tengah mencari kebahagiaan untuk dirinya dan putra-putranya." 

Renata mengakhiri pembacaan pledoi atau pembelaan dirinya dengan mencucurkan air mata. Seluruh pengunjung bertepuk tangan, termasuk Neiva yang masih saja memasang wajah tegang. Dalam hati ia tak berhenti mendaraskan doa agar Renata mendapatkan keadilan yang setimpal hari ini. Badai di sebelahnya, memandangi gadis itu seolah sedang menyimpan setiap jengkal kenangan yang akan ia simpan selamanya. Ia sudah tak lagi memikirkan hasil persidangan. Karena begitu hakim mengetuk palu, ia takkan bisa bertemu dengan gadis yang mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. 

Detik demi detik berlalu, suasana ruang persidangan tak ubahnya seperti perlombaan. Jantung Neiva memompa darah lebih cepat dari biasanya, sementara kedua jarinya saling bertaut. Sampai sekarang, ia selalu benci dengan kejutan yang terjadi saat sang hakim membacakan vonis. Ia selalu mendapatkan kekalahan, tak peduli seberapa kerasnya ia berjuang. Namun, saat itu, ia menggunakan emosi ketimbang logika untuk menyusun pembelaan dan menunjukkan bukti penting dalam kasusnya. Karenanya ia selalu kalah. Pada kasus Renata, Neiva banyak belajar termasuk bagaimana menyikapi hubungan dengan ibunya yang juga merupakan korban. 

Mereka tidak bisa ditekan untuk melepaskan diri dari pasangan mereka begitu saja. Ada banyak lapisan yang harus dibuka, proses yang menyakitkan setiap saat. Belum lagi dilema yang juga membelenggu mereka. Menuduh mereka tolol atau bodoh dan bucin takkan bisa menyembuhkan luka mereka. Kadangkala, mereka bukan tak bisa melepaskan diri. Pikiran mereka telah terkunci rapat dengan manipulasi yang dilakukan oleh pelaku, sehingga mereka seperti orang yang terhipnotis. Seperti mangsa yang mendekat kepada ular yang menatap mereka dengan bengis. Untuk bisa bebas dari semua itu, butuh waktu dan dukungan. Neiva telah banyak belajar dalam hal ini. 

Hakim mulai membacakan vonis. Neiva melepaskan tautan jemari dan mencengkeram kursi di depannya dengan erat. Jika Renata divonis bersalah, Bagas akan mengajukan banding, itu yang dijanjikan oleh pengacara kondang tersebut. Namun, Neiva tentu berharap mereka tak perlu melakukannya. Badai yang melihat betapa tegangnya gadis itu, memegang lengannya, mencoba menenangkan. Neiva menoleh dan menatap mata lelaki itu, yang seolah mengiriminya berjuta isyarat yang tak ia ketahui. 

"Kita pasti menang," bisik Badai seraya menyeringai. 

"Lo yakin?" Gadis itu mengerjap kebingungan. 

"Karena ada gue. Lo kan tahu reputasi gue." Badai memamerkan deretan giginya. "Gue nggak nyogok hakimnya, ya ampun. Jelek banget pikiran lo ke gue. Lo kira gue pengacara apaan." Lelaki itu buru-buru menyanggah ketika melihat mata Neiva yang memancarkan rasa tidak percaya. 

Sudut bibir Neiva terangkat membentuk busur. Namun, gadis itu memalingkan wajah. Sampai sekarang pun, interaksi tanpa kata yang terjadi di antara mereka, benar-benar membuat hatinya hangat dan nyaman. Hanya saja, tembok tinggi yang menghalangi mereka membuat senyuman di bibir gadis itu surut. 

"... memutuskan bahwa Saudari Renata Mariana tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan." 

Kedua tangan Neiva terkepal dan ia bersorak dengan penuh kemenangan. Tak sia-sia ia mengorbankan waktu tidurnya untuk membuat monolog panjang untuk artis itu. Setelah itu, ia mengusap wajah, tak bisa menahan diri untuk mencucurkan air mata. Ini kemenangan yang terasa manis dan menyenangkan. Badai menarik kepala gadis itu dan membiarkannya menangis di dadanya. 

"Kali ini, lo yang bikin tim kita menang. Lo berhak juga merayakan kebahagiaan lo ini." 

Neiva mengangguk dan mengusap air matanya. Setelah ini, ia bertekad untuk membebaskan ibunya. Satu persatu orang mulai meninggalkan ruang persidangan, begitu pun dengan Andreas yang tampak marah dan ingin menghabisi pengacaranya.

Bagas mengumpulkan timnya dan berkata mereka akan merayakan dan membicarakan kelanjutan kasus Renata di kantor esok harinya. Kemungkinan Renata akan menggugat balik suaminya dan membawanya ke balik jeruji. Sementara untuk status pernikahannya, hakim telah mengabulkan gugatan Renata, sehingga ia dan Andreas telah resmi bercerai, tanpa ada pembagian harta gono-gini. Renata mengikhlaskan haknya untuk tidak mendapatkan sepeserpun, kecuali untuk anak-anaknya.

Perempuan itu memeluk Neiva dengan erat sebelum pergi, sembari membisikkan terima kasih. Gadis itu membalas pelukannya, merasa senang bisa membantu perempuan itu meraih kebebasannya.

Sampai ruang persidangan kosong, Neiva masih berada di sana. Ia masih ingin menikmati kemenangannya, sampai ia puas. Setelah ini, ia akan kembali ke LBH dan bertemu dengan bosnya yang sungguh menyebalkan itu lagi. Bagas sempat memintanya memikirkan tawaran untuk bergabung di Tanudja Law Firm, dengan gaji yang menggiurkan dan Neiva berkata akan mempertimbangkannya. Mungkin saja ia akan menerimanya. Mungkin juga tidak, gadis itu masih belum mau memutuskan. 

Gadis itu menarik napas panjang, sampai ia melihat ada sosok yang keluar dari kegelapan dan tiba-tiba menghampirinya. Neiva terkesiap, tak menduga bahwa secepat ini ia akan berhadapan dengan lelaki itu. 

Mata lelaki itu nyalang dan berkilat-kilat. Jika peribahasa mata bisa membunuh, mungkin inilah yang dimaksudkan. Jantung Neiva mencelus, tetapi ia berusaha untuk tenang dan kalem, tidak terintimidasi dengan aura negatif yang dipancarkan oleh lelaki itu. 

"Selamat malam, Neiva. Atau saya harus memanggilmu, Nak?" Andreas Gunawan memamerkan seringaiannya. Ruang persidangan benar-benar kosong dan sunyi. Sehingga gadis itu ragu akan ada orang di sekitar sana. 

Sungguh di luar dugaan. Siapa yang memberitahu lelaki ini? Pikiran Neiva mendadak keruh, tetapi ia berdiri demi mengimbangi tinggi Andreas yang berada di hadapannya. 

"Saya tidak mengerti maksud Anda, Pak Andreas. Tapi saya tak ada waktu melayani basa-basi ini, karena saya masih ada urusan di kantor, permisi." Neiva memutar tumit dan mencoba untuk melangkah dengan tenang dan perlahan. 

Tangan Andreas meraih rambutnya, menarik gadis itu mendekat. "Kamu pikir, saya sebuta itu sampai tak menyadari betapa kamu adalah duplikat Ambar sejak pertama kali melihatmu?" 

Mulut Neiva bungkam, sementara benaknya berusaha mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri. 

"Selama ini saya hanya menduga, tetapi beruntung saya mendapatkan bukti DNA dari lipstik yang menempel pada gelas kopimu. Walaupun untuk itu, saya harus membayar mahal seseorang untuk membuat kekasihmu tak sadarkan diri di parkiran." 

Kata-kata itu meluncur tanpa ada tekanan, tetapi Neiva merasakan paru-parunya melesak meminta udara. "Saya ... sungguh-sungguh tak mengerti apa yang Anda bicarakan. Aah!" jeritnya ketika lelaki itu semakin mencengkeram rambutnya. 

"Seharusnya kamu membela orang yang telah menjadi alasan keberadaanmu, ya kan, Neiva? Bahkan nama yang unik ini pun, kukira dari buku yang kuberikan kepada Ambar. Kecerdasan dan keberanianmu, tidak boleh disia-siakan kan? Karena kamu mewarisinya dariku. Namun, betapa naifnya, aku harus memiliki seorang anak durhaka, yang malah ingin memasukkan ayahnya ke balik jeruji!" 

Napas Neiva tersengal-sengal, sementara tangannya berusaha menggapai wajah lelaki itu agar bisa membebaskan diri. "Lepaskan!" 

Andreas melepaskan rambut Neiva, tetapi tangannya meraih leher gadis itu dan mengeratkan cengkeramannya di sana. "Tadinya aku ingin memaafkanmu dan Ambar, membawa kalian ke kehidupan yang lebih baik. Bahkan suami ibumu yang tak berguna itu cuma bisa menghabiskan uang untuk judi saja ya, kan? Namun, aib adalah aib. Sepatutnya aku harus berpegang teguh kepada keyakinanku, untuk menghabisi semua yang menghalangi jalanku atau membuatku merasa malu. Dan kamu, termasuk air comberan yang menyiram wajahku! Akan kuhabisi kamu sampai tak ada lagi yang tersisa darimu!" 

*episode24*

Waduh, Andreas sudah tahu, Kels. Bisakah Neiva selamat dari bahaya? 

Untuk episode ini mohon maaf kalo banyak monolog dari Renata. Cuman, aku butuh ngasih porsi lebih, karena isu KDRT lagi hot-hotnya untuk dibicarakan. Lepas dari KDRT memang susah, Kels. Karena itu, butuh banyak pihak untuk membantu dan memberikan support agar para korban bisa terbebas. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal semacam itu ya, Kels. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top