Episode 23 Melepaskan Duka

Neiva mengembuskan napas lega ketika sidang berakhir. Satu persatu orang bangkit meninggalkan ruang sidang, termasuk Andreas yang melenggang dengan wajah memerah, serta kaki mengentak-entak dengan penuh tekanan.

Bagas dan Renata menghampiri advokat lainnya, yang segera memberikan tepuk tangan. "Eits, kita belum tahu hasilnya. Apapun bisa saja terjadi saat pembacaan vonis."

"Kita mengharapkan yang terbaik. Terima kasih kepada kalian, yang sudah membantu, terutama bersedia mengorbankan diri kalian. Gue ... nggak ngerti caranya biar bisa membalas budi ke kalian semua." Renata menjura, matanya sedikit berembun.

"Ah, Re. Nggak usah repot lah. Cukup transfer ke rekening kami aja, sudah pasti semuanya beres!" seloroh Dipta. Lelaki itu mengedipkan mata dengan mimik menggoda.

"Kalo itu pasti lah. Ya udah, gue mau balik ya. Capek banget," keluh Renata.

"Gue anter aja. Sekalian gue mau ke arah sana," sahut Dipta sigap. Bagas pun menyudahi pertemuan mereka dan kembali ke kantor.

Tinggallah Badai dan Neiva, yang berdiri canggung. Neiva kemudian memutuskan untuk pulang dan beristirahat. "Gue ... balik duluan."

"Lo naik bis atau KRL?"

"Busway lebih deket jaraknya dari sini sih." Neiva mengacungkan ibu jarinya ke belakang.

"Gue anter, ya. Udah lama nggak naik busway," ujar Badai dengan mimik memelas.

"Kita sepakat buat ngomongin itu pas kasus ini selesai, kan?" tanya Neiva hati-hati.

Lelaki itu mengangguk. "Gue tahu. Gue cuma kangen aja jalan sama lo. Dan gue pengen ngerasain naik busway lagi. Boleh, kan? Nggak ada maksud apa-apa, kok."

Mata Neiva memindai wajah lelaki itu selama beberapa saat, sembari menggigit bibir. Apa risikonya membiarkan lelaki ini menemani dan mengantarnya pulang? Namun, Neiva berutang maaf atas putusnya hubungan mereka. Karena itu, ia mengangguk.

Mereka menelusuri lorong dalam diam. Neiva tak berminat melakukan percakapan, begitupun Badai. Di kepala gadis itu seolah ada musik yang tengah berputar, sehingga ia memilih untuk fokus dengan lagu tersebut. Ia tidak mau terbawa perasaan lagi dengan adanya lelaki itu di sisinya sekarang.

Saat menuju halte, beberapa kali Badai harus menarik tubuh gadis itu agar tidak tertabrak orang yang berlalu lalang. Lelaki itu bahkan menggunakan tangannya untuk menghalangi kepala Neiva agar tidak terantuk halte.

"Makasih," gumam Neiva. Pipinya merona merah, sehingga ia buru-buru mengambil gawai dari saku dan membuka laman media sosialnya. Ia tak berani menatap lelaki itu sama sekali.

Sementara Badai menggunakan kesempatan itu untuk memandang Neiva tanpa jeda. Sudut bibirnya terangkat ketika mengamati gadis itu membenahi ikatan rambutnya yang longgar. Atau ketika kepalanya bergerak mengecek kedatangan bus. Setiap gerak-gerik Neiva tak luput dari penglihatannya, menorehkan kenangan baru dalam benak seperti bara api menyentuh daging, melekat entah sampai kapan akan hilang.

Mereka duduk bersebelahan di bus yang menuju Utan Kayu. Tak banyak penumpang saat itu, sehingga mereka leluasa memilih tempat duduk. Badai benar-benar berdiam diri, menikmati senandung lirih yang keluar dari bibir Neiva, serta mereguk wangi bunga freesia yang menguar dari tubuh gadis itu. Badai masih mengingat merek parfum dan sabun yang dipakai oleh gadis itu, semuanya nyaris sama.

"Gue sempet pulang, kapan hari. Ke rumah Ibu," ujar Neiva mengakhiri keheningan di antara mereka. "Katanya lo dateng ke rumah dan bilang bakal bawa gue pulang."

Mata Badai membulat. "Iya. Sori kalo itu ... bikin lo nggak nyaman. Itu pertama kalinya gue tahu fakta tentang ayah kandung lo dari Renata. Sebelum gugatan cerai ini, sebenarnya Rena udah beberapa kali konsultasi tetapi masih ragu. Saat dia ngumpulin bukti itu, dia nggak sengaja tahu tentang ibu."

"Oh," respons Neiva datar. Tangannya menggaruk rambut dengan gelisah, tak tahu lagi harus berkata apa.

"Gue juga kaget pas dikasih tahu. Soalnya  lo nggak pernah cerita masalah keluarga lo. Dan lo selalu bilang, ibu lo ada di desa." Badai meneruskan ceritanya. "Tapi saat ibu cerita, kalo lo kabur demi nggak dipukuli suaminya. Dan dia selalu berdoa lo baik-baik saja. Dia nggak mau nyari lo karena takut suaminya bakal berbuat kasar lagi sama lo. Karena itu dia lebih memilih bertahan."

"Gue tahu. Itu cara dia melindungi gue. Dan semakin bikin gue ngerasa bersalah nggak bisa nolong dia." Neiva menatap pemandangan di luar jendela bus demi mengaburkan air mata.

Tangan Badai meremas jemari gadis itu dengan lembut. "Nei, lo masih remaja saat itu. Lo nggak punya kekuatan buat ngelawan. Dan itu bukan salah lo, Nei. Lo udah berjuang dalam hidup lo selama ini. Ibu lo ngerasa dengan tahu lo masih hidup, sehat dan bersekolah dengan layak, sudah jadi pertolongan buat ibu lo. Dia takut ketika lo seorang diri di luaran sana, lo nggak akan bisa bertahan dan dia nggak bisa nolong. Kalian berdua sudah berjuang dengan baik sampai hari ini. Lo nggak harus merasa bersalah atas apa yang nggak bisa lo lakukan."

Kalimat Badai menusuk dalam hatinya, menembus semua dinding kaca yang dibangun di sana untuk melindungi mentalnya yang rapuh. "Makasih, Badai."

"Nggak masalah mengakui kalo lo saat itu lemah dan nggak berdaya. Namun, sekarang, lo bisa memberikan pembelaan yang bagus untuk korban KDRT lainnya, sehingga mereka bisa lepas dari belenggu itu, dan nggak akan menderita lagi." Lelaki itu menepuk pundak Neiva. "Gue bangga setidaknya lo lebih pinter daripada saat lo jadi kuli pemerintah."

Mendadak saja, Neiva menyemburkan tawa di tengah rasa haru yang tadi menyeruak di dada. "Kampret lo."

Badai menelengkan kepala dan menyunggingkan senyum manis. "Gitu dong. Itu baru Neivaku."

Wajah gadis itu mendadak cemberut. Bola matanya berputar. "Lo ngomong lagi, gue nggak segan-segan ngehajar lo ya?"

"Ampun, deh." Badai tergelak. Neiva ikut tertawa bersamanya. "Seandainya kita bisa kayak gini terus tanpa punya beban apa-apa, ya, Nei?"

Tawa Neiva surut, berganti dengan senyum pedih. Mau tak mau, ia mengakui, dirinya merindukan saat-saat seperti ini, tetapi ia sadar bahwa ini hanya sesaat saja. Masa depan mereka sama sekali buram dan berbayang.

****

Hari-hari berikutnya, tim kuasa hukum Renata semakin dipenuhi ketegangan. Meskipun kasus KDRT hanya tinggal menunggu waktu, tetapi reporter tak henti-hentinya datang dan meminta pernyataan mereka mengenai kasus Renata. Cuplikan sidang sempat menjadi topik yang viral di media sosial, sehingga opini publik kini terbagi menjadi dua. Namun, perlahan tapi pasti, Renata mulai menggali simpati masyarakat.

Banyak yang memberikan kesaksiannya betapa perempuan itu artis yang rendah hati dan supel. Bahkan ada videonya yang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya yang mendapat ribuan suka dari warganet. Walaupun hingga sekarang, Renata masih belum mendapat akses untuk menemui kedua putranya. Namun perempuan itu bersabar dan menahan ego, agar Andreas tak lagi bisa menemukan persembunyiannya.

Setelah penantian yang mendebarkan, akhirnya sidang pembacaan vonis digelar. Kali ini atensi masyarakat lebih besar daripada sebelumnya sehingga banyak pengunjung datang untuk menyaksikan. Ada yang membawa spanduk yang berisi dukungan untuk Renata, menyerukan agar perempuan itu divonis tidak bersalah dan bebas.

Saat Renata datang bersama Dipta dan Bagas, perempuan itu terhenyak melihat dukungan yang diberikan oleh penggemarnya. Bagas segera membisikkan kalimat agar Renata menghampiri mereka dan mengucapkan terima kasih. Reporter yang berada di sana segera mengambil gambar dan mengerumuni artis tersebut. Dipta mengerahkan tim keamanan agar para wartawan memberikan Renata ruang untuk bertemu penggemarnya.

"Rena, semangat! We love you!"

"Kamu nggak bersalah, Rena! Kami bersamamu!"

"Rena, kamu pasti bisa melewati cobaan ini!"

Sebagai artis yang sudah malang melintang di dunia bisnis pertunjukan, gadis itu segera melambaikan tangan, kemudian mengucapkan terima kasih. Namun, ia sudah diingatkan Bagas agar tidak tersenyum terlalu lebar, karena mengesankan dia bersalah. Perempuan itu masih tampil tanpa riasan meskipun kulitnya tampak paripurna, membuat Neiva yang memandangnya merasa iri. Renata lebih tua darinya beberapa tahun, tapi masih terlihat sebaya dengannya.

Neiva mengembuskan napas dan mendesis lirih, "Memang tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan uang."

Gadis itu tak sadar bahwa ia sedang diawasi. Dari kejauhan, ada seseorang yang mengamati dirinya mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Sorot mata orang itu nyalang dan dipenuhi kilat amarah. Ia mendengkus dan mengepalkan tangan. Kemudian orang tersebut melangkah memasuki gedung pengadilan, sebelum Neiva menyadari keberadaannya. Saat gadis itu menoleh ke tempat sosok itu berada, tak ada siapapun di sana.

*episode23*

Nah lho. Sapa tuh yang ngeliatin Neiva?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top