Episode 20 Terbongkarnya Rahasia

Neiva menggerakkan tangan dan kaki, setelah berjam-jam duduk di depan komputer. Matanya sudah terasa pedih dan lelah. Saat ia melirik ke arah penanda waktu di sudut kiri layar monitor, ia terperanjat. Sudah pukul sepuluh malam! Apakah ia masih bisa mendapatkan bus atau kereta jika ia melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi?

Ketukan di pintu lagi-lagi mengejutkannya. "Va, kalo lo mau balik, gue anter ya. Udah malem."

"Kayaknya gue nginep sini aja sekalian, tanggung kalo mau pulang," sahut Neiva. Ia sudah terbiasa menginap di kantor, bahkan memiliki set perlengkapan mandi darurat yang selalu ia bawa di tas, sekadar untuk membersihkan badan dan wajah. Memang tidak selengkap set skincare-nya di rumah, tapi ini kan tidak setiap hari.

"Oh, tapi perlengkapan mandi atau skincare lo gimana? Perlu gue beliin ke toko ujung jalan? Gue sekalian mau nyari kopi," tawar Dipta.

"Oh, gue nitip kopi sekalian, ya. Kalo perlengkapan mandi darurat, gue selalu ready kok." Neiva mengacungkan jempol. Lelaki itu balas mengangguk.

Gadis itu teringat Badai. Apa lelaki itu sudah pulang? Neiva melangkah keluar menuju ruangan lelaki itu. Lampunya masih terang benderang, tetapi tak tampak keberadaan Badai di mana pun. Ia ingin berbalik, tapi rasa penasaran mengenai kehidupan Badai yang sekarang membuatnya mendekati meja dan menggoyangkan tetikus di samping papan ketik.

Layar monitor menampilkan foto dirinya bersama Badai, gambar yang sama dengan yang ia punya di laci kamar. Neiva menahan napas. Tak banyak pernak-pernik di atas meja, selain tumpukan dokumen yang tak tersentuh. Neiva mengerling curiga, karena jika memang Badai berada di sini sedari tadi dan sudah pulang, paling tidak tumpukan itu berkurang setengahnya. Hati Neiva dihinggapi rasa cemas, sehingga ia menelepon lelaki itu. Sampai lima kali panggilan tak terjawab, membuat gadis itu yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi.

Neiva mengalihkan panggilannya ke Dipta. Tak sampai deringan ke tiga, terdengar suara lelaki itu."Dipta, lo liat Badai, nggak?"

"Nggak tuh. Tadi gue sempet lihat mobilnya masih ada di parkiran. Cek ke ruangannya aja."

Gadis itu mematikan panggilannya dan berlari ke lift. Tangannya menyentuh tombol ke basement berkali-kali karena panik. Saat pintu terbuka, Neiva berlari mencari mobil lelaki itu. Begitu ketemu, gadis itu terkesiap. Kepala Badai berlumuran darah, dengan tubuh terkapar di dekat kendaraan pribadinya.

"Badai, Badai!" panggil Neiva, air matanya mengalir deras. "Kok jadi begini?" Gadis itu bangkit dan kembali melangkahkan kaki untuk memanggil satpam yang berjaga. Bersama petugas keamanan, Neiva membawa Badai ke klinik terdekat dengan mobil kantor. Bagas dan Dipta segera diberitahu, sehingga mereka kemudian mengakses CCTV untuk mencari pelakunya. Bagas juga segera menghubungi pihak berwajib dan melaporkan kejadian tersebut.

Untunglah Badai tak mengalami cedera serius. Hanya luka di kepala yang butuh dijahit sedikit. Saat lelaki itu sadar, Neiva baru bisa bernapas lega. Demi memulihkan kondisinya, Bagas memberikan lelaki itu cuti sementara, tetapi Badai menolak.

"Hanya tinggal sedikit lagi, Pak. Saya nggak akan kerja berat, saya janji. Setidaknya saya ingin menyelesaikan apa yang jadi tanggung jawab saya."

"Kita belum pernah mendapat serangan sampai sejauh ini. Kasus ini rupanya lebih mengerikan daripada biasanya," gumam Bagas.

"Sepertinya ini hanya teror untuk menakuti kita, Pak. Jika memang mereka ingin menghabisi saya, tentu saya takkan dibiarkan hidup." Badai menghela napas.

Dipta mengangguk. "Kita berhadapan dengan orang yang memahami cara memainkan emosi manusia. Jika kita panik dan mundur, kita akan terkena perangkapnya."

Bibir Neiva bergetar. Sejak kemarin, hatinya diaduk-aduk seperti roller coaster, dengan Badai yang diletakkan sebagai umpan. Matanya memindai lelaki itu, yang masih menggebu-gebu mengemukakan argumennya, bahkan ketika kepalanya terbalut perban.

"Va, are you okay?" tanya Bagas. Neiva tergagap, sebelum menyunggingkan senyum seadanya.

"Ya, Pak. Saya oke." Gadis itu menepis semua pikiran gilanya, kembali fokus kepada pekerjaan yang ia hadapi. Mereka semua dalam bahaya sekarang, tapi terlambat untuk mengundurkan diri. Namun, bisakah Neiva melakukan sesuatu untuk membuat risikonya minimal? Neiva mencemaskan keselamatan Badai. Ia tak sampai hati menempatkan lelaki itu ke mulut sang maut.

Apa yang sebenarnya Andreas rencanakan?

"Ya udah kalo gitu, kita balik yuk, selesaikan pekerjaan kita. Badai, kamu langsung pulang ya. Nggak usah maksain diri untuk lembur. Besok kalo misal masih kurang sehat, saya udah izinin kamu cuti." Bagas menepuk pundak lelaki itu. Neiva dan Dipta pun bangkit dari tempat duduk mereka.

"Nei, gue boleh minta waktu lo sebentar? Ada yang pengen gue tanyain." Badai menatap gadis itu, mencegahnya untuk pergi. Bagas dan Dipta pun undur diri dari sana, meninggalkan mereka berdua.

"Mau ngomong apa?" Neiva berdiri dengan tangan kiri menyentuh siku kanannya.

Lelaki itu berdeham. "Gue cuma mau bilang makasih. Kalo lo nggak nemuin gue, bisa aja gue udah nggak ada sekarang."

Neiva mengangguk. "Mention not. Kebetulan aja gue waktu itu mau minta berkas yang lo bawa tadi siang." Gadis itu mengarang alasan. Ia tak mau Badai mengetahui niatnya stalking.

Setelah itu keheningan meliputi keduanya, hingga gadis itu mendadak jadi salah tingkah.

"Sekali lagi makasih ya. Gue bentar lagi dijemput jadi lo boleh balik, kok."

"Oke kalo gitu." Neiva memutar tumit dan hendak meninggalkan lelaki itu. Namun, ia terkejut dengan sosok yang sudah berada di hadapannya. Begitu pun wajah pias sosok itu yang melihatnya.

Mereka berdiri terpaku sampai suara melengking Sandra mengejutkan mereka. "Bikin gara-gara apalagi sih anak, nggak bosen apa?" Mata Sandra membelalak, lalu menatap bercak darah yang ada di kemeja Neiva dengan intens. "Hai, Kak."

"Saya sudah mau pergi," pamit Neiva. "Permisi."

"Neiva, bisa Mama bicara sama kamu sebentar?" Anita menghentikan langkah gadis itu.

Buku kuduk Neiva meremang, karena perasaan deja vu yang menyergapnya. Perlahan, matanya memindai wajah perempuan paruh baya itu, mengira-ngira apa yang akan dikatakannya.

"Saya ...."

"Sandra, ajak kakakmu keluar dulu ke mobil. Mama mau ngajak ngomong Neiva dulu."

Neiva menarik napas panjang, mempersiapkan hatinya untuk patah sekali lagi. Perempuan itu mengajak Neiva ke sisi gedung klinik, karena tak ada tempat yang sedang buka malam itu.

"Neiva ...."

"Saya tidak sedang pacaran dengan Badai. Kami hanya terlibat sebuah pekerjaan dan tidak lebih dari itu." Neiva segera memotong perkataan mama Badai demi menguasai harga dirinya yang runtuh karena melihat wajah orang yang sangat ia hormati, tetapi telah tega mematahkan hati.

Perempuan paruh baya itu menarik napas panjang. "Maafkan Mama karena dulu meminta kamu untuk memutuskan hubungan kalian. Mama tak menyangka bahwa permintaan Mama itu akan menyakiti hatimu."

"Menurut Ngana?" jerit Neiva dalam hati. Namun, ia hanya menyelipkan rambut ke belakang telinga, sebelum berkata, "Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, saya harus kembali ...."

"Jadi, Mama minta Kak Neiva mutusin Kak Badai?" Sandra mendadak ada di belakang Neiva, bersama Badai di sebelahnya. "Buat apa, Ma? Tega betul, Mama!"

Wajah Badai memerah, tetapi mulutnya bungkam. Ia tak tega mengatakan sesuatu untuk menyakiti perempuan-perempuan yang bertahta dalam hatinya.

"Nak, dengarkan dulu. Memang waktu itu Mama meminta Neiva melakukan itu, tapi Mama ...." Anita menitikkan air mata. Neiva yang merasa emosinya menggelegak karena kenangan masa lalunya, merasa tidak tega melihat perempuan itu menangis. Bagaimana pun, perempuan itu dulu pernah memberikan kasih sayang menggantikan ibunya.

"Atas dasar apa Mama ngelakuin itu? Mama nggak lihat akibatnya buat mereka berdua, terutama Kak Badai? Mama buta sama kondisinya tiga tahun ini? Betapa menderitanya dia karena dijauhkan dari perempuan yang ia sayangi. Dan Kak Iva kenapa nggak jujur sama gue?" Sandra menatap kedua perempuan itu dengan mata berlinang.

"Sandra, jangan pernah ngomong gitu sama Mama, gimanapun juga, dia orang yang ngelahirin lo," cetus Neiva.

"Tapi dia ngelakuin hal yang nyakitin lo berdua, bikin kalian berdua menderita selama ini!" pekik Sandra.

Neiva menunduk. Tak ada gunanya lagi mengungkit masa lalu. Hatinya masih sakit tetapi ia tak ingin menambah masalah lagi. Mendadak saja, tangan Badai menggenggam tangannya, sementara mata lelaki itu menatapnya dalam-dalam.

"Jawab gue, jadi selama ini hubungan kita nggak akan berhasil itu karena Mama yang nyuruh lo untuk ninggalin gue?"

Neiva memalingkan wajah. "Badai, semuanya udah berlalu, gue ...."

"Jawab gue, Nei!"

"Gue nggak mau lo akan terbelah di tengah-tengah. Gue nggak mau lo berada di situasi yang akhirnya mengharuskan lo milih, Mama atau gue. Itu jauh lebih nyakitin gue, Badai. Nggak ada yang bahagia kalo lo sama gue tapi lo merana karena ninggalin keluarga lo." Neiva akhirnya memberanikan diri membalas tatapan lelaki itu.

Badai tak mengalihkan matanya dari Neiva saat berkata, "Mama denger itu, kan? Dia mikirin kebahagiaanku dan Mama, tapi Mama justru nyuruh dia pergi dari hidupku? Apa Mama pernah mikir, betapa menderitanya dia menanggung bebannya selama ini? Dan kamu bertahan sendirian selama ini tanpa pernah ngomong ke aku sama sekali?"

"Please, gue harus pergi. Gue nggak mau nambah masalah ini lagi." Neiva melepaskan cekalan tangan lelaki itu dan berlari menjauh. Ia sudah tak mau menambah satu lagi drama dalam hidupnya. Menangani kasus Renata saja sudah membuatnya jungkir balik.

Badai memutar tumit dan menghadap sang ibu. "Selama ini aku percaya sama Mama. Tapi ternyata Mama bahkan nggak percaya dengan pilihan hidup yang sudah kuambil. Neiva adalah satu-satunya perempuan yang mampu mengubah diriku jadi lebih baik, Ma. Mama kira, kenapa dulu aku jadi serius kuliah dan mati-matian mendaftar magang di Tanudja? Karena aku ingin jadi lelaki bertanggung jawab yang bisa membahagiakan dia, Ma. Nggak ada perempuan lain yang mampu membuatku begitu."

*episode20*

Makin ambyar nggak hati pembaca? Kira-kira setelah ini mereka bakal balikan nggak ya?

Kubisikkin spoiler dikit : nggak dong. Sudah pasti tidak semudah itu, Marimar. Jadi wajib tungguin part berikutnya 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top