Episode 2 tugas negara
"Konsultasi ke psikiater itu mahal nggak sih?" tanya Neiva kepada rekan kerjanya, menjelang jam pulang.
"Lo sakit jiwa?" Maya memandang rekan kerjanya dengan dahi mengernyit.
"Udah sinting kayaknya gue."
"Untuk orang yang rutin beli Caramel Macchiato tiap minggu, yang ditotal udah kayak ongkos taksi dari kantor ke rumah gue, terus sekarang beli kopi item macam mau ngedukun, nggak perlu ke psikiater. Gue udah bisa liat, fix kalo lo emang udah gila, Nev."
Neiva kembali mendaratkan kepalanya di atas meja. "Kalau bunuh diri yang cepet itu apa sih enaknya?"
"Heh, kalo lo omongannya aneh-aneh gini, gue rasa lo nggak perlu ke psikiater. Ke ustad sana, biar dirukyah lo sekalian. Kemasukan jin kayaknya!"
"Ini namanya kesehatan mental gue terganggu, Maya! Bukan kemasukan jin!" omel Neiva yang masih tak mau mengangkat kepalanya.
"Apaan sih, lo kan untung bisa ketemu artis entu. Bayarannya mahal banget, lagi! Mayan lo. Jadi lo bisa nabung buat beli rumah impian lo di Ayalis, biar deket sama kantor. Busyet sampai apal banget gue!" tepuk bangga.
Neiva mengerucutkan bibir. Rasanya ia lebih baik terjun ke jurang daripada harus menangani kasus artis ternama yang dijuluki sebagai Diva Asia Tenggara karena popularitasnya.
"Lo mau gantiin gue?"
"Eh, yang bener lo? Mau banget lah! Tapi lo serius? Pak Angga gimana?" Maya menatap Neiva dengan penuh harap.
Neiva berteriak dan menjambak rambutnya sendiri. Sementara Maya buru-buru meraih tasnya dan melipir pulang, sebelum temannya kesurupan sungguhan.
⚖️⚖️⚖️
"Halo, Nivea! Masuk, masuk!"
Sambutan hangat dari bosnya itu sungguh di luar nalar. Pak Angga belum pernah menatap Neiva dengan wajah semringah, setelah bekerja dengannya tiga tahun ini. Oh, lelaki itu memang tak bisa menyebut namanya dengan benar, sementara gadis itu sudah dalam taraf bosan untuk mengoreksi. Biarkan saja, itu sudah biasa.
Angga Kurniawan
"Bapak manggil saya?" tanya Neiva dengan senyum basa-basi. Gadis itu masih ingat bahwa tadi pagi sebelum sidang pembacaan vonis kasus pelecehan seksual Frederick versus Widya, Angga sudah mewanti-wantinya untuk bisa menang. Reputasi Neiva sudah di ambang batas pecundang, yang bisa membuatnya tersingkir dari posisinya sekarang.
"Ingat, Niv, kalau kamu sampai kalah lagi dalam membela klien, sepertinya saya harus mutasi kamu ke Papua! Atau kamu cukup menangani penyuluhan dan seminar saja! Camkan itu!"
Ancaman itu sungguh membekas dalam benak gadis berambut panjang itu. Bisakah hal ini lebih buruk lagi? Apakah sekarang dirinya akan dipecat? Pikiran itu membuat Neiva mendadak sakit kepala.
"Duduk, duduk," ujar Angga ramah, menunjuk kursi di depan mejanya. Neiva segera duduk, lalu melipat tangannya di atas pangkuan.
"Iya, Pak, untuk vonisnya hari ini ..." kata gadis itu lambat-lambat dengan raut wajah memelas, agar tidak kena semprot atasannya itu.
"Ah, sudahlah lupakan kasus itu. Saya juga sudah menduga kamu pasti kalah, ya toh?" Lelaki itu terbahak, sementara Neiva seakan ditusuk oleh pedang tepat ke jantungnya.
"Hmmm, iya, Pak," gumam Neiva membenarkan.
Angga segera mengeluarkan sebuah berkas dengan map kertas berwarna merah. Neiva menerimanya dengan hati-hati.
"Proposal ini baru masuk, siang ini. Tentu kamu sudah dengar dari Maya. Jadi, artis RM ini berencana untuk menggugat cerai suaminya, lalu ia meminta bantuan dari lembaga kita, untuk mendampingi dan menjadi tim kuasa hukumnya," jelas Angga seraya melepaskan kaca mata dan memijat hidungnya.
Neiva membaca kertas-kertas itu sambil lalu, sebab isinya sudah pasti rangkaian kata-kata standar. "Pak, dia kan sudah punya tim kuasa hukum sendiri, mengapa lembaga kita harus turun tangan?"
Renata Marianaーdalam ingatan Neivaーmerupakan satu dari tujuh belas orang terkaya di Indonesia. Ia mendulang banyak pendapatan dari Youtubenya, serta penghasilannya saat menjadi aktris papan atas. Wajahnya beberapa kali muncul dalam film Hollywood, meski pun hanya sebatas cameo.
"Itulah. Dia spesifik meminta satu pengacara dari kita, untuk yah ... mendampinginya selama proses perceraiannya berlangsung. Ada beberapa detail yang tidak bisa ia sampaikan karena menyangkut privasinya. Dan kamu juga dilarang bicara apa pun kepada wartawan. Sampai saat ini, berita ini masih menjadi konsumsi internal tim kuasa hukum dan manajemennya saja." Angga kembali memasang kaca matanya, lalu menatap Neiva dengan serius.
"Memangnya tim kuasa hukum beliau siapa saja ya, Pak?" tanya Neiva penasaran. Angga hanya menunjuk ke arah proposal yang dipegang oleh gadis itu. Neiva segera membalik kertas itu ke halaman nama-nama tim kuasa hukum yang sekiranya akan menangani kasus Renata.
"Please, please, firma mana pun asal jangan itu ... " bisiknya dalam hati merapal doa. Saat menatap deretan huruf yang membentuk sebuah nama firma hukum itu, mata Neiva membulat. Mulutnya ternganga, sedangkan jantungnya mulai berlompatan tak tentu arah. Di antara firma hukum bergengsi yang ada di Jakarta, mengapa harus yang ITU? Kaki dan tangannya mendadak lembek seperti agar-agar.
Neiva menarik napas, kini matanya tak sanggup lagi melihat nama-nama di bawahnya. Semoga jangan dia, semoga jangan dia, Ya Tuhan Yang Maha Perkasa ...
Tanudja Law Firm
Bagaskara Tanudja, S.H., LL.M., M.Hum.
Radipta Tanudja, S.H.
Badai Sanggara, S.H.
Nama yang terakhir segera membuat Neiva menutup wajahnya dengan tangan. Sebuah fakta yang menjadikan akal sehatnya terbang ke luar angkasa. Ia menggebrak meja dengan keras, sampai Angga terlonjak kaget.
"Heh! Ngapain sih kamu?" tegur Angga dengan mata melotot.
"Eh, maaf, Pak. Maaf saya tadi ... sedang memikirkan sesuatu."
"Mikirin apa?"
Neiva dengan gugup memikirkan alibi agar tidak dikira kurang ajar dengan pimpinannya itu. "Itu, minyak goreng Bimoli harganya empat puluh dua ribu satu pouch." Matanya membaca sesuatu yang seperti brosur iklan sebuah minimarket.
"Duh, kamu itu. Bikin kaget saja. Masalah harga minyak gitu sudah bikin kamu ribut kayak emak-emak. Oke, masalah ini sudah jelas ya?"
"Ini ... masih proposal kan, Pak?" Masih ada sederet prosedur yang harus terlalui jika ada seseorang meminta bantuan hukum kepada Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak. Menurut Neiva, proposal ini belum tentu final di meja pimpinan. Bisa saja artis itu mendapatkan penolakan dari atasan yang lebih tinggi daripada Angga saat ini.
"Nah, masalah itu ... ya ... saya sudah diskusi dengan Pak Hartono, intinya surat keputusan memang butuh waktu untuk di proses. Tapi secara teknis beliau setuju kamu ikut dalam tim kuasa hukum artis RM."
Kali ini jantung Neiva yang rasanya melakukannya gebrakan keras di dadanya. "Lho tapi, Pak ..."
"Gini lho, Niv. Kamu itu kan secara prestasi masih kurang. Setiap kali klien yang kamu bela mesti berakhir kalah di pengadilan. Lama-lama ini kan jadi merusak reputasi lembaga kita. Saya dan Pak Hartono sepakat, mungkin kalau kamu ikut tim itu, kamu bisa banyak belajar cara agar menenangkan kasus. Nama-nama yang ada di sana itu sudah jaminan. Mereka bukan sembarangan. Ini kesempatan emas buatmu, harusnya kamu senang. Karena itu akan mengangkat namamu juga, kan?" Angga memberikan tatapan mengancam kepada anak buahnya itu.
"Beneran harus saya nih, Pak?" Neiva menggigit bibir.
"Ya pilih ikut kasus ini, yang jadi kesempatan bagus buat kamu. Atau kamu saya mutasi ke Papua saja?"
Nah, Kels. Pilih mutasi ke Papua atau kerja bareng pengacara bergengsi? Tapi emang Badai itu siapa sih? Kok kayaknya Neiva keki banget sama dia? Sampai dia milih lompat ke jurang daripada satu tim sama Badai?
Kalau kalian lebih milih mana? Jawab di komen ya! 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top