Episode 21 Pulang
Dengan suasana hati yang buruk, Neiva menyelesaikan semua pekerjaannya tepat pada pukul dua belas malam. Setelah itu, ia tidak bisa tidur, karena pikirannya terlalu gelisah untuk melarikan diri ke alam mimpi. Kali ini, tak ada air mata, karena sepertinya ia terlalu hampa untuk menangis. Seluruh isi jiwanya terkuras habis tanpa sisa.
Gadis itu nekat keluar dari kantor Tanudja setelah memesan taksi. Kendaraan itu berhenti di sebuah rumah yang nyaris rubuh, dengan teras yang difungsikan sebagai warung kopi yang masih melayani pelanggan dini hari seperti sekarang. Neiva turun dan berdiri mematung, menatap perempuan yang duduk terkantuk-kantuk di belakang meja. Hanya ada seorang pelanggan yang duduk di sudut warung tersebut, sibuk dengan gawai di tangan ditemani kopi yang tampaknya sudah dingin.
Mata Neiva berembun, menyaksikan betapa wajah perempuan itu terlihat kuyu dan keriput, sementara uban mulai menggantikan rambutnya yang dulu hitam legam. Gadis itu memalingkan wajah dan mengusap matanya, tak tega harus memandang perempuan itu berjuang di tengah malam hanya untuk mengais rupiah. Kemudian, perempuan itu memejamkan mata sejenak lalu terbangun dengan kaget. Setelah itu matanya mendapati Neiva yang hendak beranjak pergi.
"Iva ... Iva!" Perempuan itu berseru, lalu berlari menghampiri Neiva. Hatinya buncah karena bisa melihat gadis itu datang menemuinya. Ketika ia berhasil menghampiri Neiva, tangannya yang kurus meraih lengan gadis itu. "Kenapa nggak masuk? Ayo, ayo. Malam-malam begini pasti kamu kedinginan."
Tubuh Neiva membeku, sementara lidahnya kelu. Hatinya dipenuhi rasa trenyuh, karena perempuan itu benar-benar semakin tua dan lemah, tapi Neiva tidak berada di sampingnya selama beberapa tahun ini.
"Mau makan? Ayo duduk sini, Bapak ... maksudnya suami Ibu kalo jam segini nggak ada di rumah," sahut perempuan paruh baya itu, sembari menatap canggung ke arah Neiva.
Gadis itu masih kaku, tetapi ia mengikuti langkah perempuan itu dan duduk di depan meja warung yang sederhana. "Nggak usah ... repot-repot, Bu." Akhirnya Neiva bersuara.
Mendengar panggilan Neiva, bibir perempuan itu mengulas senyum. Namun, ia mengibaskan tangan dan menjerang air. "Nggak repot. Cuma Sarimi aja, enak buat ngangetin badan."
Beberapa menit kemudian, semangkuk mi kuah dengan sawi, irisan tomat dan telur yang sudah diorak-arik serta taburan bawang goreng tersaji di depan Neiva. Di sebelahnya telah tersedia segelas wedang jahe dan kencur hangat untuk menemaninya makan. Mata Neiva kembali berembun, karena menyaksikan makanan yang biasa dimakan pada masa kanak-kanaknya di atas meja. Gadis itu berdeham, untuk mencegahnya menumpahkan air mata. Tangannya segera meraih sendok dan menyesap kuah kaldu yang gurih dan hangat, yang seolah membuat hatinya yang membeku perlahan mencair.
Pelanggan satu-satunya warung tersebut telah berlalu. Keheningan mulai kembali menyergap, tetapi perempuan paruh baya itu terlihat sedikit semringah, memandang tamu tengah malam itu sedang menikmati masakannya.
Neiva mendorong mangkuk yang sudah habis itu ke depan, kemudian memberanikan diri berkata, "Bu?"
"Ya, Va?"
"Kenapa Ibu nggak pergi dari sini?" Mata Neiva memindai wajah Ambar, ibunya yang sudah lama tak ia jumpai. "Iva pergi dari rumah ... karena Iva nggak pengen jadi bebannya Ibu." Demi mencegah air matanya tumpah, Neiva mengangkat kepala, sembari menarik napas panjang.
"Iva, Nak, kamu nggak pernah jadi beban Ibu ...." Air mata Ambar menitik. "Kenapa kamu bisa mikirin itu?"
Benak Neiva memutar memori masa lalunya, di mana ia menyaksikan ibunya ditendang dan dipukul oleh lelaki yang menjadi suaminya sekarang. Tak peduli seberapa kuat gadis itu berusaha mencegah, lelaki itu akan terus menyiksa ibunya. Ambar tidak melawan karena tak mau suaminya menghajar Neiva sebagai gantinya.
Pertahanan gadis itu jebol, air matanya merebak dan mengaliri wajah. Ambar segera menghampiri Neiva dan mengusap lapisan bening di wajah sang putri. "Sayang, jangan menangis, Nak. Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?"
"Kenapa Ibu nggak ninggalin suami Ibu? Iva pergi dari rumah supaya Ibu bisa bebas lari dari dia, Bu. Iva berharap Ibu bisa hidup bahagia tanpa orang itu," tangis Neiva pecah dalam dekapan ibunya. "Iva bahkan berjuang mati-matian biar Ibu bisa bebas dan nggak susah untuk mengurus Iva."
Ambar tertegun, kini air matanya yang mengalir deras. Sesekali tangannya mengusap hidung dan pipi, lalu membelai rambut anak gadisnya. "Ya Tuhan, Iva. Maafin Ibu, Nak. Ibu nggak tahu kamu sampai mikir kayak gitu ... Ibu cuma bisa mendoakan kamu agar kamu sehat meskipun jauh dari Ibu. Ibu cuma sedih, karena Ibu nggak bisa nyiapin kamu makan, ngerawat kamu kalo sakit, juga bayarin sekolahmu. Ibu minta maaf, karena Ibu nggak bisa jadi Ibu yang baik buat Iva."
"Ibu nggak pernah jadi Ibu yang jahat buat Iva. Justru Iva yang durhaka karena nggak bisa bantu Ibu bebas dari neraka ini. Iva nggak berbuat apa-apa," sesal Neiva yang mengeratkan pelukannya. Sudah lama sekali, sejak ia masih di bangku sekolah menengah atas saat ia lari dari rumah itu dan belum pernah kembali hingga sekarang.
"Iva, Sayang. Nggak papa, Ibu ngerti kenapa kamu pergi dari rumah. Kamu bisa hidup sehat dan nyaman, sudah bikin Ibu bahagia. Ibu dengar kamu sudah jadi pengacara, hati Ibu senang, Nak. Maaf Ibu nggak bisa dampingi kamu wisuda."
Neiva mengangguk. "Iva jadi pengacara biar bisa bebasin Ibu, tapi Iva malah nggak berani pulang, Bu. Iva masih takut sama orang itu."
Hati Ambar mencelus. Ia tak menyangka betapa putrinya harus dipaksa oleh keadaan untuk dewasa, tetapi masih memikirkan dirinya. Hidupnya teramat malang, sampai ia sendiri tidak bisa melindungi putri yang ia pertahankan mati-matian di tengah tuduhan dan cacian masyarakat yang tak mau menerima anak di luar nikah.
"Kamu nggak salah, Sayang. Nggak papa." Berulang kali Ambar mengucapkan kalimat itu seraya mengusap kepala putrinya. Rasa rindu yang tersimpan sekian lama, kini ia tuntaskan dengan hati lapang dan lega.
"Ibu bakal baik-baik saja setelah ini, kan, Bu?" tanya Neiva ketika fajar menyingsing. Ia harus kembali sebelum Waluyo datang. Lelaki itu biasa menghabiskan malam untuk berjudi dan pulang saat pagi dalam kondisi mabuk lalu menghajar istrinya. "Ibu bisa ikut Iva sekarang, Iva bisa biayain hidup Ibu. Iva udah gede, Bu. Meskipun gajinya nggak banyak, Iva nabung untuk beli rumah untuk kita berdua."
Tangan Ambar mengusap pipi anak gadisnya, hatinya dipenuhi rasa trenyuh. "Ibu akan nyusul nanti, Sayang. Ibu bakal baik-baik saja. Ibu bahagia lihat kamu tumbuh segede dan secantik ini. Pantes aja Nak Badai sayang sama kamu."
Mata Neiva membelalak ketika mendengar nama Badai disebut. "Ibu tahu Badai dari mana?"
"Tahun kemarin, dia dateng. Katanya minta izin buat ngelamar kamu. Terus tanya ayah kandung kamu siapa. Ibu nggak mau jawab, Ibu minta maaf. Terus Badai bilang bakal bawa kamu pulang," tutur Ambar dengan lembut.
"Ayah kandung Neiva ... Ibu tahu? Maksudnya, apa Ibu masih berhubungan sama dia?" Jantung Neiva berdebar kencang, karena fakta tersebut membuatnya dibayangi mimpi buruk setiap malam.
Ambar menggeleng. "Ibu ini memang bukan ibu yang baik, Va. Bahkan ketika kamu lahir, Ibu membuat kamu dikucilkan dan dihina. Padahal kamu nggak pernah punya salah. Ibu nggak akan pernah menemui ayah kandung kamu, karena Ibu nggak mau terjadi apa-apa sama kita berdua. Dia bukan orang yang baik, Ibu menyesal punya hubungan sama dia. Satu-satunya yang nggak Ibu sesali adalah Ibu bisa punya kamu, putri Ibu. Yang cantik, seperti salju putih. Ibu dapat nama kamu dari buku yang dikasih ayah kandungmu."
Neiva menegang. "Bukunya masih ada?"
"Ada. Tapi Ibu nggak mau kasih ke kamu. Tolong janji sama Ibu, bahwa kamu nggak akan mencari-cari orang itu, atau meminta dia bertanggung jawab, Va. Dia nggak tahu kamu ada dan Ibu nggak mau dia tahu. Bisa-bisa Ibu bakal kehilangan kamu selamanya, dan Ibu nggak bisa." Wajah Ambar yang tadinya diliputi kesedihan kini berubah menjadi kengerian. "Dia jauh lebih berbahaya daripada suami Ibu. Karena itu, Ibu masih bertahan hidup dengan dia, karena jauh lebih aman tersembunyi dari ayah kamu."
Tangan Neiva meremas jemari sang ibu, sebelum berbisik, "Ayah kandung Iva bukan si pengusaha terkenal itu, kan, Bu?"
Wajah Ambar memucat. "Da-dari mana kamu tahu ... nggak, nggak. Iva, jangan cari keberadaan dia!"
"Justru Iva tanya biar jelas, Bu. Dan
Iva nggak akan cari dia. Tapi tolong jawab Iva. Siapa nama ayah kandung Iva? Iva berhak tahu sebelum ... Iva nanti menikah, Bu." Neiva merangkai kebohongan di kepala, agar sesuai dengan alibi yang diberikan Badai pada ibunya.
Bibir Ambar bergetar, begitupun tangan yang berada dalam genggaman putrinya. "Dia pengusaha terkenal, yang sekarang nikah sama artis seumuran kamu. Namanya Andreas Gunawan."
*episode21*
Banyak bawangnya ya, Keliners. Aku nulis episode ini butuh waktu lama, soalnya bangun emosinya yang susah. Tapi sekarang udah lega, karena misteri Neiva udah banyak yang terpecahkan. Nah, setelah ini, apa yang bakal dilakukan Neiva?
Secara ayah kandungnya adalah jeng, jeng, jeng, tidak lain dan tidak bukan adalah suaminya Renata!
Yang jelas, ini adalah episode ternyesek yang pernah kutulis bahkan aku nangis-nangis pas nulis ini. Setelah ini perjalanan Neiva makin nggak mudah ya, Keliners. Persiapkan jantung kalian dan mental kalian, biar tetep safe sampai akhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top